By : Arifin
I.
PENDAHULUAN
Truth klaim, apakah
itu diperlukan didalam beragama? Memang benar truth klaim itu dibutuhkan
didalam beragama tetapi harus diimbangi dengan wawasan yang luas supaya tidak
terjadi salah dalam penafsiran. Didalam beragama diperbolehkan mengklaim
agamanya yang paling benar tanpa menyalahkan agama lain didepan para pemeluk
agama yang menganutnya apa lagi memaksakkan secara halus ataupun kasar agar penganut
agama lain memeluk agama yang dianutnya.
Tidak
jarang orang melakukan tindakan konyol yang tidak berperikemanusiaan berupa
pembantaian massal atas nama agama, seperti kasus genosida. Genosida atau
genosid adalah sebuah pembantaian besar-basaran secara sitematis terhadap suatu
suku bangsa dan kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat musnah) bangsa
tersebut. kata ini pertama kali digunakna oleh seorang ahli hukum Polandia,
Raphael Lemkim pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Role in Occupied Europe yang
diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani Genos (Ras bangsa/ rakyat) dan bahasa
Latin Caedere (pembunuhan). [1]
Nama lain dari Genosid adalah Holocaus. Holocaust berasal dari bahasa Yunani
kuno yang artinya pengorbanan kepada dewa yang seluruhnya dibakar di altar. Dan
kata itu digunakan sebagai ungkapan penghalus untuk pembunuhan masal. Dan
inilah ungkapan dari seorang Adolf Hitler yang paling fenomenal dalam kasus
genosida, ”Kalau saya benar-benar berkuasa,orang-orang Yahudi akan digantung
satu per satu, sampai tanah Jerman bersih dari Yahudi”.
Fanatik
didalam beragama itu diperbolehkan bahkan itu diharuskan, karena Meyakini
kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk
berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang
disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam
beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan
yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan
sangat diperlukan dalam beragama. Yang kurang disetujui didalam perilaku
beragama adalah tindakan yang radikal karena dapat mengancam kerukunan antar
umat beragama. Didalam makalah ini akan membahas mengenai Islam dan bahaya
radikalisme beragama di masa kini.
II.
PEMBAHASAN
Konflik
pada dasarnya merupakan situasi yang melibatkan paling tidak dua pihak.
Sedangkan pertikaian, dapat diartikan sebagai situasi persaingan dimana kelompok
bertikai sadar adanya ketidakcocokan kedudukan potensial dimasa depan dan
dimana masing-masing kelompok bertikai berharap memperoleh kedudukan yang tidak
cocok dengan harapan kelompok lain. Jadi pengertian konflik ini mengandung dua
kata pokok, yaitu kesadaran dan harapan (Boulding, 1963: 6)
Pola
hubungan konflik etnik lebih menekankan pada konflik yang berlangsung ketika
kelompok-kelompok etnik malakukan kontak. Menurut Mason (1970), ada tiga model
konflik, yaitu; pemusnahan (genocide), perpindahan penduduk (population
transwer), dan penaklukan ( subjugation).
Model
pemusnahan menyertakan usaha sistematik untuk membunuh atau menghancurkan
seluruh penduduk atau ras tertentu.
Model pemusnahan lazimnya didasarkan pada ideology rasis yang mengunggulkan
salah satu ras yang dominan. Pemusnahan merupakan akibat yang tragis yang
dilakukan oleh suatu golongan untuk memantapkan dominasinya atas golongan ras atau
etnik lain.
Perpindahan
penduduk merupakan cara lain dimana suatu kelompok bisa berupaya mencari
dominasi terhadap kelompok yang lain. Dalam model konflik ini, suatu kelompok
dipaksa untuk meninggalkan masyarakat setempat dengan meninggalkan lokasi
tersebut. Penaklukan merupakan pola paling umum dalam konflik antar golongan.
Model ini menunjukkan dimana kelompok mayoritas menikmati akses lebih besar
dari kelompok yang minoritas.[2]
Dalam
pola pengusiran atau ekspulsi, golongan minoritas dikeluarkan dari masyarakat.
Tidak jarang anggota kelompok minoritas dipaksa untuk meninggalkan segala yang
mereka miliki, walaupun keputusan perpindahan kelompok minoritas mungkin
dilakukan dengan sukarela, tetapi keputusan itu muncul diakibatkan tekanan oleh
kelompok dominan.[3]
Dalam
kehidupan beragama juga dikenal beberapa istilah diantaranya: Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran mutlak yang
hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak
memberikan pilihan lain. Klaim tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak
mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim
kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia dilakukan secara
nyata oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana
masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar. Dan klaim eksklusivitas
dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang
“keselamatan” dimana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang” yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soteriologis yang
hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan, kebebasan, pencerahan
dan suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut
dan eksklusif tersebut. Yudaisme, dengan doktrin “orang-orang terpilih”-nya,
hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang
sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra
ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “diluar Kristen tidak
ada keselamatan”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang
hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai
tebusan dosa warisan sementara Islam dengan firman Allah s.w.t. dalam
al-Qur’an: “agama yang diridhoi Allah
adalah agama islam” meniscayakan
kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah s.w.t. sajalah
seseorang bisa mendapatkan keselamatan.
