Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Membumikan Dakwah Kultural yang Telah Dicanangkan Oleh Muhammadiyah Sebagai Gerakan Praksis IMM




I.                   Pendahuluan
Didalam menjaga kerukunan umat agama dan umat beragama di Indonesia, hendaklah setiap umat agama wajib menghormati apa yang menjadi kepercayaan orang lain. Apalagi di Indonesia, yang memiliki beragam agama, aliran dan kebudayaan, dimana ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan.
Didalam mensyiarkan agama Islam di Indonesia, umat islam haruslah mempertimbangkan hal-hal tersebut agar tidak terjadi perang saudara atau hilangnya jati diri bangsa Indonesia yang terkenal akan keramahan dan keberanekaragaman budaya. Seperti yang telah dicontohakan para pendahulu umat Islam di Indonesia seperti walisongo, kyai pandan Aran, Kyai Shaleh Darat . Beliau-beliau telah mencontohkan bagaimana dalam menyebarkan agama Islam dengan proses perdamaian tanpa menimbulkan peperangan yang besar. Hal tersebut yang coba diadopsi oleh KH Ahmad Dahlan, karena mensiarkan agama melalui jalur perdamaian dengan memahami unsur lokal lebih berpotensi dan memiliki jangka panjang yang lebih bagus dari pada melalui jalur peperangan. Dan dalam jangka panjang sumbangsih yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu jauh lebih fundamental di banding gerakan politik. Sewaktu Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, gerakanya sesuai dengan konteks masyarakat (pada masa penjajahan Belanda) yaitu dengan memulai jalur pendidikan bukan politik, dan gerakan KH Ahmad Dahlan ini disebut dengan gerakan kultural.[1] Pada masa penjajahan Belanda rakyat indonesia sangat di batasi didalam pendidikan, supaya Belanda bisa menguras sumber daya yang ada di Indonesia tanpa adanya perlawanan yang berarti. Melalui jalur pendidikan yang baik dan benar akan menghantarkan suatu bangsa dapat menciptakan atau menguasai teknologi dan memunculkan sifat yang bijak.
Sifat sederhana yang menyeluruh dibutuhkan supaya suatu bangsa dapat menyisihkan sebagian devisanya untuk menambahkan modal di segala aspek. Dan upaya itu dapat didukung dengan hasrat untuk mengeksplorasi alam beserta kekuatanya akan menambah kemungkinan pembaharuan di dalam pemikiran suatu bangsa, terutama dibidang teknologi yang merupakan bagian terpenting dari suatu peradapan.[2] Suatu bangsa dapat dikatakan maju dalam peradapan berdasarkan teknologi yang dimiliki atau dikuasainya,dan teknologi masuk kedalam unsur budaya.
Sebagai negara yang pernah di jajah, bangsa Indonesia memiliki beberapa karakter yang mana, jika karakter itu terus dipelihara, maka akan menghancurkan kebudayaan bangsa ini  Koentjaraningrat membagi karakter bangsa Indonesia setelah kemerdekaan menjadi lima sikap. Yang pertama, memandang tidak penting mengenai kualitas. Kedua, adanya sifat tergesa-gesa dalam mencapai tujuan tanpa ingin menikmati suatu proses. Ketiga, kurangnya sikap tanggung jawab. Keempat, kurangnya sikap percaya terhadap kemampuanya. Dan kelima, bangsa ini memiliki karakter apatis dan lesu.[3]
Sebagai kader Muhammadiyah yang menyukai pembaharuan haruslah sadar dan mawas diri terhadap karakter-karakter yang disebutkan oleh koentjoroningrat. Apakah sebagai kader sudah menghilangkan karakter-karakter tersebut dari dirinya? Dengan hilangnya karakter-karakter tersebut, maka kader-kader IMM yang sekaaligus kader Muhammadiyah bisa melakukan penyadaran dan membumikan dakwah kultural kepada masyarakat di lingkungan dimana dia berada. Didalam makalah ini hanyalah sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bahan pembelajaran bagi kader-kader IMM yang sekaligus kader Muhammadiyah, yang sebenarnya para elit Muhamadiyah sudah menyaadari arti penting dakwah kultural bagi kelangsungan Organisasi Muhammadiyah dan para elit Muhammadiyah juga sudah menjalankan dakwah kultural.
II.                Pembahasan
Dakwah Kultural
AR Fakhruddin didalam mensiarkan ajaran Islam dengan menggunakan metode dakwah cultural Islam. Di dalam hal ini AR Fakhruddin memberikan penghargaan kepada kebudayaan local, namun tidak meninggalkan unsur Islam. Dan andai kata memungkinkan adat local atau daerah itu diberi muatan agama. Misalnya, membentuk tim khusus untuk menciptakan atau mengubah lirik dan syair lagu-lagu dangdut. AR Fakhruddin berpendapat, “ Jika umat lain mendirikan sekolah, panti sosial, rumah sakit, ayolah kita mendirikan hal yang serupa jangan hanya menggerutu.” Dari ungkapan itu dapat dipetik hikmahnya berupa, sebagai umat Islam yang ada di Indonesia janganlah berbicara saja untuk memajukan Islam, akan tetapi juga diperlukan tindakan yang nyata.[4] Jika ditarik benang merahnya, cara-cara penyebaran agama atau perekrutan agama lain (yang direkrut pemeluk agama Islam) selain melalui ranah ekonomi juga melalui ranah kebudayaan, misalnya melalui musik ataupun seni yang lainya, sebagai umat Islam atau kader Muhammadiyah harus waspada, jika mampu kader Muhammadiyah bisa menggunakan metode seperti itu, karena  pada masa sekarang generasi muda lebih cenderung mengapresiasi kebudayaan asing ataupun kebudayaan local yang pantas dijadika sebagai komoditi atau ajang berkreasi.
