GURU KETJIL
Waktu menunjukkan pukul tujuh
malam, kumandang untuk mengerjakan shalat Isya dilagukan dengan merdunya di langgar
dan masjid di sekitar rumahku. Aku mencoba memulai langkah kecil untuk menuju
Masjid yang tidak jauh dari rumahku. Dalam tenangnya suasana malam dan
bertebaran cahaya lampu yang mencoba mangalahkan terangnya cahaya bulan, aku
melangkahkan kaki setapak demi setapk untuk menuju rumah Tuhan YME. Ku coba
dalam setiap langkah ku iringi dengan menyebut nama-Nya. Senyum ini mulai
mengembang ketika melihat Masjid sudah diisi oleh beberapa anak kecil, muda
mudi serta orang tua.
Kumandang adzan Isya’ telah dikumandangkan,
akw juga sudah berwudlu kini giliran untuk mengerjakan shalat rawatib dua
rakaat sebelum Isya’. Setelah shalat rawatib telinga ini mendengar puji-pujian
yang ditujukan kepada Rasulullah Muhamad saw serta ajakan untuk shalat
berjamaah. Setelah dirasa cukup, Muadzin mengumandangkan iqamah tanda shalat
Isya akan segera dimulai.
Dari sekian orang jamaah
laki-laki, ada seorang pemuda dengan langkah mantap menuju kedepan untuk menjadi Imam shalat Isya’
jamaah. Niat sudah dilafalkan, takbiratul ikhram telah diucapkan, kemudian
suasana menjadi tenang yang terdengar hanyalah sayup-sayup suara kipas angin
yang mencoba sekuat tenaga memutar rotor didalamnya untuk memutarkan
baling-balingnya agar manusia dibawahnya tidak merasa gerah.. Ketenangan itu tidak
bertahan lama, suara sang Imam memecah ketenangan. Dalam shalat tersebut aku
berpikir dari sekian jamaah apakah ada yang menjalankan shalatnya dnegan
khusyuk, ataukah mereka sedang memikirkan hal-hal lain, akan tetapi pikiran
yang melints tersebut ku alihkan dengan mengikuti gerakan sang imam. Rukun demi
rukun telah dikerjakan tinggallah sekarang salam untuk mengakhiri shalat Isya’
pada hari itu.
Hari itu Shalat isya’ telah aku
gugurkan karena aku yakin tadi shalatku tidak khusyu meskipun shalat-shalat ku
yang lainya juga tidak khusyu’. Setelah selesai mengerjakan salam sang Imam
mencoba menuntun para ma’mumnya untuk mengingat Allah Swt dan terkadang
diselingi oleh shalawat nabi. Shalat telah selesai, dzikir dan doa’ telah
dikerjakan, aku berdiri dan berjalan menuju pintu keluar akan tetapi Allah
belum mengijinkan diriku untuk meninggalkan rumah-Nya, Dia menurunkan
titik-titik air dari langit untuk membasahi bumi yang telah kering, aku berdiri
diserambi masjid dengan harapan hjan akan berhenti sejenak. Tidak jauh dari
tempatku berdiri aku melihat sesosok pemuda, ku coba untuk mendekat dan
berbincang-bincang agar aku bisa berbagi rasa bosanku denganya. Aku mencoba
mengingat siapa gerangan anak muda ini, oh ternyata dia adalah sang Imam, orang
yang telah menuntun kami untuk menghadap Allah Swt dalam shalat Isya’ tadi,
meskipun aku belum bisa mendatangkan Allah Swt dalam shalatku tapi aku yakin
Allah sedang memperhatikan diriku dalam shalat tadi meskipun pikiranku
melayang-layang bagai layangan putus.
