Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Selasa, 15 Maret 2011

Pengimplementasian ahwal dalam tradisi tasawuf


 I.      PENDAHULUAN
Tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan suku, bangsa, dan rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan rohaniyah. Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri agar bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan berbagai macam usaha pensucian diri, maka bertambahlah ketajaman mata batin dalam melihat kemakhlukan diri. Pengalaman religius tertinggi seperti ma’rifat Allah tidak hanya dimiliki oleh kalangan laki-laki, kaum perempuan pun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam mewujudkan penghambaanya pada ilahi, dengan melalui maqam-maqam  yang harus dijalani, juga akan sampai pada tingkat ma’rifat[1]. Dan didalam makalah ini penulis ingin membahas mengenai implementasi ahwal dalam tradisi tasawuf.

II.  PEMBASAN
Ahwal adalah jamak hal yang berarti keadaan atau kondisi jiwa. Secara terminilogi ahwal adalah keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal iu masuk kedalam hai seseorang sebagai anugrah yang di berikan oleh Allah. Hal  datang dan pergi dari diri seseorang tan usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia  datang dan pergi secara tiba-tiba dan idak disengaja. Maka sebagai mana dikatakan Al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya atau usaha sedangkan hal adalah karunia sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam kurun waktu yang cukup lama dan kadang datang dalam kurun waktu yang singkat. Hanya saja hal tidak bisa datang tanpa adanya kesadaran tetapi hal harus menjadi kepribadian seseorang.[2]    
Para sufi membedakan antara maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Maqam ditandai dengan kemapanan, sedangkan  hal justru mudah hilang. Maqam dapat ditempuh oleh seorang calon sufi dengan kehendak dan upayanya, sedangkan hal daat diperoleh oleh calon sufi dengan tidak sengaja. Orang yang meraih maqam dapat tetap dalam tingkatanya, sedangkan orang yanng meraih hal justru mudah lepas keadaanya.[3]        
Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari hal, banyak kalangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya hal tidak lebih untuk mencapai perwujudan untuk mencapai maqam. Dan untuk mencapai maqam manusia dituntut untuk bersungguh-sungguh dengan menjalankan amalan-amalan yang baik dengan penuh kepasrahan diri kepada Allah. Jika dikaji lebih mendalam sebenarnya maqamat dan ahwal  itu untuk menunjukkan atau mempertegas tentang kesaksian manusia mengenai tidak ada Tuhan selain Allah.
            Dalam kalimat syahadat terdapat dua pernyataan yang terdiri dari penolakan atau pengingkaran dan penegasan atau pengutan. Kalimat lailaha dikhawatirkan jika tidak adanya penolakan atas seluruh realitas selain Allah maka segala sesuau yang ada di muka bumi berpotensi menjadi Tuhan. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Segala sesuatu yang dituju berpotensi untuk disenangi, segala yang disenangi berpotensi untuk diabdi, dan segala sesuatu yang di abdi adalah Tuhan”. Sedangkan penegasannya adalah tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah.[4] Seperti halnya dalam masalah jumlah tingkatan (maqam), Para ulama’ taswuf dalam menentukan jumlah dan bentuk-bentuk hal berbeda-beda. Diantara macam-macam hal yang populer adalah:
            a. Muraqabah
            Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatu antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.[5]
            Muraqababah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantisa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap berada pada kualitas kesempurnaan penciptanya.[6]
            Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seseorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analisis terhadap perilakunya di masa lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik
            Hal penting yang harus ditunjukan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensi dapat diupayakan dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang  muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa menjadi yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi.
            Kedisiplinan inilah yang akan mengantar seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan menuju kebahagiaan yang hakiki. Sementara ketidakdisiplinan ditunjukan dengan sikap sembrono serta mudah terlena dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang nisbi dan fana, yang semua itu akan dapat mendorongnya menuju kejatuhan pada jurang kerendahan dan kehinaan.
            b. Mahabbah
            Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi, yang meruakan puncak pencapaian para sufi. Di mana keseluruhan jenjang yang dilalui bertemu dalam maqam mahabbah.
            Mahabbah (cinta) mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Orang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta.[7] Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seseorang yang dilanda cinta akan dipenuhi ingatan kepada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
            Ilustrasi tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu Al-Arabi, bahwa mahabbah adalah bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan, yakni kerinduanya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan kehendak manusia adalah kembali pada esensinya sebagai wujud mulak Kesmpurnaan manusia, menurut Ibnu Al-‘Arabi sangat ditentukan oleh kesadaran manusia akan eksistensi dirinya sebagai satu kesatuan dengan eksistensi Tuhan.[8] Lebih jauh lagi sebenarnya kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yana dituju dan diusahakan, dengan tanpa merasa berat dan sulit untuk mencapainya. Karena segala sesuatunya dilakukan dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Kesadaran cinta juga berimplikasi terhadap diri seorang pecinta dengan sikap penerimaanya terhadap segala apa yang ada dan terjadi dialam semesta. Sehingga segala sesuatu, baik yang bersifat positif yang berwujud kebaikan maupun negatif yang berbentuk kejahatan, kelebihan, dan kekurangan semua diterima dengan lapang dada. Seorang pecinta juga dapat melupakan segala sesuatu yang ada atau terjadi disekelilingnya karena kesadaran cintanya telah mendominasi dan memenuhi seluruh kesadaran psikologisnya.
            c. Khauf
            Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf (takut) terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat.[9] Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka takutlah kepadaku jika kamu orang-orang yang beriman”[10] Juga diungkapkan dalam ayat lain yang artinya: “Mereka menyeru kepada Tuhan dengan penuh rasa takut dan harap.[11]
            Banyak sekali ungkapan yang memberikan penjelasan tentang khauf (takut). Yakni antara lain ungkapan Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut adalah pelita hati, dan dengan takut baik buruknya hati seseorang akan tampak. Sementara Abu Umar Al-Dimasyqi menegaskan, bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih takut dari takutnya pada setan. Ibnu Jalla’ berpandagan, bahwa manusia yang takut (kepada Allah) adalah dirinya merasa aman dari hal-hal yang menbuanya takut.[12]
            Memang, perasaan takut ini sangat sulit untuk bisa dipahami oleh seseorang dengan kasat mata. Karena hal ini sangat terkait dengan pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi. Sehingga dikatakan oleh Ibnu ‘Iyadh bahwa hanya mereka yag termasuk golongan orang-orang yang takutlah yang dapat melihat orang yang takut. Ia mengibaratkan perasaan seorang ibu yang sedih karena kehilangan anaknya, yang hanya bisa dipahami kesedihanya oleh ibu yang kehilangan anaknya pula.