Menurut William A Haviland, 1985, menyatakan akulturasi budaya dapat menyebabkan hal-hal berikut, pertama subtitusi yaitu digantinya unsur yang lama oleh unsur yang baru dengan mengambil alih fungsinya. Kedua sinkritisme, yaitu perpaduan antara unsur yang lama dengan unsur yang baru untik menciptakan suatu hal yang baru. Ketiga, adisi adalah adanya tambahan unsur-unsur yang abru terhadap unsur yang lama. Keempat, originasi adalah munculnya unsur-unsur baru untuk mengikuti situasi yang selalu berubah. Kelima, rejeksi (penolakan) yaitu perubahan yang terjadi dengan cepat sehingga memunculkan penolakan secara keseluruhan, dan memunculkan gerakan kebangkitan.[5]
Wahyu dan kebudayaan memiliki persamaan, dimana persamaanya adalah keduanya merupakan bagian dari wujud pengetahuan. Yang mana pengetahuan itu dapat masuk ke dalam pola dan tata pikir yang memiliki fungsi panduan untuk memberikan respon dari setiap stimulus yang diterima dari lingkunganya. Umat islam memahami wahyu sebagai simbol dalam teks-teks atau bahasa Arab yang terdapat pada lembaran-lembaran Al Quran. Untuk kebudayan itu sendiri memiliki arti pemahaman terhadap simbol-simbol bahasa. Selain memiliki persamaan keduanya juga memiliki perbedaan yang mana itu sangan subtansial sekali, wahyu sebagai simbol merupakan rumusan dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril as kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan kebudayaan sebagai simbol merupakan rumusan manusia yang didapatnya dari warisan, pengalaman, pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungannya.[6] Dan hubungan antara wahyu sebagai symbol dengan kebudayaan sebagai symbol terletak pada penterjemahan wahyu untuk menjawab tantangan atau untuk mengatur kehidupan manusia dibidang sosial-ekonomi, politik dan budaya, serta untuk meluruskan kebudayaan yang dianggap menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Didalam langkah praksisnya untuk menerapkan dakwah cultural tidaklah mulus dan mudah, perlu memperhatiakan kondisi sosio-kultural di daerah yang menajdi target dakwah, memahami kondisi psikologis masyarakat setempat, menentukan langkah-langkah yang strategis, serta metode penyampaian yang tepat dan akurat sehingga dakwah cultural dapat menyentuh pada semua lapisan masyarakat di suatu wilayah sasaran dakwah. Dan untuk membersihkan suatu tradisi yang ada di masyarakat dari aspek-aspek yang menyeleweng dari ketentuan ajaran islam, para penyebar dakwah cultural haruslah menguasai dan memahami seluk beluk mengenai tradisi daerah target dakwahnya, dan penguasaan dan pemahaman tradisi merupakan modal yang paling utama supaya tidak terjadi sesuatu hal yang dapat merugikan diri sendiri , orang lain ataupun Instansi atau Organisasi yang dibawanya.[7]
Dalam dakwah kultural ada beberapa hal yang menjadi perhatian. Pertama, bentuk penyampaian harus sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan jangan sampai bertentangan atau mengurangi isinya. Kedua, dalam menyampaikan haruslah memahamkan warga atau komunitas Muhammadiyah. Ketiga, dalam penyampaian haruslah mencerminkan semangat Muhammadiyah untuk maju, terbuka, percaya diri dan berimbang.[8]
Menurut Cak Nur, ” ghayru mahdlah atau amal shalih adalah kegiatan berbudaya yang serasi dalam hubunganya dengan lingkungan hidup ini secara menyeluruh, juga dalam hubunganya antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, segi material dan spiritual. Pendekatan keduanya hanya dapat dilakukan dengan perpaduan antara iman dan ilmu. Dengan memadukan keduanya maka seseorang akan melakukan amal shalih, dan dengan begitu seseorang akan mencapai insan khamil atau manusia sempurna (akhlaqnya).”[9] Amal shalih merupakan refleksi iman, atau iman dapat diwujudkan dengan amal shalih, karena seseorang belum di sebut orang yang beriman jika belum melakukan amal shalih.
Seni Merupakan Langkah  yang Berpotensi  Untuk Dakwah Kultural
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt yang dibekali oleh akal pikiran sehingga memiliki keunggulan dibanding makhluk ciptaan Allah Swt yang lainya. Melalui akal manusia mampu menciptakan karya dan sarana untuk mencukupi kebutuhan, kemudahan dan kepuasan dalam kehidupan keseharian. Pencapaian-pencapaian tersebut yang kemudian disebut dengan budaya (kultur). Sehingga muncullah kata-kata dari seorang bijak “untuk mengetahui pribadi suatu bangsa, lihatlah budayanya dan kebudayaan adalah cermin pribadi bangsa.”[10]
Di dalam ensikloopedi Indonesia, Shadely (1984) mengemukakan, seni merupakan perwujudan dari rasa keindahan yang terdapat pada diri seseorang, dilahirkan dengan perantara alat-alat komunikasi kedalam bentuk dapat ditangkap oleh indera penglihatan melalui seni rupa, indera pendengaran melalui seni musik atau di munculkan oleh perantara gerak melalui seni draaama dan seni tari.[11]