Kami mencoba saling mengenal
dengan menjabat tangan seraya mengucapakan nama kami masing-masing, dan
alangkah kagetnya diriku, ternyata dia sudah mengenalku meskipun dia belum tahu
namaku karena kami satu almamater akan tetapi beda fakultas. Dia menceritakan
tentang dirinya, mulai dari kota kelahiran hingga pekerjaan, begitu pula dengan
diriku akan tetap aku belum menyebutkan apa pekerjaanku. Aku mulai tertarik
dengan pekerjaanya, selain menjadi guru ngaji di masjid tersebut dia juga
menjadi guru agama di kota kelahiranya, aku kagum dengan perjuanganya untuk
mencerdaskan anak bangsa karena jarak
antara masjid tempat dia tinggal sementara dan mengajar dengan sekolah dimana
dia mengajar harus melintasi beberapa kecamatan di Semarang kurang lebih satu
setengah jam perjalanan untuk sampai ditempatnya mengajar. Setelah sekian lama
kami ngobrol, kemudian dari mulutnya terucap kata, “ mending jadi buruh pabrik
dari pada jadi guru honorer.” Baru aku tahu ternyata dia itu seorang guru
honorer.
Aku mulai bingung kenapa dia berbicara
seperti itu, didalam otakku muncul pertanyaan-pertanyaan bukankah guru itu
suatu pekerjaan mulia, dapat mencerdaskan anak bangsa, bahkan jika di
juamlahkan pahalanya hampir sama dengan para syahid mungkin bisa melebihi jika
Allah menghendaki karena ‘Ulama adalah penerus para nabi, dan ada pepatah jawa
mengatakan “guru iku digugu lan ditiru” karena menggambarkan betapa mulia,
terhormatnya kedudukan seorang guru dimata masyarakat sehingga murid-muridnya
atau masyarakat yang memperoleh manfaat dari ilmunya ingin mencontoh dirinya,
tetapi kenapa dia mengatakan enak menjadi buruh dari pada seorang guru honorer.
Aku mencoba menguasai diriku dengan tidak mengatakan pikiran-pikiran yang
berjejal dalam otakku. Aku mencoba diam dan ingin mendengarkan penjelasan mengapa
dia berkata seperti itu. Dia diam untuk sesaat, sambil menghela nafas, kemudia
dia melanjutkan pembicaraanya. Jadi seorang guru honorer itu meskipun di
hormati tetapi gajinya sedikit apalagi disekolah swasta atau negeri yang tidak
favorit, paling hanya tujuh ratus lima puluh ribu sampai satu juta, bandingkan
dengan gaji buruh pabrik yang hanya lulusan SMA satu bulan setidaknya dia sudah
mengantongi satu juta liam ratus ribu, tanpa harus kuliah dulu empat tahun
bahkan bisa lebih, masih ditambah satu tahun sertifikasi itupun kalau lulus
kalau tidak ya mengulangi tahun depan.
Akan tetapi pikiran ini belum
bisa menerima alasan tersebut, bukankah jam kerja guru lebih pendek, kerja guru
lebih ringan tidak ahrus angkat-angkat ataupun mengerjakan pekerjaan fisik
berat lainya, dan ada kemungkinan dia akan diangkat jadi guru tetap bahkan
menjadi Pegawai Negeri Sipil suatu pekerjaan
yang sangat diidam-idamkan para pemuda-pemudi Indonesia saat sekarang
ini. Akan tetapi aku masih mencoba bersabar dengan tidak menyela perkataanya.
Menjadi seorang guru memiliki
tanggung jawab yang berat, selain harus mencerdaskan anak didiknya dia
harus mengontrol, mengarahkan, mengawasi
perilaku anak didiknya agar berperilaku tidak menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dimasyarakat dengan kata lain dia juga harus berperilaku baik, mencontohkan
akhlak mulia melalui sikap dan perilakunya, berbudi pekerti luhurpula, agar dia
tidak disalahkan oleh pihak sekolah maupun orang tua, jika muridnya melakukan
tindakan menyimpang dari norma-norma dimasyarakat. Guru juga memiliki jam kerja
panjang, selesai megajar dia harus membawa pekerjaanya ke rumah seperti
mengkoreksi jawaban-jawaban muridnya, menyiapkan pelajaran untuk besok,
menyiapkan soal untuk ulangan, menyiapkan nilai rapor. Seorang guru harus
menambah wawasanya, kemampuan dan selalu meng up grade informasi serta
pengetahuan yang disesuaikan dengan materi atau kebutuhan agar tidak tertinggal
oleh jaman serta tidak malu didepan murid-muridnya. Serta, Kelak sayapun akan
berkeluarga, jika hanya mengandalkan dari gaji guru apakah saya bisa mencukupi
kebutuhan rumah tangga saya ,yang mana kecenderungan setip tahun kebutuhan
hidup akan semakin meningkat.