            Menurut Al-Wasithi, perasaan takut merupakan pengendali bagi diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu melakukan yang terbaik dengan tanpa adanya keraguan, ia merasa yakin bahwa usaha yang baik akan menghasilkan kebaikan pula. Ada pun puncak dari perasaan takut adalah sebuah kesadaran bahwa Allah menguasai wujud manusia yang paling dalam, yang pada akhirnya perasaan takut itu akan hilang dengan sendirinya, karena takut hanyalah akibat dari rasa inderawi yang bersifat manusiawi. Sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Husain Ibnu Manshur Al-Hallaj, bahwa seorang yang takut kepada selain Allah SWT atau berharap kepada selain Allah  maka perasaan takut itu akan mendominasinya dan menutupi dirinya sampai berlapis-lapis. Ada pun lapisan yang paling tipis adalah keraguan.[13]
            Dari banyak ungkapan yang dikemukakan oleh ahli tasawuf di atas, dapat dipahmi bahwa takut yang dimaksud disini adalah perasaan takut akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukkan. Sehingga perasaan ini secara otomatis akan memberikan dorongann untuk melakukan yang terbaik, sehingga pada masa mendatang ia akan menerima yang baik pula. Seseorang yang diikuti perasaan takut, hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan  untuk kebaikann dalam jangka panjang kedepan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau kepentingan sesaat. Dengan kata lain, seorang yang khauf (takut), adalah adalah mereka yang berpikirann luas dalam jangka panjang kedepan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
            d.Raja’
            Sebagaimana halnya dengan khauf  (takut), raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.[14]  Al-Qusyairi membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan (tamanni). Raja’  bersifat aktif ,sementara tamanni bersifat pasif. Seorang yang mengharapkan sesuatu tentu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya dengan berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkanya untuk mendapatkan apa yang diangan-angankanya.
            Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga, antara lain:
  1. Manusia yang melakukan amal kebaikan dengan harapan amal baiknya akan diterima disisi Allah
  2. Manusia yang melakukan amal buruk kemudian bertobat dengan mengharap akan mendapat ampunan dari Allah
  3. Orang yang menipu diri dengan terus menerus melakukan kesalahan dengan mengharap ampunan.
            Untuk itu dasarankan bagi orang yang menyadari atau kejahatan yang dilakukanya, untuk lebih didominasi perasaan takut (khauf) dan bukan harapan (raja). Rasa takut berfungsi sebagai peringatan atas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan dimasa yang akan datang. Dan jika perasan takut dilengkaipi dengan harapan, akan dapat menimbulkan keberanian yang dapat menghancurkan segala penyakit yang ada dalam diri seseorang.[15] Harapan (raja’) akan membawa seorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktivitasnya, serta menghilangkan semua keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian dia akan melakukan segala akivitas terbaiknya dengan  penuh keyakinan.
            e.Shauq
            Rindu (shauq) meerupakan luapan perasaan individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang di cintai.[16] Perasaan rindu yang meluap terhadap sesuatu biasanya membuat seseorang akan melupakan semuanya kecuali yang dirindukanya. Seperti halnya dengan para sufi yang merindukan akan kehadiran Allah di dalam hati mereka, dan segala sesuatu yang mereka pikirkan dan lakukan hanya karena Allah. Sebagai bukti adanya perasaan rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseoarang atau sufi dari hawa nafsu yang berlebihan dalam mencintai dunia.
            Perwujudan rindu (shauq) kepada Allah adalah dengan kita senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan mendatangkan Allah dalam hati kita melalui cara sholat, berdzikir salah satunya dengan cara membaca Asmaul husna karena dengan cara-cara itulah kita bisa menghadirkan Allah dalam hati seseorang. Sholat dapat mencegah orang melakukan perbuatan keji dan mungkar, jika kita sering mengerjakan kemungkaran maka rasa rindu (shauq) akan dicabut dari hati kita sebab Allah hanya akan hadir di dalam hati yang suci atau bersih dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan berdzikir secara terus menerus dalam keadaan apapun akan mengingatkan manusia kepada Allah sehingga manusia rindu akan kehadiran Allah di dalam hatinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan berhati-hati dalam tindakan dan tutur katanya agar tidak dibenci oleh Allah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah.
            f. Uns
Uns (perasaan cinta) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatannya dengan Tuhan. Atau dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan.[17]  Dalam keadaan ini seorang manusia diliputi perasaan yang diliputi oleh cinta, kelembutan, kasih sayang, senang, bahagia, gembira, suka cita yang menjadi satu di dalam hatinya sehingga sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
            Keadaan semacam ini dapat di alami seseorang dalam situasi tertentu, misalnya menikmati indahnya alam semesta, merdunya kicauan burung, atau saat kita bercermin betapa sangat indahnya diri kita yang di mana seseorang atau sufi benar-benar menikmati atau merasakan keindahan Allah melalui ciptaanya. Cara ini dapat kita peroleh dengan tadabur alam atau cammping spiritual.
            Uns menurut Dr. H. Asep Usmar Ismail. MA dalam bukunya yang berjudul TASAWUF berarti keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh pada satu titik setrum, Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap, kecuali Allah. Keadaan ini dapat diraih dengan cara berdiam diri di dalam masjid pada malam hari dan merenungi dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini.
            g. Tuma’minah
Tuma’minah dapat diartikan sebagai keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya.[18] Ibnu Qayyim membagi tuma’minah  kedalam tiga tingkatan yang pertama ketenangan hati dengan mengingat Allah. Tingkatan yang kedua adalah ketentraman kelak akan bertemu dengan Allah. Tingkatan yang ketiga adalah ketentraman bertemu dengan  Allah dalam setip dzikir dan sholatnya, ketentraman dalam menyaksikan Allah pada kelembutan kasihnya.