Seni merupakam keindahan yang diciptakan oleh Allah, sehingga seorang muslim yang mencintai keindahan dan perasaan cinta tersebut muncul dikarenakan kehendak Allah, karena Allah itu maha indah dan mencintai keindahan. Menurut Gazalba (1976), pada masyarakat Islam, seni merupakam segala sesuatu yang dapat memunculkan keindahan dan semua yang diciptakan untuk memunculkan perasaan hati yang kuat, cinta, kasih sayang dan birahi.[12]
G. P. Murdock (1940) dan C. Kluckhohn mengambangkan gagasan yang dikemukakan Malinowski, menyatakan seni pada hakikatnya adalan budaya universal, karena itu seni merupakan salah satu fenomena budaya universal yang memuat kebutuhan pokok manusia. Koentjaraningrat (1959) membagi unsur-unsur tersebut menjadi tujuh bagian. pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia seperti sandang, papan, alat-alat rumah tangga, senjata , alat-alat produksi, transportasi dan telekomunikasi. Kedua adalah mata pencaharian, dengan budaya menusia dapat menciptakan mata pencaharian yang mana dapat mempengaruhi taraf hidupnya, mata pencarian tersebut bisa meliputi peternakan, pertanian, sistem produksi dan sistem distribusi. Ketiga, menusia dengan budayanya dapat menciptakan kemasyarakatan seperti sistem kekerabatan, politik, hukum dan pernikahan. Keempat dengan budaya manusia dapat menciptakan bahasa misalnya yang terdapat di dalam bahasa ada lisan dan tulis. Kelima ada kesenian, di dalam seni terdapat seni rupa, seni suara dan seni gerak. Keenam sistem pengetahuan melalui pendidikan ataupun pengalaman yang dialami diri sendiri atau orang lain. Ketujuh adalah religi, dimana dengan religi manusia dapat membuat ketenangan didalam dirinya.[13]
Seni menurut Chamah di bagi menjadi dua bagian, yaitu seni untuk seni dan seni yang bertendensi atau bermuatan pesan moral. Seni untuk seni adalah upaya untuk memiliki kebebasan berekpresi tanpa memperhitungkan nilai-nilai yang berada diluar seni itu sendiri, termasuk moral, etika dan agama. Sedangkan seni yang bertendensi atau yang bermuatan pesan moral adalah merupakan aliran seni yang dianut, dipahami, diikuti oleh banyak orang. Dan seni yang bertendensi terdapat pada KUHP pasal 282 dan 283 serta UU no. 4 PNPS tahun 1993 yang bunyinya: seni tidak bolah mengangu perasan kesopanan, kesusilaan, kepribadian, harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.[14]
Taufik ismail didalam memandang seni (sastra) yang tertuang dalam tulisanya yang dimuat oleh majalah Horizon, edisi Juni VI/1984 yang berjudul ”Sastra Sebagai Amal Shalih”, dengan tulisan tersebut Taufik ingin memunculkan paradigma didalam seni (sastra), yaitu bentuk kesenian apaun yang hendak dihasilkan haruslah diawali dengan niaat karena Tuhan Yang Maha Esa semata dan memanfaatkanya utntuk tujuan kemanusiaan dan makhluk laianya. Di dalam  bersastra diperlukan adanya ilmu mengenai keindahan, bahasa, dan struktur. Dengan kesenian seseorang dapat mengingat Tuhan Yang Maha Esa, hidup ini adalah sepotong sajadah yang terbentang dari ayunan sampai liang lahat. Dalam bertindak seseorang haruslah mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw. Berhati-hatilah dengan sifat ria, dengki dan dendam. Bersastra adalah proses beramal, sebagaimana amal shalih lainya yang memerlukan keikhlasan, kekusyukan dan kesabaran. Tujuan bersastra adalah mencari ridha Tuhan Yang Maha Esa, meskipun jalanya sulit penuh rintangan tetaplah terus berjalan apapun yang terjadi dan jangan mudah putus harapan, karena putus harapan merupakan tindakan yang dibenci Tuhan Yang Maha Esa, selalu bersyukur dan teguh didalam pendirian.[15]
Rasa seni didalam diri manusia merupakan anugerah Ilahi dan merupakan salah satu fitrah manusia yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa Islam. (Pedoman Hidup Warga Muhammadiyah, 2003). Dengan seni seseorang bisa mengetahui keindahan yang di ciptakan oleh Allah. Jika seni dikelola dengan baik dan sesuai dengan tuntutan Allah, maka seni akan melambutkan hati bani Adam untuk berserah diri kepada Allah.
Di dalam melaksanakan pendidikan seni terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan pada umumnya faktor-faktor ini sangant mempengaruhi keberhasilan di dalam dakwah kultural. Pertama yaitu alasan mendasar tentang penetapan pendidikan seni yang meliputi motivasi dan rasionalisasi serta urgensi. Kedua adalah penataan materi pendidikan seni yang mencakup jenis-jenis seni yang perlu diprioritaskan, kurikulum, pengaturan serta aktivitasnya. Keempat adalah teknik pembelajaran seni yang meliputi metode dan strategi pengetahuan kegiatan. Kelima adalah faktor pendukung dalam pendidikan seni seperti penentu kebijaksanaan, penyusun ketentuan sekolah, guru tenaga pendidik, dan fasilitas pendukungnya. Keenam adalah faktor profesionalitas yang selama ini menjadi penghambat dalam pendidikan seni dan rendahnya pengetahuan tenaga pendidik sehingga menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap seni.[16]
Kesiapan pendidikan seni di Muhammadiyah sangat bergantung pada, pertama penguasaan  tentang materi dasar mengenai seni itu sendiri. Kedua menyusun kurikulum dan menghubungkan antara perencanaan dengan pelaksanaan kegiatan intrakulikuler dengan ekstrakulikuler. Ketiga harus adanya guru-guru yang memiliki kemampuan dan kompetensi tentang mata pelajaran seni.[17]