Aku mulai merenung, memikirkan
perkataan sang imam isya’. Aku berpikir memang ada benarnya perkataan sang Imam
Isya’. Seorang guru pada dasarnya memiliki tujuan mulia yaitu mendidik anak
didiknya agar menjadi orang yang cerdas, memiliki akhlak mulia dan kelak
menjadi orang berguna bagi bangsa dan negaranya. Akan tetapi profesionalitas, pengapdian,
kerja keras, pengorbanan jika tidak ditunjang dengan gaji yang mensejahterakan,
sedikit demi sedikit akan mengurangi profesionalitas, pengabdian dan
pengorbanan seworang guru. Semisal, guru akan mencari uang tambahan guna
mencukupi kebutuhanya dengan cara membuka les privat keliling atau dirumahanya,
yang dikawatirkan guru tidak akan konsentrasi dalam mendidik karena sudah lelah
dengan jam tambahan disekolah maupun jam les privat miliknya dan lebih
mementingkan les privat yang digelutinya karena uangnya lebih besar.
Renunganku semakin jauh kedalam,
aku memikirkan nasib guru-guruku terdahulu, bagaimana nasib mereka sekarang,
apakah sekarang perekonomian mereka lebih baik dari dahulu, atau sama saja,
ataukah justru mereka dihadapkan dengan masa tua yang suram tanpa adanya
pensiunan dan tunjangan hari tua untuk mereka. Jika posisi mereka pada poin
ketiga memang benar adanya kata pepatah “Guru itu pahlawan tanpa tanda Jasa”
terutama guru honorer, karena sewaktu mereka mengajar ataupun saat pensiun jadi
guru entah karena factor usia ataupun penyakit, mereka tidak mendapatkan tanda
jasa mereka berupa medali, gaji yang mensejahterakan ataupun tunjangan dari
dinas terkait. Berarti kebandelan dan kenakalanku yang aku banggakan selama
sekolah justru menambah beban pekerjaan bagi mereka, dan sekarang aku
merasakanya sendiri. Terimaksih untuk para guruku yang telah mendidikku
disekolah dan guru yang telah mengajarkan diriku tentang ilmu kehidupan. Aku
tidak bisa membalas jasa-jasa kalian, hanya Allah Swt-lah yang dapat membalas
kebaikan anda sekalian. Aku hanya bisa berdoa semoga kalian mendapatkan
kesejahteraan, kebahagiaan, kedamaian hidup di dunia dan di akhirat dan semoga
Allah swt kelak menempatkan kita semua disisinya yang Mulia yaitu syurganya
yang mengalir dibawahnya sungai-sungai yang tidak pernah kering, serta kelak
kita bisa berjumpa dengan Allah Swt seraya menatapnya dengan penuh kebahagiaan.
Amin.
Lamunanku kemudian buyar dan aku
tersadar oleh suara sang Imam isya’, hujanya sudah reda mas. Kemudian aku pamit
untuk pulang.
Cerita ini ku persembahkan untuk sang
imam Isya’, guru-guruku terdahulu dan sekarang serta utnuk para guru honorer
yang masih setia dan ikhlas untuk mencerdaskan segi kognitif maupun afektif
generasi penerus bangsa Indonesia, semoga harkat dan martabat serta
kesejahteraan kalian terangkat di dunia dan akhirat. Semoga pemerintahan baru
lebih peduli lagi terhadap kesejahteraan para guru entah guru tetap, PNS
ataupun honorer dengan memberikan pelatihan yang tidak kejar tayang dan
kenaikan gaji serta tunjangan. Bagaiman pendidikan karakter, pendidikan
nasionalis, pendidikan kejujuran dan pendidikan berbasis sains akan tercapai jika
kesejahteraan dan kwalitas para guru terabaikan.