            Dan menurut Ibnu Qayim keadaan ini dapat diperoleh dengan cara melakukan kebenaran dan menghindari kebohongan, sesuai dengan sebuah hadis yang beliau tulis yang menyatakan bahwa Kebenaran adalah identik dengan ketentraman sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan”. Karena tidak dapat di pungkiri dengan kita menyampaikan kebenaran, hati kita akan merasa tentram, nyaman dan teguh dalam pendirian mengenai iman seseorang kepada Allah, sedangkan kalau kita berbohong akan menyababkan hati yang gelisah, keraguan kekacauan dalam pikiran dan biasanya kebohongan jika sudah dilakukan akan menimbulkan kebohongan yang lainya selain kebohongan dapat menyebabkan perasaan gelisah juga akan menimbulkan noda dalam hati yang dapat menyebabakan hati menjadi keras sehingga hidayah Allah tidak bisa masuk kedalam hati seseorang dan dapat menimbulkan pengakit secara fisik juga.
            h. Musyahadah
pengertian dari Musyahadah adalah kehadiran Allah tanpa di bayangkan. Orang yang ada pada puncak musyahadah kalbunyta senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehingga malam pun laksana siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran orang yang diselimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.[19]
            Di dalam kehidupan sehari-hari secara psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah dapat dijumpai dalam situasi dan kondisi apapun yang ditemui dan dialami, akan senantiasa dianggap sama saja, karena sesuatu berasal dari Allah.
i. Yaqin
Pengertian yaqin menurut Al Junaidi adalah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling. Selain itu dijelaskan bahwa yaqin itu merupakan ilmu yang mapan, tidak terombang ambing, tidak berputar-putar, dan tidak berubah-ubah dihati. Yaqin bisa disamakan dengan iman tetapi iman belum tentu yaqin karena iman kadang-kadang dihinggapi kelalaian (terhadap hukum agama), sedangkan yaqin tidak dapat dimasukinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesuatu yang sangat aku takuti bagi umatku adalah lemahnya keyakinan, dan lemahnya keyakinan itu adaah orang yang lalai terhadap ajaran agamanya, orang yang bergaul dengan orang jahat, dan orang yang bersifat kasar dan berkepala batu.”[20] Permulaan yaqin adalah mukasyafah dan apabila Allah SWT telah menyingkapkan tabir dari hati seseorang, maka bertambahlah keyakinannya. Dari musasyafah selanjutnya meningkatkan menjadi mu’ayanah dan akhirnya musyahadah.
Di dalam kehidupan sehari-hari dilihat dari segi agama, kadang kita percaya dan yakin akan adanya Allah SWT tetapi terkadang kita melalaikan akan ajaran perintah-Nya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kalau kita cermati tentang masalah ini, terhadap orang yang melalaikan perintah-Nya bukan berarti orang tersebut tidak percaya akan adanya Allah. Kepercayaan dan keyakinan itulah yang disebut dengan Yaqin.
Ma’rifat. Menurut bahasa, kata ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal. Secara umum, ma’rifat dapat diartikan sebagai cara untuk mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah SWT.
            Beberapa implementasi dari Ahwal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
            - Dzikir merupakan cerminan keadaan hati. Yang dimaksud dengan dzikir adalah amalan-amalan yang nampak (dhohir). Amalan yang kita lakukan setiap hari dan datangnya dari diri kita, baik dari pemikiran dan pengelihatan batin kita terhadap amalan-amalan itu. Karena, apabila semua amalan yang kita lakukan berasal dari kesadaran diri dan diri kita sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Maka, amalan tersebut akan selalu mencerminkan keadaan hati pelakunya. Jadi, jika keadaan hatinya sedang baik maka amalan yang dikerjakan pun secara tidak langsung mempunyai niat dan tujuan yang balik pula. Sebaliknya, jika keadaan hatinya sedang jelek maka amalan yang dikerjakan pun secara tidak langsung juga akan mempunyai niat dan tujuan yang jelek pula.[21]
Jika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, apabila hati kita sedang tidak senang atau bad mood maka secara tidak langsung kita akan membuat orang-orang disekitar kita merasa tidak enak hati ketika berbicara maupun menyapa kita. Berbeda dengan kalau kita sedang senang maka secara tidak langsung kita akan membuat orang-orang disekitar kita minimal tersenyum dengan kita. Selain itu juga, mereka akan dengan senang hati mengajak kita berbicara dan menyapa kita.
            - Tidak kurang dari 17 kali kita membaca Surat Al-Fatihah, yang salah satunya mempunyai arti: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Dengan demikian amatlah tidak sesuai dan sama sekali dan tidak cocok dengan apa yang kita ucapkan, apabila dalam menghadapi suatu keperluan kita meminta pertolongan kepada selain Allah SWT. Allah Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, tidak akan pernah kekurangan dan marah kepada hamba-Nya yang suka dan sering kali meminta kepada-Nya, tapi justru Dia akan mencurahkan segala kasih dan sayang-Nya kepada hamba yang suka meminta tersebut.[22]
            Tanpa kita sadari setiap hari kita tergantung kepada Allah SWT dari pada kepada kedua orang tua kita ataupun orang-orang disekitar kita. Misalnya, saat kita makan maupun tidur pun kita tergantung kepada-Nya. Saat tidur, kita memohon kepada Allah semoga dilindungi selalu. Itu pun tanpa kita sadari kita melakukannya. Tetapi Allah tidak pernah bosan dan marah ketika mendengarkan permintaan hambanya tiap detik dan tiap waktu. Walaupun terkadang muluk-muluk dan berlebihan.
             - Kita melakukan sholat setiap hari 5 kali. Tapi terkadang kita sendiri tidak mengetahui arti sholat itu. Sholat adalah suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah yang pengejaannya dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam serta dengan tidak lupa memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara yang telah ditentukan.