Daftar Pustaka
Chaniago, Diki E dkk. 2010. Membumukan Gerakan Ilmu dalam Muhammadiyah, editor Jabarohim dkk. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Soenarto, Siti Chamamah dkk. 2009. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: SuatuWarisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Sucipto, Hery. 2005. Senarai tokoh Muhammadiyahpemikiran dan Kiprahnya. Jakarta: Grafindo.
Tebba, Suderma. 2004. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Jakarta: Paramadina.




[1] Suderma Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2004), h.52.
[2] Koentjaningrat, 2002 yang dikuti oleh Hamim Ilyas dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: SuatuWarisan Intelektual yang Terlupakan, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2009), h. 26.
[3] Diki E. Chaniago dengan artikel Muhammadiyah, Jadilah Motor Penggerak Pemberantas Budaya Korupsi di dalam buku Membumukan Gerakan Ilmu dalam Muhammadiyah, editor Jabarohim dkk, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 87.
[4]Hery Sucipto, Senarai tokoh Muhammadiyahpemikiran dan Kiprahnya, (Jakarta: Grafindo, 2005), h 165.
[5] Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 12.
[6] M. Radhi al Hafidz di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 38.
[7]Oleh Mu’arif dengan judul mencermati Dakwah Muhammadiyahdi dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 61-62.
[8] Mustow  dengan artikel yang berjudul Menciptakan Nuansa Budaya dalam Muktamar ke 46 di Yogyakarta di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 199-200.
[9] Suderma Tebba, Ibid, h. 7.
[10] M. Afandi, karyanya berjudul Seni Musik dalam Dakwah Kultural dalm buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 98.
[11] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni dan Pendidikan di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 130.
[12] Ibid, h. 131.
[13] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni dan Pendidikan di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 134.
[14] Ibid, h. 133-134.
[15] Ibid, h. 139.
[16] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni dan Pendidikan di Muhammadiyah.
[17] Jabarohim dengan artikel yang berjudul Tanda-Tanda membaiknya Pendidikan Seni di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,  h. 132.

