I.
Pendahuluan
Didalam menjaga kerukunan umat agama dan umat beragama di
Indonesia, hendaklah setiap umat agama wajib menghormati apa yang menjadi
kepercayaan orang lain. Apalagi di Indonesia, yang memiliki beragam agama,
aliran dan kebudayaan, dimana ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan.
Didalam mensyiarkan agama Islam di Indonesia, umat islam
haruslah mempertimbangkan hal-hal tersebut agar tidak terjadi perang saudara
atau hilangnya jati diri bangsa Indonesia yang terkenal akan keramahan dan
keberanekaragaman budaya. Seperti yang telah dicontohakan para pendahulu umat
Islam di Indonesia seperti walisongo, kyai pandan Aran, Kyai Shaleh Darat .
Beliau-beliau telah mencontohkan bagaimana dalam menyebarkan agama Islam dengan
proses perdamaian tanpa menimbulkan peperangan yang besar. Hal tersebut yang
coba diadopsi oleh KH Ahmad Dahlan, karena mensiarkan agama melalui jalur
perdamaian dengan memahami unsur lokal lebih berpotensi dan memiliki jangka
panjang yang lebih bagus dari pada melalui jalur peperangan. Dan dalam jangka
panjang sumbangsih yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu jauh lebih
fundamental di banding gerakan politik. Sewaktu Muhammadiyah didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan, gerakanya sesuai dengan konteks masyarakat (pada masa penjajahan
Belanda) yaitu dengan memulai jalur pendidikan bukan politik, dan gerakan KH
Ahmad Dahlan ini disebut dengan gerakan kultural.[1]
Pada masa penjajahan Belanda rakyat indonesia sangat di batasi didalam
pendidikan, supaya Belanda bisa menguras sumber daya yang ada di Indonesia
tanpa adanya perlawanan yang berarti. Melalui jalur pendidikan yang baik dan
benar akan menghantarkan suatu bangsa dapat menciptakan atau menguasai
teknologi dan memunculkan sifat yang bijak.
Sifat sederhana yang menyeluruh dibutuhkan supaya suatu
bangsa dapat menyisihkan sebagian devisanya untuk menambahkan modal di segala
aspek. Dan upaya itu dapat didukung dengan hasrat untuk mengeksplorasi alam
beserta kekuatanya akan menambah kemungkinan pembaharuan di dalam pemikiran
suatu bangsa, terutama dibidang teknologi yang merupakan bagian terpenting dari
suatu peradapan.[2] Suatu bangsa dapat dikatakan maju dalam peradapan
berdasarkan teknologi yang dimiliki atau dikuasainya,dan teknologi masuk
kedalam unsur budaya.
Sebagai negara yang pernah di jajah, bangsa Indonesia
memiliki beberapa karakter yang mana, jika karakter itu terus dipelihara, maka
akan menghancurkan kebudayaan bangsa ini
Koentjaraningrat membagi karakter bangsa Indonesia setelah kemerdekaan
menjadi lima sikap. Yang pertama, memandang tidak penting mengenai kualitas.
Kedua, adanya sifat tergesa-gesa dalam mencapai tujuan tanpa ingin menikmati
suatu proses. Ketiga, kurangnya sikap tanggung jawab. Keempat, kurangnya sikap
percaya terhadap kemampuanya. Dan kelima, bangsa ini memiliki karakter apatis
dan lesu.[3]
Sebagai kader Muhammadiyah yang menyukai pembaharuan
haruslah sadar dan mawas diri terhadap karakter-karakter yang disebutkan oleh
koentjoroningrat. Apakah sebagai kader sudah menghilangkan karakter-karakter
tersebut dari dirinya? Dengan hilangnya karakter-karakter tersebut, maka
kader-kader IMM yang sekaaligus kader Muhammadiyah bisa melakukan penyadaran
dan membumikan dakwah kultural kepada masyarakat di lingkungan dimana dia
berada. Didalam makalah ini hanyalah sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bahan
pembelajaran bagi kader-kader IMM yang sekaligus kader Muhammadiyah, yang
sebenarnya para elit Muhamadiyah sudah menyaadari arti penting dakwah kultural
bagi kelangsungan Organisasi Muhammadiyah dan para elit Muhammadiyah juga sudah
menjalankan dakwah kultural.