Inklusivisme merupakan bentuk klaim
kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu pihak, inklusivisme masih tetap
meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar secara absolut, tapi, di
pihak lain, ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan
transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain, bukan karena agama
mereka benar, tapi justru karena “limpahan berkah dan rahmat” dari kebenaran
absolut yang ia miliki. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu
artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para
teolog semisal Karl Rahner dengan teori “anonymous Christian” (Kristen
anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar
dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.[4]
Harus diakui, pada
sebagian kecil umat beragama terdapat sebagian orang yang memahami agama secara
banar –salah dengan sudut pandang yang sempit dan melakukan hal-hal diatas yang
dianggap tindakan konyol yang tidak berperi kemanusiaan akan tatapi itu benar
terjadi. Pemahaman dan penerapan yang seperti ini dapat berakibat fatal, yakni
merusak hubungan umat beragama yang dibina sejak lama dengan cara-cara yang
anarkis seperti melakukan terror, peledakan bom, perampokan, dengan
berkeyakinan itu adalah bentuk dari pembelaan agama dan perintah agama.
Realitas-realitas
didepan mata mereka yang tidak sesuai dengan harapan mereka menjadikan gerakan
fundamentalis Islam bangkit menyeruak dengan api semangat yang berkobar-kobar
berjuang dengan truth claim yang mereka yakini sebagai satu-satunya
kebenaran. Apa yang pertama, dan salah satunya yang mereka perjuangkan adalah
berdirinya sebuah negara Islam dan pemberlakuan syariah Islam. Dan
perjuangan untuk menegakkan aspirasi agama mereka menjadi lebih klop dan
mendapatkan momen yang tepat, karena mereka tinggal di negara yang sedang
mengalami berbagai masalah yang bersifat multidimensi. [5]
Meyakini
kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk
berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang
disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam
beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan
yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan
sangat diperlukan dalam beragama.[6]
Akan tetapi masyarakat salah dalam mempersepsikan orang-orang yang berperilaku
fanatik, orang yang melakukan kekerasan yang mengatas namakan jihad dijalan
Allah justru itulah yang disebut sebagai orang yang fanatic didalam beragama.
Radikalisme
dalam waktu yang lama hanya akan menjadi contoh yang buruk bagi agama yang
dinilai suci oleh para penganutnya. Biasanya umat islam adalah yang paling
rentan terhadap rayuan radikalisme karena posis umat islam yang masih berada
diurutan belakang didalm peradapan. Pada posis ini dapat mendorong umat untuk
menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan, tetapi didalm jangka panjang pasti
akan berakhir dengan penderitaan, penyesalan dan kegagalan, serta frustasi dan
kemalangan atas keadaan yang ditimpanya, sehingga dia merasa harus membalas
atau melenyapkan orang-orang yang tidak seagama denganya.
Dalam
sejarah umat manusia, radikalisme didalam beragama pada umumnya mengalami
kegagalan, apalagi jika idiologi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme
yang sempit. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak memiliki modal untuk
menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Dan mengatasnamakan agama mereka tega
membunuh, atau melakukan genosida atau pembantaian secara missal terhadap pemeluk
agama lain.
“
…maka perangilah orang-orang musyirikin itu dimana saja kamu jumpai mereka...” (Qs. At Taubah: 5).
“(Dan)
perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada
hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah
dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberkati Alkitab kepada mereka, sampai mereka (mau) membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (dalam perang)” (Qs. At Taubah: 29).
“…dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” (Qs. At taubah: 36).
Dalil-dalil inilah yang
digunakan oleh para kaum radikal untuk memusnahkan umat manusia yang dianggap
kafir dan musyrik. Pemahaman yang sempit serta penafsiran yang sembarangan dan
semangat yang berapi-api didalam keputusasaan dapat berakibat fatal bagi
kelangsungan hidup orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik dimanapun mereka
berada, entah tua-muda, anak kecil-dewasa, pria –wanita bisa menjadi korban
orang-orang radikal. Dan orang-orang radikal juga akan memaksakan agama yang
dianutnya kepada pemeluk agama lain. Padahal dalam Al Quran menjelaskan:
“
Tidak ada paksaan memasuki agama…”(Qs. Al Baqarah: 256).
“
dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka
bumi seluruhnya: maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang beriman semuanya” (Qs. Yunus: 99).
Dan
orang radikal akan terus menebarkan terror, dan melakukan serangan yang
mengatas namakan perintah agama Islam. Padahal dengan jelas Allah telah
melarang melakukan pembunuhan terhadap manusia tanpa sebab yang haq. Allah
berfirman:
“sesungguhnya
telah kami mulaikan anak-anak Adam…” (Qs. Al Isra: 70).