Jumat, 29 Agustus 2014

SEBUAH PENA



SEBUAH PENA
Minggir-minggir
Mantan sampah masyarakat mau nyampah.
Sebuah pena tak akan ada artinya untuk pengguna sosia media akut. Dia lebih senang menuangkan ide-idenya kedalam gadget penyedia layanan media social yang berada ditanganya, daripada menuangkan ide-idenya disebuah kertas dengan pena. Berbeda halnya dengan seorang gadis dari Pakistan bernama Malala. Sebuah pena yang dia tuangkan ke dalam sebuah buku diarynya dapat membuka mata dunia, dan menghantarkan dirinya untuk mendapatkan penghargaan dari dunia (meskipun berita ini sudah lama yaitu pada tahun 2012), dengan pena yang telah dituangkan itu pula menghantarkan dirinya koma selama enam hari karena dirinya ditembak dibagian kepala dan leher oleh para pemberontak, akan tetapi dirinya tetap berpegang pada tali kebenaran sehingga keyakinannya tidak goyah. Dia menuangkan pena yang dia miliki ke dalam diarynya dengan dipandu oleh pena (akal/ide) yang dititipkan oleh Allah kepadanya.
Saudara dan saudariku, betapa hebatnya jika sebuah pena (akal/ide) dituangkan dalam sebuah media. Pena tersebut akan mengalahkan senjata tercanggih yang pernah atau akan diciptakan manusia. Dengan menuangkan pena (akal/ide), para pendiri bangsa ini melawan dan mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Dengan menuangkan pena (akal/ide) pula kretivitas-kreativitas tercipta. Dengan menuangkan pena manusia dapat merubah dunia seisinya.
Semoga Allah Swt mengampuni dosaku dan dosamu masa lalu, sekarang dan masa yg akan datang.