II.
Pembahasan
Dakwah Kultural
AR Fakhruddin didalam mensiarkan ajaran Islam dengan
menggunakan metode dakwah cultural Islam. Di dalam hal ini AR Fakhruddin
memberikan penghargaan kepada kebudayaan local, namun tidak meninggalkan unsur
Islam. Dan andai kata memungkinkan adat local atau daerah itu diberi muatan
agama. Misalnya, membentuk tim khusus untuk menciptakan atau mengubah lirik dan
syair lagu-lagu dangdut. AR Fakhruddin berpendapat, “ Jika umat lain mendirikan
sekolah, panti sosial, rumah sakit, ayolah kita mendirikan hal yang serupa
jangan hanya menggerutu.” Dari ungkapan itu dapat dipetik hikmahnya berupa,
sebagai umat Islam yang ada di Indonesia janganlah berbicara saja untuk
memajukan Islam, akan tetapi juga diperlukan tindakan yang nyata.[4] Jika ditarik benang merahnya, cara-cara penyebaran agama
atau perekrutan agama lain (yang direkrut pemeluk agama Islam) selain melalui
ranah ekonomi juga melalui ranah kebudayaan, misalnya melalui musik ataupun
seni yang lainya, sebagai umat Islam atau kader Muhammadiyah harus waspada,
jika mampu kader Muhammadiyah bisa menggunakan metode seperti itu, karena pada masa sekarang generasi muda lebih
cenderung mengapresiasi kebudayaan asing ataupun kebudayaan local yang pantas
dijadika sebagai komoditi atau ajang berkreasi.
Menurut William A Haviland, 1985, menyatakan akulturasi
budaya dapat menyebabkan hal-hal berikut, pertama subtitusi yaitu digantinya
unsur yang lama oleh unsur yang baru dengan mengambil alih fungsinya. Kedua
sinkritisme, yaitu perpaduan antara unsur yang lama dengan unsur yang baru
untik menciptakan suatu hal yang baru. Ketiga, adisi adalah adanya tambahan
unsur-unsur yang abru terhadap unsur yang lama. Keempat, originasi adalah
munculnya unsur-unsur baru untuk mengikuti situasi yang selalu berubah. Kelima,
rejeksi (penolakan) yaitu perubahan yang terjadi dengan cepat sehingga
memunculkan penolakan secara keseluruhan, dan memunculkan gerakan kebangkitan.[5]
Wahyu dan kebudayaan memiliki persamaan, dimana
persamaanya adalah keduanya merupakan bagian dari wujud pengetahuan. Yang mana
pengetahuan itu dapat masuk ke dalam pola dan tata pikir yang memiliki fungsi
panduan untuk memberikan respon dari setiap stimulus yang diterima dari
lingkunganya. Umat islam memahami wahyu sebagai simbol dalam teks-teks atau
bahasa Arab yang terdapat pada lembaran-lembaran Al Quran. Untuk kebudayan itu
sendiri memiliki arti pemahaman terhadap simbol-simbol bahasa. Selain memiliki
persamaan keduanya juga memiliki perbedaan yang mana itu sangan subtansial
sekali, wahyu sebagai simbol merupakan rumusan dari Allah yang disampaikan
melalui malaikat Jibril as kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan kebudayaan
sebagai simbol merupakan rumusan manusia yang didapatnya dari warisan,
pengalaman, pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungannya.[6] Dan hubungan antara wahyu sebagai symbol dengan
kebudayaan sebagai symbol terletak pada penterjemahan wahyu untuk menjawab
tantangan atau untuk mengatur kehidupan manusia dibidang sosial-ekonomi, politik
dan budaya, serta untuk meluruskan kebudayaan yang dianggap menyalahi aturan
yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Didalam langkah praksisnya untuk menerapkan dakwah
cultural tidaklah mulus dan mudah, perlu memperhatiakan kondisi sosio-kultural
di daerah yang menajdi target dakwah, memahami kondisi psikologis masyarakat