“
oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena membunuh orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah mebunuh manusia
seluruhnya, barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan
dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul kami telah
datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi
kemudian banyak diantara mereka setelah itu melampaui batas bumi” ( QS. Al Maidah: 32).
Hukum pada surat Al Maidah ayat dua
itu tidak hanya berlaku pada Bani Israil saja, tetapi juga untuk semua manusia.
Allah memandang membunuh seorang itu bagaikan membunuh semua manusia begitu
juga sebaliknya.[7]
Islam menyuruh umat muslim untuk
mendakwahkan ajaran islam kepada non-muslim dengan cara perdamaian dan menjahui
peperangan. Dan didalam mendakwahkan ajaran islam umat muslim hanya bertugas
untuk menyampaikan pesan bukan memaksa untuk menerima dan memeluk islam bagi
pemeluk agama lain. Dan hanya Allah yang mengetahui mengenai siapa yang sesat
dan yang memberi hidayah kepada orang-orang yang ditunjuknya. Allah berfirman “sesungguhnya (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari
jalan-NYA dan Dialah yang mengetahui
siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An Nisa: 125).
Akan tetapi orang-orang radikal tidak
bisa menerima hal semacam itu. Mereka beranggapan bahwa orang-orang kafir itu
layak untuk dibunuh atau mereka masuk agama islam dan muslim yang tidak sepaham
dengan mereka maka para muslim yang berbeda paham dengan mereka dianggap
musyrik.
III.
ANALISIS
Didalam menyebarkan dan mendakwahkan
ajaran agama islam nabi Muhammad
menggunakan cara perdamaian dan sebisa mungkin menghindari konflik dengan
orang-orang kafir. Dan tidak sepatutnya kita umat islam dalam mendakwahkan
ajaran islam dengan pemaksaan apalagi dengan kekerasan ataupun terror. Allah
berfirman:
“Dan kewajiban kami tidak lain hanylah
menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas” (QS. Yasin: 17).
“ Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kanu
berlamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu karena itu
maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka
bertaqwalah kepada Allah, sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya” (QS. Ali Imran: 159).
“ Undanglah mereka kepada islam dan beritahu
tugas-tugas mereka. Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk melalui kamu, maka
lebih baik bagi kamu dari pada unta merah” (HR. Al Bukhari).
Dengan dalil
diatas, menjelasakan bahwa umat muslim didalam mengajak orang-orang non-muslim
untuk mendengarkan ajaran agama islam diutamakan dengan kelembutan dan
perdamain lebih diutamakan dari pada dengan kekerasan.
Nabi Muhammad di utus ke bumi untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Begitu juga dengan umat muslim adalah penerus
nabi Muhammad, sehingga umat muslim menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah
berfirman:
“Dan kami mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al Anbiya: 107).
Dalam ayat ini
umat islam dituntut untuk menjadi rahmat bagi alam bukan untuk merusak alam.
Dalam menjaga alam, bisa dilakukan dengan tidak memusnahkan kehidupan makhluk
hidup lainya secara berlebihan dan jangan membunuh manusia lain berdasarkan
agama karena hanya akan merusak nilai agama yang suci tersebut bagi pemeluknya.
waallahu a’lam bi asshowabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Habib,
Achmad. 2004. Konflik ANTARETNIK DI
PEDESAAN Pasang Surut Hubungan Cina- Jawa. Yogyakarta:
LKIS Yogyakarta.
Hasan,
Muhammad Hanif. 2007. Teroris Membajak
Islam; Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra
dan Kelompok Islam Radikal. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
Nugroho,Arifin
Suryad kk. 2008. 10 Kisah Genocide.
Yogyakarta: Bio Pustaka.
Sumber dari internet:
http://www.gitj.org/peran-politis-agama-dalam-negara-plural-%E2%80%9Caspirasi-atau-inspirasi%E2%80%9D (22 Mei 2011).
http://caktips.wordpress.com/2009/05/05/wacana-kebenaran-agama-dalam-perspektif-islam/
(22 Mei 2011)
[1] Arifin
Surya Nugroho, dkk, 10 Kisah Genocide,
(Yogyakarta: Bio Pustaka), 2008, h. 120-121.
[2] Achmad
Habib, Konflik Antaretnik di Pedesaan
Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa,( Yogyakarta: LKIS Yogyakarta), 2004, h.
23-26.
[3]ibid, h. 141.
[5] http://www.gitj.org/peran-politis-agama-dalam-negara-plural-%E2%80%9Caspirasi-atau-inspirasi%E2%80%9D (22 Mei 2011).
[6] http://www.alifmagz.com/fanatisme-beragama-perlukah/10:53/22
mei 2011
[7] Departemen
Agama, Al Quran dan Terjemahan Juz 1-30,
(meker: surabaya), 2002, h. 150.
0 komentar:
Posting Komentar