Kamis, 28 Agustus 2014

Islam Dan Bahaya Radikalisme di Dalam Beragama





By : Arifin

I.                   PENDAHULUAN

Truth klaim, apakah itu diperlukan didalam beragama? Memang benar truth klaim itu dibutuhkan didalam beragama tetapi harus diimbangi dengan wawasan yang luas supaya tidak terjadi salah dalam penafsiran. Didalam beragama diperbolehkan mengklaim agamanya yang paling benar tanpa menyalahkan agama lain didepan para pemeluk agama yang menganutnya apa lagi memaksakkan secara halus ataupun kasar agar penganut agama lain memeluk agama yang dianutnya.
            Tidak jarang orang melakukan tindakan konyol yang tidak berperikemanusiaan berupa pembantaian massal atas nama agama, seperti kasus genosida. Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-basaran secara sitematis terhadap suatu suku bangsa dan kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat musnah) bangsa tersebut. kata ini pertama kali digunakna oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkim pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Role in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani Genos (Ras bangsa/ rakyat) dan bahasa Latin Caedere (pembunuhan). [1] Nama lain dari Genosid adalah Holocaus. Holocaust berasal dari bahasa Yunani kuno yang artinya pengorbanan kepada dewa yang seluruhnya dibakar di altar. Dan kata itu digunakan sebagai ungkapan penghalus untuk pembunuhan masal. Dan inilah ungkapan dari seorang Adolf Hitler yang paling fenomenal dalam kasus genosida, ”Kalau saya benar-benar berkuasa,orang-orang Yahudi akan digantung satu per satu, sampai tanah Jerman bersih dari Yahudi”.
            Fanatik didalam beragama itu diperbolehkan bahkan itu diharuskan, karena Meyakini kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan sangat diperlukan dalam beragama. Yang kurang disetujui didalam perilaku beragama adalah tindakan yang radikal karena dapat mengancam kerukunan antar umat beragama. Didalam makalah ini akan membahas mengenai Islam dan bahaya radikalisme beragama di masa kini.