setempat, menentukan langkah-langkah yang strategis, serta metode penyampaian
yang tepat dan akurat sehingga dakwah cultural dapat menyentuh pada semua
lapisan masyarakat di suatu wilayah sasaran dakwah. Dan untuk membersihkan
suatu tradisi yang ada di masyarakat dari aspek-aspek yang menyeleweng dari
ketentuan ajaran islam, para penyebar dakwah cultural haruslah menguasai dan
memahami seluk beluk mengenai tradisi daerah target dakwahnya, dan penguasaan
dan pemahaman tradisi merupakan modal yang paling utama supaya tidak terjadi
sesuatu hal yang dapat merugikan diri sendiri , orang lain ataupun Instansi
atau Organisasi yang dibawanya.[7]
Dalam dakwah kultural ada beberapa hal yang menjadi
perhatian. Pertama, bentuk penyampaian harus sesuai dengan pesan yang ingin
disampaikan jangan sampai bertentangan atau mengurangi isinya. Kedua, dalam
menyampaikan haruslah memahamkan warga atau komunitas Muhammadiyah. Ketiga,
dalam penyampaian haruslah mencerminkan semangat Muhammadiyah untuk maju,
terbuka, percaya diri dan berimbang.[8]
Menurut Cak Nur, ” ghayru mahdlah atau amal shalih
adalah kegiatan berbudaya yang serasi dalam hubunganya dengan lingkungan hidup
ini secara menyeluruh, juga dalam hubunganya antara kehidupan duniawi dan
ukhrawi, segi material dan spiritual. Pendekatan keduanya hanya dapat dilakukan
dengan perpaduan antara iman dan ilmu. Dengan memadukan keduanya maka seseorang
akan melakukan amal shalih, dan dengan begitu seseorang akan mencapai insan
khamil atau manusia sempurna (akhlaqnya).”[9]
Amal shalih merupakan refleksi iman, atau iman dapat diwujudkan dengan amal
shalih, karena seseorang belum di sebut orang yang beriman jika belum melakukan
amal shalih.
Seni Merupakan Langkah yang Berpotensi Untuk Dakwah Kultural
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt yang dibekali
oleh akal pikiran sehingga memiliki keunggulan dibanding makhluk ciptaan Allah Swt
yang lainya. Melalui akal manusia mampu menciptakan karya dan sarana untuk
mencukupi kebutuhan, kemudahan dan kepuasan dalam kehidupan keseharian.
Pencapaian-pencapaian tersebut yang kemudian disebut dengan budaya (kultur).
Sehingga muncullah kata-kata dari seorang bijak “untuk mengetahui pribadi suatu
bangsa, lihatlah budayanya dan kebudayaan adalah cermin pribadi bangsa.”[10]
Di dalam ensikloopedi Indonesia, Shadely (1984)
mengemukakan, seni merupakan perwujudan dari rasa keindahan yang terdapat pada
diri seseorang, dilahirkan dengan perantara alat-alat komunikasi kedalam bentuk
dapat ditangkap oleh indera penglihatan melalui seni rupa, indera pendengaran
melalui seni musik atau di munculkan oleh perantara gerak melalui seni draaama
dan seni tari.[11]
Seni merupakam keindahan yang diciptakan oleh Allah,
sehingga seorang muslim yang mencintai keindahan dan perasaan cinta tersebut
muncul dikarenakan kehendak Allah, karena Allah itu maha indah dan mencintai
keindahan. Menurut Gazalba (1976), pada masyarakat Islam, seni merupakam segala
sesuatu yang dapat memunculkan keindahan dan semua yang diciptakan untuk
memunculkan perasaan hati yang kuat, cinta, kasih sayang dan birahi.[12]
G. P. Murdock (1940) dan C. Kluckhohn mengambangkan
gagasan yang dikemukakan Malinowski, menyatakan seni pada hakikatnya adalan
budaya universal, karena itu seni merupakan salah satu fenomena budaya
universal yang memuat kebutuhan pokok manusia. Koentjaraningrat (1959) membagi