            Disaat kita mengerjakan sholat, ada beberapa manfaat yang kita dapatkan, diantaranya:
  1. Dari hatinya akan terpancar cahaya ilahi yang menerangi jalannya.
Setiap tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan akan mencerminkan sikap amar ma’ruf dan nahi munkar.
  1. Sholat dapat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang sudah mengerjakan sholat tetapi masih banyak yang suka mengerjakan larangan Allah SWT. Hal ini terjadi disebabkan oleh sholat kita yang kurang khusuk dan kurang penjiwaan terhadap pengertian sholat itu sendiri.
  1. Sholat yang baik akan dapat memperbaiki semua amal perbuatan seseorang.
Contohnya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sering melaksanakan sholat pembawaannya akan lebih tenang dibandingkan orang yang tidak pernah melaksanakan sholat. Sholat dapat membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam jiwa.
  1. Sholat dapat membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam jiwa.
Seperti yang disabdakan Rasulullah: “Sesungguhnya perumpamaan sholat itu seperti air tawar yang mengalir dimuka pintu salah seorang dari kalian. Yang mandi di sungai itu sehari lima kali. Maka apakah yang akan kalian lihat setelah itu? Apakah masih tertinggal dari kotorannya?”.[23]
            - Dengan mengingat Allah orang bisa merasakan kelezatan hidupnya. Kelezatan dan kenikmatan adalah sesuatu yang sering dicari manusia. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Padahal demikian itu sangat mudah didapat karena hanya dengan mengingat Allah, orang bisa mendapatkan kenikmatan kehidupan di dunia dan di akhirnya.[24]
            Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Dailami yang bersumber dari Ibnu Abbas mengenai syarat-syarat untuk mendapatkan rahmat, seperti berikut ini:
  1. Menjaga tutur kata (Hafidlo Lisaanuhu)
Yaitu dapat mengendalikan diri dari perkataan-perkataan yang tidak perlu diungkapkan. Misalnya: yang mengandung rahasia yang dapat menyinggung perasaan orang lain, yang dapat menimbulkan atau menyebabkan fitnah, yang dapat menimbulakn keresahan masyarakat, dsb. Seperti istilah “Mulutmu, Harimaumu”.

  1. Memahami zaman (‘Arofa Zamanuhu)
Seseorang harus bisa memilah-milah kebiasaan-kebiasaan dengan teliti dan cermat dimanapun tempat dia tinggal agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang merugikan dirinya maupun orang lain. Jika bertentangan dengan nilai-nilai atau ajaran agama Islam maka harus ditolak dan dijuhi. Sedangkan jika sesuai dengan ajaran Agama Islam maka harus dianut dan dilakukan.
  1. Istiqomah dalam hidup (Wastaqomat Tariqotuhu)
Pendirian yang tegas dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan serta tidak mudah dirayu. Sehingga dalam keadaan bagaimanapun akan selalu berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaannya. Misalnya: Seseorang yang dibujuk rayu untuk menyembah selain Allah tetapi dia tetap berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaannya hanya kepada Allah.[25]
            Seseorang yang menuju jalan Allah hendaknya jangan tertipu keindahan dunia karena keindahan dunia hanya semu belaka. Tetapi anehnya, banyak orang yang terperdaya olehnya. Hal seperti itu jangan sampai dialami oleh orang yang menuju kejalan Allah. Mereka seharusnya lebih mempertebal iman mereka.[26] Karena jika seseorang terperdaya oleh keindahan dunia, maka secara tidak disadari akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Seharusnya seseorang yang menuju ke jalan Allah itu harus senantiasa butuh kepada Allah. Selain itu seseorang juga harus menyandarkan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dzat yang menciptakannya.
            - Mengoreksi kesalahan pada diri sendiri adalah salah satu cara agar bisa mendapatkan hal. Akan tetapi manusia lupa atau memang sengaja untuk tidak mengkoreksi dirinya, melainkan lebih asyik untuk mengoreksi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Perbuatan seperti itu sesungguhnya dilarang oleh Allah. Sebagai firman-Nya yang tersebut dalam Al-Qur’an di Surat Al-Hujurot ayat 12 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan jangan lah kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging Saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang”.[27]
            Maka dari itu sebagai muslim harus menghindari menggunjing orang lain. Karena itu akan menyebabkan noda dalam hati kita. Sebagai seorang muslim seharusnya pandai-pandai dalam menggoreksi dan membersihkan aib atau kesalahan-kesalahan yang terjadi pada diri sendiri dan berusaha dengan segala upaya melawan hawa nafsu. Pada dasarnya kesalahan-kesalahan itu terjadi karena manusia selalu menuruti hawa nafsu.
            Perlu diketahui juga bahwa bergolaknya nafsu itu bersumber dari tiga hal, yaitu:
-        Sering melanggar larangan Allah dan tidak menjalankan perintah Allah.
-        Sering beramal atau berbuat baik dan niatnya bukan karena Allah melainkan hanya ingin mendapatkan pujian atau sanjungan dari makhluk ciptaan Allah.
-        Suka membuang-buang waktu dengan percuma. Karena Allah membenci orang-orang yang menyia-nyiakan waktu.

IV. KESIMPULAN
            Untuk mendapatkan atau memperoleh hal perlu dilakukan suatu usaha, tidak hanya berdiam diri saja. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memperoleh hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam upaya, diantaranya dzikir (amalan yang kita lakukan setiap hari dan datangnya dari diri kita, baik dari pemikiran dan pengelihatan batin kita terhadap amalan-amalan itu), meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT, sholat (suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah yang pengejaannya dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam serta dengan tidak lupa memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara yang telah ditentukan), dengan mengingat Allah orang bisa merasakan kelezatan atau ketenangan hidupnya, dan Mengoreksi kesalahan pada diri sendiri, dsb. Beberapa contoh di atas merupakan implementasi dari akhwal di dalam kebudayaan Tasawuf yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Hikam, Matnul, dkk. Hakekat Ma’rifat. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Ismail, Asep Usmar. 2005. Tasawuf. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta.
Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set.


[1] . Asep Usmar Ismail, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta), 2005, hlm. 111
[2] . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set), 2002, hlm. 26-2
[3] . Asep Usmar Ismail, Ibid., hlm. 124.
[4] . Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 27-28.
[5] .Ibid., hlm. 48.
[6] .Ibid., hlm. 48.
[7]  Ibid., hlm. 49.
[8]  A. E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, (Cambridge: Cambridge University Press), 1939.
[9]  Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 50.
[10] QS. Ali Imran:175.
[11]  QS. Al-Sajdah: 16
[12] Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 51..
[13] Ibid., hlm. 51.
               
[14] Ibid., hlm.52.
[15] Ibid., hlm. 52.
[16] Ibid., hlm. 53.
[17] . Ibid, hlm. 53.
[18] . Ibid., hlm 54.
[19] . Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 56.
[20]  Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet. II, 1996), hlm. 146-147.
[21] Matnul Hikam, dkk, Hakekat Ma’rifat, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya), hlm. 201.
[22] Ibid., hlm. 274-275.
[23] Ibid., hlm. 294-295.
[24] Ibid., hlm. 409.
[25] Ibid., hlm. 410.
[26] Ibid., hlm. 154.
[27] Ibid., hlm. 267.

teori analitik Carl Gustav Jung

TEORI ANALITIK CARL GUSTAV JUNG
I.                   PENDAHULUAN
Carl Gustav Jung awalnya kolega Freud namun, dia keluar dari psikoanalisis Ortodoks untuk mendirikan teori kepribadian. Psikoanalitik dibangun di atas asumsi bahwa fenomena gaib dapat dan sungguh mempengaruhi setiap orang. Jung percaya bahwa setiap diri kita dimotivasikan bukan hanya pengalaman-pengalaman yang direpresi namun, juga oleh pengalaman-pengalaman bernada emosi yang diwarisi dari nenek moyang kita. Imaji-imaji warisan ini membentuk apa yang disebut Jung dengan sebutan alam bawah  sadar kolektif. Alam bawah sadar kolektif mencakup elemen-elemen yang tidak pernah kita alami secara individual namun yang diturunkan pada kita oleh nenek moyang kita.
            Beberapa elemen bawah sadar kolektif ini menjadi sangat berkembang dan Jung menyebutnya Artketipe. Arketipe yang paling inklusif adalah konsep perealasian diri yang hanya dapat dicapai dengan mencapai keseimbangan diantara beragam daya kepribadian yang berlawanan. Kalau begitu teori Jung merupakan sebuah compendium (ikhtiar) dari kutub-kutub yang saling berlawanan. Manusia introvert sekaligus ekstrover, rasional sekaligus irasional, laki-laki sekaligus perempuan, sadar sekaligus tidak sadar, dan didorong oleh kejedian-kejadian masa lalu sekaligus ditarik oleh ekspetasi-ekspetasi masa depan.[1]
            Makalah ini akan membahas mengenai hidup Gustav Carl Jung dan menggunakan fragmen-fragmen dari sejarah hidup Jung untuk mengilustrasikan konsep-konsep dan teori-teori Jung. Konsep bawah sadar kolektif Jung menjadikan teorinya berbeda dengan konsep teori-teori kepribadian yang lainya.
II.                PEMBAHASAN
Biografi Carl Gustav Jung
            Carl Gustav Jung dilahirkan pada Juli 26, 1875 di Kesswil, sebuah kota di Lake Constance di Switzerland. Ayahnya bernama Paul Jung, seorang pendeta desa dan ibunya bernama Emile Preiswerk Jung . Dia lahir di keluarga besar yang besar yang cukup berpendidikan. Jung senior mulai mengajari Jung bahasa latin ketika dia berumur 6 tahun, dan inilah yang menjadi awal minatnya pada sastra dan bahasa khususnya sastra kuno. Disamping bahasa–bahasa Eropa Barat modern, Jung dapat membaca beberapa bahasa kuno, termasuk sansekerta, bahasa asli kitab suci umat Hindu.
            Semasa remaja, Jung adalah seorang yang penyendiri, tertutup dan sedikit tidak peduli dengan masalah sekolah, dan dia tidak mempunyai daya saing yang tinggi. Kemudian dia dimasukkan ke sekolah asrama di Bessl, Swiss. Disini dia merasa tertekan karena temanya cemburu kepadanya sehinggga dia sering membolos sekolah dan hidup dengan perasaan tertekan.[2]
Jung (1961) mendeskripsikan ayahnya sebagai seorang idealis sentimental yang sangat meragukan kepercayaan religinya. Dia melihat ibunya memiliki dua pendirian yang terpisah. Di satu sisi dia adalah seorang yang realistis, praktis dan hangat, tapi di sisi lainnya, dia tidak stabil, mistis, bisa meramal, kuno dan kejam. Seorang anak yang emosional dan sensitif, Jung mengidentifikasikan lebih dengan sisi kedua ibunya ini, yang Jung sebut sebagai sisi ibu Nomer 2 atau kepribadian malamnya (Alexander, 1990). Pada umur 3 tahun, Jung dipisahkan dari ibunya, yang harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan, dan pemisahan ini sangat menggangu Carl muda. Untuk beberapa waktu yang cukup lama, dia sangat tidak percaya bila ada kata “cinta” disebut-sebut. Beberapa tahun kemudian, dia masih mengasosiasikan “wanita” sebagai tidak bisa diandalkan, sementara kata “ayah” berarti bisa diandalkan. (Jung, 1961).