II.                PEMBAHASAN
           
            Konflik pada dasarnya merupakan situasi yang melibatkan paling tidak dua pihak. Sedangkan pertikaian, dapat diartikan sebagai situasi persaingan dimana kelompok bertikai sadar adanya ketidakcocokan kedudukan potensial dimasa depan dan dimana masing-masing kelompok bertikai berharap memperoleh kedudukan yang tidak cocok dengan harapan kelompok lain. Jadi pengertian konflik ini mengandung dua kata pokok, yaitu kesadaran dan harapan (Boulding, 1963: 6)
            Pola hubungan konflik etnik lebih menekankan pada konflik yang berlangsung ketika kelompok-kelompok etnik malakukan kontak. Menurut Mason (1970), ada tiga model konflik, yaitu; pemusnahan (genocide), perpindahan penduduk (population transwer), dan penaklukan ( subjugation).
            Model pemusnahan menyertakan usaha sistematik untuk membunuh atau menghancurkan seluruh penduduk  atau ras tertentu. Model pemusnahan lazimnya didasarkan pada ideology rasis yang mengunggulkan salah satu ras yang dominan. Pemusnahan merupakan akibat yang tragis yang dilakukan oleh suatu golongan untuk memantapkan dominasinya atas golongan ras atau etnik lain.
            Perpindahan penduduk merupakan cara lain dimana suatu kelompok bisa berupaya mencari dominasi terhadap kelompok yang lain. Dalam model konflik ini, suatu kelompok dipaksa untuk meninggalkan masyarakat setempat dengan meninggalkan lokasi tersebut. Penaklukan merupakan pola paling umum dalam konflik antar golongan. Model ini menunjukkan dimana kelompok mayoritas menikmati akses lebih besar dari kelompok yang minoritas.[2]
            Dalam pola pengusiran atau ekspulsi, golongan minoritas dikeluarkan dari masyarakat. Tidak jarang anggota kelompok minoritas dipaksa untuk meninggalkan segala yang mereka miliki, walaupun keputusan perpindahan kelompok minoritas mungkin dilakukan dengan sukarela, tetapi keputusan itu muncul diakibatkan tekanan oleh kelompok dominan.[3]
            Dalam kehidupan beragama juga dikenal beberapa istilah diantaranya: Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran mutlak yang hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan pilihan lain. Klaim tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia dilakukan secara nyata oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar. Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” dimana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai satu-satunya “ruang” yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soteriologis yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan, kebebasan, pencerahan dan suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut. Yudaisme, dengan doktrin “orang-orang terpilih”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “diluar Kristen tidak ada keselamatan”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan sementara Islam dengan firman Allah s.w.t. dalam al-Qur’an: agama yang diridhoi Allah adalah agama islam meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah s.w.t. sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.
            Inklusivisme merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu pihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar secara absolut, tapi, di pihak lain, ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain, bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena “limpahan berkah dan rahmat” dari kebenaran absolut yang ia miliki. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.[4]
Harus diakui, pada sebagian kecil umat beragama terdapat sebagian orang yang memahami agama secara banar –salah dengan sudut pandang yang sempit dan melakukan hal-hal diatas yang dianggap tindakan konyol yang tidak berperi kemanusiaan akan tatapi itu benar terjadi. Pemahaman dan penerapan yang seperti ini dapat berakibat fatal, yakni merusak hubungan umat beragama yang dibina sejak lama dengan cara-cara yang anarkis seperti melakukan terror, peledakan bom, perampokan, dengan berkeyakinan itu adalah bentuk dari pembelaan agama dan perintah agama.
            Realitas-realitas didepan mata mereka yang tidak sesuai dengan harapan mereka menjadikan gerakan fundamentalis Islam bangkit menyeruak dengan api semangat yang berkobar-kobar berjuang dengan truth claim yang mereka yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Apa yang pertama, dan salah satunya yang mereka perjuangkan adalah berdirinya sebuah negara Islam dan pemberlakuan syariah Islam.  Dan perjuangan untuk menegakkan aspirasi agama mereka menjadi lebih klop dan mendapatkan momen yang tepat, karena mereka tinggal di negara yang sedang mengalami  berbagai masalah yang bersifat multidimensi. [5]
            Meyakini kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan sangat diperlukan dalam beragama.[6] Akan tetapi masyarakat salah dalam mempersepsikan orang-orang yang berperilaku fanatik, orang yang melakukan kekerasan yang mengatas namakan jihad dijalan Allah justru itulah yang disebut sebagai orang yang fanatic didalam beragama.
            Radikalisme dalam waktu yang lama hanya akan menjadi contoh yang buruk bagi agama yang dinilai suci oleh para penganutnya. Biasanya umat islam adalah yang paling rentan terhadap rayuan radikalisme karena posis umat islam yang masih berada diurutan belakang didalm peradapan. Pada posis ini dapat mendorong umat untuk menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan, tetapi didalm jangka panjang pasti akan berakhir dengan penderitaan, penyesalan dan kegagalan, serta frustasi dan kemalangan atas keadaan yang ditimpanya, sehingga dia merasa harus membalas atau melenyapkan orang-orang yang tidak seagama denganya.
            Dalam sejarah umat manusia, radikalisme didalam beragama pada umumnya mengalami kegagalan, apalagi jika idiologi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme yang sempit. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak memiliki modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Dan mengatasnamakan agama mereka tega membunuh, atau melakukan genosida atau pembantaian secara missal terhadap pemeluk agama lain.
“ …maka perangilah orang-orang musyirikin itu dimana saja kamu jumpai mereka...” (Qs. At Taubah: 5).
“(Dan) perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberkati Alkitab kepada mereka, sampai mereka (mau) membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (dalam perang)” (Qs. At Taubah: 29).
“…dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” (Qs. At taubah: 36).
Dalil-dalil inilah yang digunakan oleh para kaum radikal untuk memusnahkan umat manusia yang dianggap kafir dan musyrik. Pemahaman yang sempit serta penafsiran yang sembarangan dan semangat yang berapi-api didalam keputusasaan dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik dimanapun mereka berada, entah tua-muda, anak kecil-dewasa, pria –wanita bisa menjadi korban orang-orang radikal. Dan orang-orang radikal juga akan memaksakan agama yang dianutnya kepada pemeluk agama lain. Padahal dalam Al Quran menjelaskan:
“ Tidak ada paksaan memasuki agama…”(Qs. Al Baqarah: 256).
“ dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya: maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya” (Qs. Yunus: 99).
            Dan orang radikal akan terus menebarkan terror, dan melakukan serangan yang mengatas namakan perintah agama Islam. Padahal dengan jelas Allah telah melarang melakukan pembunuhan terhadap manusia tanpa sebab yang haq. Allah berfirman:
“sesungguhnya telah kami mulaikan anak-anak Adam…” (Qs. Al Isra: 70).
“ oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah mebunuh manusia seluruhnya, barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak diantara mereka setelah itu melampaui batas bumi” ( QS. Al Maidah: 32).
            Hukum pada surat Al Maidah ayat dua itu tidak hanya berlaku pada Bani Israil saja, tetapi juga untuk semua manusia. Allah memandang membunuh seorang itu bagaikan membunuh semua manusia begitu juga sebaliknya.[7]
            Islam menyuruh umat muslim untuk mendakwahkan ajaran islam kepada non-muslim dengan cara perdamaian dan menjahui peperangan. Dan didalam mendakwahkan ajaran islam umat muslim hanya bertugas untuk menyampaikan pesan bukan memaksa untuk menerima dan memeluk islam bagi pemeluk agama lain. Dan hanya Allah yang mengetahui mengenai siapa yang sesat dan yang memberi hidayah kepada orang-orang yang ditunjuknya. Allah berfirman “sesungguhnya (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-NYA dan Dialah yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An Nisa: 125).
            Akan tetapi orang-orang radikal tidak bisa menerima hal semacam itu. Mereka beranggapan bahwa orang-orang kafir itu layak untuk dibunuh atau mereka masuk agama islam dan muslim yang tidak sepaham dengan mereka maka para muslim yang berbeda paham dengan mereka dianggap musyrik.