unsur-unsur tersebut menjadi tujuh bagian. pertama, peralatan dan perlengkapan
hidup manusia seperti sandang, papan, alat-alat rumah tangga, senjata ,
alat-alat produksi, transportasi dan telekomunikasi. Kedua adalah mata
pencaharian, dengan budaya menusia dapat menciptakan mata pencaharian yang mana
dapat mempengaruhi taraf hidupnya, mata pencarian tersebut bisa meliputi
peternakan, pertanian, sistem produksi dan sistem distribusi. Ketiga, menusia
dengan budayanya dapat menciptakan kemasyarakatan seperti sistem kekerabatan,
politik, hukum dan pernikahan. Keempat dengan budaya manusia dapat menciptakan
bahasa misalnya yang terdapat di dalam bahasa ada lisan dan tulis. Kelima ada
kesenian, di dalam seni terdapat seni rupa, seni suara dan seni gerak. Keenam
sistem pengetahuan melalui pendidikan ataupun pengalaman yang dialami diri
sendiri atau orang lain. Ketujuh adalah religi, dimana dengan religi manusia
dapat membuat ketenangan didalam dirinya.[13]
Seni menurut Chamah di bagi menjadi dua bagian, yaitu
seni untuk seni dan seni yang bertendensi atau bermuatan pesan moral. Seni
untuk seni adalah upaya untuk memiliki kebebasan berekpresi tanpa
memperhitungkan nilai-nilai yang berada diluar seni itu sendiri, termasuk
moral, etika dan agama. Sedangkan seni yang bertendensi atau yang bermuatan
pesan moral adalah merupakan aliran seni yang dianut, dipahami, diikuti oleh
banyak orang. Dan seni yang bertendensi terdapat pada KUHP pasal 282 dan 283
serta UU no. 4 PNPS tahun 1993 yang bunyinya: seni tidak bolah mengangu perasan
kesopanan, kesusilaan, kepribadian, harkat dan martabat bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila.[14]
Taufik ismail didalam memandang seni (sastra) yang
tertuang dalam tulisanya yang dimuat oleh majalah Horizon, edisi Juni VI/1984
yang berjudul ”Sastra Sebagai Amal Shalih”, dengan tulisan tersebut
Taufik ingin memunculkan paradigma didalam seni (sastra), yaitu bentuk kesenian
apaun yang hendak dihasilkan haruslah diawali dengan niaat karena Tuhan Yang
Maha Esa semata dan memanfaatkanya utntuk tujuan kemanusiaan dan makhluk
laianya. Di dalam bersastra diperlukan
adanya ilmu mengenai keindahan, bahasa, dan struktur. Dengan kesenian seseorang
dapat mengingat Tuhan Yang Maha Esa, hidup ini adalah sepotong sajadah yang
terbentang dari ayunan sampai liang lahat. Dalam bertindak seseorang haruslah
mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw. Berhati-hatilah dengan sifat ria, dengki
dan dendam. Bersastra adalah proses beramal, sebagaimana amal shalih lainya
yang memerlukan keikhlasan, kekusyukan dan kesabaran. Tujuan bersastra adalah
mencari ridha Tuhan Yang Maha Esa, meskipun jalanya sulit penuh rintangan
tetaplah terus berjalan apapun yang terjadi dan jangan mudah putus harapan,
karena putus harapan merupakan tindakan yang dibenci Tuhan Yang Maha Esa,
selalu bersyukur dan teguh didalam pendirian.[15]
Rasa seni didalam diri manusia merupakan anugerah Ilahi
dan merupakan salah satu fitrah manusia yang harus dipelihara dan disalurkan
dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa Islam. (Pedoman Hidup Warga
Muhammadiyah, 2003). Dengan seni seseorang bisa mengetahui keindahan yang di
ciptakan oleh Allah. Jika seni dikelola dengan baik dan sesuai dengan tuntutan
Allah, maka seni akan melambutkan hati bani Adam untuk berserah diri kepada
Allah.