            Sebelum ulang tahun keempat Jung, keluarganya pindah ke suburb Basel. Dari periode inilah mimpi-mimpi pertamanya bermula. Mimpi yang ini memiliki efek yang sangat besar pada kehidupan selanjutnya dan pada konsep collective unconsciousnya. Pada masa sekolah, Jung menjadi sadar akan dua aspek terpisah tentang dirinya, dan dia menyebutnya kepribadian No. 1 dan No. 2. Pada awalnya, dia melihat kepribadian sebagai bagian dari dunia personalnya, tapi pada masa adolescence dia menyadari akan kepribadian No. 2nya sebagai cermin dari sesuatu yang bukan dirinya - sebuah orang tua yang sudah lama mati. Pada masa itu Jung tidak begitu mengerti kekuatan yang terpisah ini, tapi di tahun-tahun berikutnya dia mengenali bahwa kepribadian No. 2nya sudah berhubungan dengan perasaan dan intuisi yang tidak diketahui kepribadian No. 1nya. Di Memories, Dreams, Reflections, Jung (1961) menulis tentang kepribadian No. 2nya:
            Saya mengalaminya dan pengaruhnya dengan cara yang tidak reflektif; ketika dia ada, kepribadian No. 1 pudar hingga menghilang, dan ketika ego yang semakin identik dengan kepribadian No. 1 sedang mendominasi, orang tua itu, kalau bisa diingat sedikitpun, seperti sebuah mimpi yang sangat jauh dan tidak nyata. Antara umur 16 dan 19 tahun, kepribadian No. 1 Jung muncul lebih dominan dan secara perlahan “merepresi dunia peramalan intuitive” (Jung, 1961, P. 68). Sementara kepribadian conscious sehari-harinya berjaya, dia bisa berkonsentrasi pada sekolah dan kariernya. Dalam teori perilaku Jung, kepribadian No. 1nya adalah extrevert dan selaras dengan dunia objektif, sementara kepribadian No.2nya bersifat introvert dan mengarah kedalam, pada dunia subjektifnya. Maka pada awal masa sekolahnnya, Jung kebanyakan bersifat introvert, tapi ketika tiba masanya untuk menyiapkan diri untuk sebuah profesi dan bertemu dengan kewajiban objektif lainnya, dia jadi lebih extravert, sebuah sifat yang terus berjaya hingga dia mengalami krisis paruh baya dan memasuki periode introversi.[3]
            Walaupun pada awalnya Jung tertarik dalam bidang arkeologi, akan tetapi dia masuk kefakultas kedokteran di universitas of Basel. Kerena berkerja sama dengan neurology terkenal, Kraft Ebing, dia kemudian memilih berkarier didalam bidang psikiatri. Setelah lulus, dia berkerja di Burghhoeltzli Mental Hospital di Zurich dibawah bimbimngan Eugene Bleuler, seorang pakar dan penemu nama Skizofrenia. Tahun 1903, dia menikahi Emma Rauschenbach. Dia juga mengajar di Universiyy of Zurich, membuka praktik psikiatri dan menemukan beberapa istilah yang masih tetap dipakai sampai sekarang ini.
            Jung adalah pengagum Freud. Setelah sekian lama mengagumi freud, baru pada tahun 1907 dia dapat bertemu langsung denganya. Dampak pertemuan ini sangat luar biasa bagi kedua pemikir ini. Freud menyadari bahwa jung dapat menjadi penerusnya dalam teori psikoanalisisnya. Tapi jung tidak sepenuhnya berpegang pada teori Freud. Hubungan keduanya merenggang pada tahun 1909, sewaktu keduanya pergi ke Amerika, dalam sebuah pertemuan. Keduanya berdebat panjang tentang mimpi masing-masing, dan freud mulai membantah analisis Jung dengan cara protes kepada Jung dan berkata,”saya tidak bisa mempertaruhkan  otoritas saya dengan menceritakan hal-hal yang terlalu privasi”. Akhirnya Jung menyerah dan mengusulkan perdebatan mereka dihentikan, kalau dia tidak ingin otoritasnya hancur. Jung sangat kecewa dengan kejadian ini dan merasa sangat kesepian dan giat melakukan analisis-diri.
            Perang dunia pertama adalah masa-masa menyakitkan bagi Jung. Tapi masa ini menjadi loncatan bagi Jung untuk melahirkan teori-teori kepribadian. Setelah perang berakhir, Jung melakukan perjalanan ke berbagai Negara, misalnya, ke suku-suku primitive di Afrika, Amerika dan India. Dia pensiun tahun 1946 dan mulai menarik diri dari kehidupan umum setelah istrinya meninggal tahun 1955, sehingga masyarakat menyebutnya “sang laki-laki tua bijak dari Kusnacht.” Dia meninggal pada 6 juni 1961 di Zurich.[4]
Teori Carl Gustav Jung
Dalam teorinya Jung membagi psyche (jiwa) jadi tiga bagian. Bagian pertama adalah ego yang diidentifikasikanya sebagai alam sadar. Jung melihat ego sebagai pusat kesadaran akan tetapi bukan inti dari kepribadian. Kesadaran memainkan peran yang relative kecil di psikologi analitis, dan penekanan yang berkebihan  bagi perluasan psike di alam  sadar dapat menimbulkan ketidak seimbangan dalam psikogis seseorang. Bagian kedua, yang terkait dengan yang pertama, adalah alam bawah sadar personal, yang mencakup segala sesuatu yang tidak disadari secara langsung, tapi bisa diusahakan  untuk disadari. Alam bawah sadar personal yaitu yang mencakup kenangan-kenangan yang dapat dibawa kedalam alam sadar dengan mudah serta kenangan-kenangan yang ditekan karena alasan-alasan tertentu.Tapi alam bawah sadar personal ini tidak mencakup insting-insting yang telah dikemukakan oleh freud.
            Kemudian Jung menambahkan satu teori yang berbeda dengan teori-teori yang lain, yaitu bagian alam bawah sadar kolektif. Alam bawah sadar kolektif adalah tumpukan pengalaman  kita sebagai spesies, semacam pengetahuan bersama yang kita miliki sejak lahir. Akan tetapi, pengalaman ini tidak bisa kita sadari secara langsung. Isi dari alam bawah sadar kolektif tidak Nampak secara mencolok, akan tetapi bisa mempengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan seseorang. Alam bawah sadar kolektif bertanggung jawab atas mitos, legenda, dan keyakinan religious manusia.