III.             ANALISIS
           
            Didalam menyebarkan dan mendakwahkan ajaran  agama islam nabi Muhammad menggunakan cara perdamaian dan sebisa mungkin menghindari konflik dengan orang-orang kafir. Dan tidak sepatutnya kita umat islam dalam mendakwahkan ajaran islam dengan pemaksaan apalagi dengan kekerasan ataupun terror. Allah berfirman:
“Dan kewajiban kami tidak lain hanylah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas” (QS. Yasin: 17).
“ Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kanu berlamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah, sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS. Ali Imran: 159).
“ Undanglah mereka kepada islam dan beritahu tugas-tugas mereka. Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk melalui kamu, maka lebih baik bagi kamu dari pada unta merah” (HR. Al Bukhari).
Dengan dalil diatas, menjelasakan bahwa umat muslim didalam mengajak orang-orang non-muslim untuk mendengarkan ajaran agama islam diutamakan dengan kelembutan dan perdamain lebih diutamakan dari pada dengan kekerasan.
            Nabi Muhammad di utus ke bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Begitu juga dengan umat muslim adalah penerus nabi Muhammad, sehingga umat muslim menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:
“Dan kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al Anbiya: 107).
Dalam ayat ini umat islam dituntut untuk menjadi rahmat bagi alam bukan untuk merusak alam. Dalam menjaga alam, bisa dilakukan dengan tidak memusnahkan kehidupan makhluk hidup lainya secara berlebihan dan jangan membunuh manusia lain berdasarkan agama karena hanya akan merusak nilai agama yang suci tersebut bagi pemeluknya.

 waallahu a’lam bi asshowabi.


           
















DAFTAR PUSTAKA

Habib, Achmad. 2004. Konflik ANTARETNIK DI PEDESAAN Pasang Surut Hubungan Cina-      Jawa.              Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.

Hasan, Muhammad Hanif. 2007. Teroris Membajak Islam; Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.

Nugroho,Arifin Suryad kk. 2008. 10 Kisah Genocide. Yogyakarta: Bio Pustaka.

Sumber dari internet:




[1] Arifin Surya Nugroho, dkk, 10 Kisah Genocide, (Yogyakarta: Bio Pustaka), 2008, h. 120-121.
[2] Achmad Habib, Konflik Antaretnik di Pedesaan Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa,( Yogyakarta: LKIS Yogyakarta), 2004, h. 23-26.
[3]ibid, h. 141.
[7] Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahan Juz 1-30, (meker: surabaya), 2002, h. 150.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More