Di dalam melaksanakan pendidikan seni terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dan pada umumnya faktor-faktor ini sangant
mempengaruhi keberhasilan di dalam dakwah kultural. Pertama yaitu alasan
mendasar tentang penetapan pendidikan seni yang meliputi motivasi dan
rasionalisasi serta urgensi. Kedua adalah penataan materi pendidikan seni yang
mencakup jenis-jenis seni yang perlu diprioritaskan, kurikulum, pengaturan
serta aktivitasnya. Keempat adalah teknik pembelajaran seni yang meliputi
metode dan strategi pengetahuan kegiatan. Kelima adalah faktor pendukung dalam
pendidikan seni seperti penentu kebijaksanaan, penyusun ketentuan sekolah, guru
tenaga pendidik, dan fasilitas pendukungnya. Keenam adalah faktor
profesionalitas yang selama ini menjadi penghambat dalam pendidikan seni dan
rendahnya pengetahuan tenaga pendidik sehingga menyebabkan rendahnya
penghargaan terhadap seni.[16]
Kesiapan pendidikan seni di Muhammadiyah sangat
bergantung pada, pertama penguasaan
tentang materi dasar mengenai seni itu sendiri. Kedua menyusun kurikulum
dan menghubungkan antara perencanaan dengan pelaksanaan kegiatan intrakulikuler
dengan ekstrakulikuler. Ketiga harus adanya guru-guru yang memiliki kemampuan
dan kompetensi tentang mata pelajaran seni.[17]
Daftar Pustaka
Chaniago,
Diki E dkk. 2010. Membumukan Gerakan Ilmu dalam Muhammadiyah, editor
Jabarohim dkk. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Soenarto,
Siti Chamamah dkk. 2009. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya:
SuatuWarisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Sucipto,
Hery. 2005. Senarai tokoh Muhammadiyahpemikiran dan Kiprahnya. Jakarta:
Grafindo.
Tebba,
Suderma. 2004. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru
Bangsa. Jakarta: Paramadina.
[1] Suderma Tebba, Orientasi
Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina,
2004), h.52.
[2] Koentjaningrat, 2002 yang dikuti oleh
Hamim Ilyas dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Seni dan Budaya: SuatuWarisan Intelektual yang Terlupakan,
(Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2009), h. 26.
[3] Diki E. Chaniago dengan artikel Muhammadiyah,
Jadilah Motor Penggerak Pemberantas Budaya Korupsi di dalam buku Membumukan
Gerakan Ilmu dalam Muhammadiyah, editor Jabarohim dkk, (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 87.
[4]Hery Sucipto, Senarai tokoh
Muhammadiyahpemikiran dan Kiprahnya, (Jakarta: Grafindo, 2005), h 165.
[5] Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,
h. 12.
[6] M. Radhi al Hafidz di dalam buku Siti
Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 38.
[7]Oleh Mu’arif dengan judul mencermati
Dakwah Muhammadiyahdi dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,
h. 61-62.
[8] Mustow
dengan artikel yang berjudul Menciptakan Nuansa Budaya dalam Muktamar
ke 46 di Yogyakarta di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,
h. 199-200.
[9] Suderma Tebba, Ibid, h. 7.
[10] M. Afandi, karyanya berjudul Seni
Musik dalam Dakwah Kultural dalm buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,
h. 98.
[11] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni
dan Pendidikan di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,
h. 130.
[12] Ibid,
h. 131.
[13] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni
dan Pendidikan di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,
h. 134.
[14] Ibid,
h. 133-134.
[15] Ibid,
h. 139.
[16] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni
dan Pendidikan di Muhammadiyah.
[17] Jabarohim dengan artikel yang
berjudul Tanda-Tanda membaiknya Pendidikan Seni di Muhammadiyah di dalam
buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 132.