Arkhetipe
Arkhetipe adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsur emosi yang besar. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran atau visi yang dalam kehidupan normal berkaitan dengan aspek tertentu dari situasi. Asal usul arkhetipe merupakan suatu deposit permanent dalam jiwa dari suatu pengalaman yang secara konstan terulang selama banyak generasi. Misalnya banyak generasi yang telah melihat matahari terbit setiap hari. Pengalaman berulang yang mengesankan ini akhirnya tertanam dalam ketidaksadaran kolektif dalam suatu bentuk arkhetipe dewa matahari, badan angkasa yang kuat, berkuasa dan pemberi cahaya.
Arkhetipe-arkhetipe tidak harus berpisah satu sama lain dalam ketidaksadaran kolektif. Mereka saling melengkapi dan berfungsi. Arkhetipe pahlawan dan arkhetipe laki-laki tua yang bijaksana bisa berpadu menghasilkan “kesatria” seseorang yang dihormati dan disegani karena ia seorang pemimpin berjiwa pahlawan sekaligus arif bijaksana.
Mitos, mimpi, penglihatan-penglihatan, upacara agama, simtom neurotic dan psikotik serta karya seni merupakan sumber pengetahuan paling baik tentang arkhetipe. Diasumsikan terdapat banyak arkhetipe dalam ketidaksadaran kolektif. Beberapa diantaranya yang sudah berhasil diidentifikasikan adalah arkhetipe kelahiran, kelahiran kembali, kematian, kekuasaan ,sihir, kesatuan, pahlawan, anak, Tuhan, setan, laki-laki tua yang bijaksana, ibu pertiwi, binatang.
Persona
Persona adalah topeng yang dipakai pribadi sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta tuntutan tentang arketipenya sendiri. Ia merupakan peranan yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang diharapkan dimainkan dalam hidupnya. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesan tertentu pada orang lain dan seringkali ia melupakan hakikat kepribadian sesungguhnya. Apabila ego mengidentifikasikan diri dengan persona, maka individu menjadi lebih sadar akan bagian yang dimainkannya daripada perasaanya sesungguhnya. Ia menjadi terasing dari dirinya, dan seluruh kepribadiannya menjadi rata atau berdimensi dua. Ia menjadi manusia tiruan belaka, sekedar pantulan masyarakat, bukan seorang manusia otonom.
Anima dan Animus
Jung mengaitkan sisi feminis kepribadian pria dan sisi maskulin kepribadian wanita dengan arkhetipe-arkhetipe. Arkhetipe feminine pada pria disebut anima, arkhetipe maskulin pada wanita disebut animus. Arkhetipe ini ditentukan oleh kelenjar-kelenjar seks dan kromosom namun juga ditentukan pengalaman dimana pria dan wanita hidup berdampingan selama berabad lamanya.Arkhetipe-arkhetipe tidak hanya menyebabkan masing-masing jenis menunjukkan ciri-ciri lawan jenisnya tetapi mereka juga dapat tertarik pada lawan jenisnya. Pria memahami kodrat wanita berdasarkan animanya, wanita memahami kodrat pria berdasarkan animusnya.
Bayangan
Bayangan mencerminkan sisi binatang pada kodrat manusia. Arkhetipe bayang-bayang mengakibatkan munculnya perasaan, tindakan yang tidak menyenangakan dan patut dicela masyrakat dalam kehidupan dan tingkah laku. Selanjutnya semua ini bisa disembunyikan dari pandangan publik oleh persona atau direpresikan kedalam ketidaksadaran pribadi.
Diri (self)
Arkhetipe ini mengungkapkan diri sebagai lambang, dan lambang utamanya adalah mandala atau lingkaran magis. Diri adalah tujuan hidup, suatu tujuan yang terus menerus diperjuangkan orang tetapi yang jarang tercapai. Ia memotivasikan tingkah laku manusia dan mencari kebulatan, khususnya melalui cara-cara yang disediakan oleh agama. Pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman yang paling dekat dengan ke diri (self-hood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Jung menemuka diri dalam penelitian-penelitian dan observasinya tentang agama Timur, dimana perjuangan kearah kesatuan dan persatuan dunia melalui praktik ritual keagamaan seperti Yoga yang jauh lebih maju daripada agama di kalangan Barat.
Sikap
Jung membedakan dua sikap atau orientasi utama kepribadian, yakni sikap ekstrover dan sikap introver. Ekstrover adalah kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrover memiliki sifat sosial, lebih banyak berbuat daripada merenung dan berpikir. Ia juga adalah orang yang penuh motif-motif yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal.
Jung percaya bahwa perbedaan tipe kepribadian manusia dimulai sejak kecil. Jung mengtakan bahwa “tanda awal dari perilaku ekstrover seorang anak adalah kecepatannya dalam beradaptasi dengan lingkungan dan perhatian yang luar biasa, yang diperankan pada objek-objek, khususnya pada efek yang diperoleh dari objek-objek itu.  Ketakutannya pada obje-objek sangat kecil. Ia hidup dan berpindah antara objek-objek itu dengan penuh percaya diri. Karena itu ia bebas bermain dengan mereka dan belajar dari mereka. Ia sangat berani. Kadang ia mengarah pada sikap ekstrem sampai pada tahap risiko. Segala sesuatu yang tidak diketahuinya selalu memikat perhatiannya.
Bentuk neurotic yang sering diderita orang ekstrover adalah hysteria. Hysteria akan semakin besar dan panjang untuk menarik perhatian orang lain dan untuk menimbulkan kesan yang baik bagi orang lain. Mereka adalah orang yang suka diperhatikan, suka menganjurkan, berlebihan dipengaruhi orang lain, suka bercerita, yang kadang mengaburkan kebenaran.
Introvert adalah suatu orientasi kedalam diri sendiri. Secara singkat seorang introvert adalah orang yang cenderung menarik diri dari kontak social. Minat dan perhatiannya lebih terfokus pada pikiran dn pengalamannya sendiri. Seorang introvert cenderung merasa mampu dalam upaya mencukupi dirinya sendiri, sebaliknya orang ekstrover membutuhkan orang lain. Jung menguraikan perilaku introvert sebagai orang pendiam, menjauhkan diri dari kejadian-kejadian luar, tidak mau terlibat dengan dunia objektif, tidak senang berada di tengah orang banyak, merasa kesepian dan kehilangan di tengah orang banyak. Ia melakukan sesuatu menurut caranya sendiri, menutup diri terhadap pengaruh dunia luar. Ia orang yang tidak mudah percaya, kadang menderita perasaan rendah diri, karena itu ia gampang cemburu dan iri hati. Ia mengahadapi dunia luar dengan suatu system pertahanan diri yang sistematis dan teliti, tamak sebagai ilmuan, cermat, berhati-hati, menurut kata hati, sopan santun, dan penuh curiga.
Dalam kondisi kurang normal ia menjadi orang yang pesimis dan cemas, karena dunia dan manusia sekitarnya siap menghancurkannya. Dunianya adalah suatu pelabuhan yang aman. Tempat tinggalnya (rumah) adalah yang teraman. Teman pribadinya yang terbaik. Karena itu tidak mengherankan orang-orang introvert sering tampak sebagai orang yang cinta diri tinggi, egois, bahkan menderita patologis.
Salah satu tanda introvert pada diri seorang anak  adalah reflektif, bijaksana, tenggang rasa, pemalu, bahkan takut pada objek baru. Sedangkan ciri introvert pada orang dewasa adalah kecenderungan menilai rendah hal-hal atau orang lain.
Kesinkronan
Kesinkronan adalah dua peristiwa yang tidak berhubungan secara kausalitas (sebab akibat) maupun teleologis (tujuan), namun terkait secara makna. Jung percaya bahwa indikasi tentang bagaimana kita saling berhubungan dengan orang lain dan dengan alam secara umum dapat ditemukan dalam alam bawah sadar kolektif. Ketika kita bermimpi atau bermeditasi, kita menyelami alam bawah sadar personal kita, semakin lama semakin dekat dengan diri kita yang sebenarnya, yakni alam bawah sadar kolektif, Ditahap seperti inilah kita dapat “berkenalan” atau dapat “berkomunikasi” dengan ego-ego yang lain. Konsep kesingkronan membuat teori Jung agak rumit dan karenanya tidak bisa dibandingkan dengan fenomena para psikologis. Namun setidaknya teori Jung ini telah berusaha menjelaskan fenomena tersebut.[5]
Fungsi-Fungsi
Terlepas dari apakah kita bersifat introfert atau ekstrofert, yang jelas kita perlu berhubungan dengan dunia, baik dengan dunia dalam maupun dunia luar. Setiap orang mempunyai cara masing-masing dengan dua dunia tersebut. Jung menawarkan empat macam cara atau fungsi.
Fungsi pertama adalah mengindra (sensing). Penginderaan berarti kita memperoleh infomasi dari dunia luar melalui pancaindra kita semisal, pendengaran dan penglihatan. Jung menyebutnya sebagai fungsi irasional, yang terlibat disini adalah persepsi bukan penilaian  atas informasi yang diperoleh dari pancaindra kita. Fungsi yang kedua adalah berpikir (thingking). Jung menyebutnya dengan fungsi rasional, karena ia terlibat jauh dalam keputusan-keputusan yang diambil atau panilaian yang dibuat bukanlah informasi yang diterima begitu saja. Fungsi ketiga adalah mengintuisi (intuiting). Mengintuisi bereda dari merasa karena lebih kreatif, bahkan seringkali menambahkan atau menyarikan elemen-elemen dari penginderaan alam sadar.
Fungsi perasaan (feeling), Jung menggunakan istilah perasaan untuk menggambarkan proses mengevaluasi suatu idea atau peristiwa. Fungsi perasaan harus dibedakan dengan emosi. Perasaan adalah pengevaluasian setiap aktifitas sadar, bahkan terhadap nilai-nilai yang tidak disukai. Kebanyakan evaluasi ini tidak mengandung emosi namun, mereka sanggup menjadi emosi jika intensitasnya meningkat sampai ke titik prubahan-perubahan fisiologis dalam diri seseorang.
Tahap-tahap prekembangan manusia
Tahap-tahap perkembangan manusia menurut Jung dibagi menjadi empat tahap. Masa kanak-kanak, masa muda, masa baya, masa senja. Fase kanak-kanak dibagi menjadi tiga subtahapan, fase anarkis ( dicirikan dengan kesadaran chaos dan sporadis), fase monarkis ( dicirikan oleh perkembangan ego dan oleh permulaan peikira logis dan ferbal), fase dualistic (masa anak-anak saat ego terbagi menjadi subyektif dan obyetif).
Masa muda menurut Jung merupakan, atau mestinya, sebuah periode peningkatan aktifitas, kematangan seksualitas, tumbuhnya kasadaran dan pemahaman bahwa kanak-kanak yang bebas dari masalah tidak akan pernah kembali. Periode masa muda itu dimulai dari pubertas sampai paruh baya.
Paruh baya menurut Jung kira-kira usia 35 sampai 40 tahun. Ini adalah masa dimana manusi mulai mengalami penurunan daya tahan, daya tarik dan ketangkasan manusia. Meskipun penurunan ini dapat menghadapkan orang-orang paruh baya pada peningkatan kecemasan namun, hidup paruh baya juga menjadi periode potensial yang menajubkan.
Usia senja ini dimana manusi mengalami penyusutan kesadaran. Jika dikehidupan sebelumnya manusia takut kehidupan , maka pada masa ini manusia takut akan kematian.
III.             ANALISIS
Jika dilihat secara mendalam sebenarnya teori yang diciptakan oleh Jung masih terikat dengan  akar frudiannya. Bisa dikatakan Jung sebagai perluasan logika Freud yang cenderung mencari sebab segala sesuatu itu pada masa lalu. Namun, terlepas dari itu semua, sesungguhnya Jung telah berhasil memperluas tafsiran apa itu penyakit jiwa atau mimpi, sementara Freud hanya mengembangkan  interpretasi yang sangat sempit (hampir-hampir hanya terfokus pada masalah seks), sebaliknya Jung malah mengembangkannya ke wilayah interpretasi mitologis, di mana setiap hal dapat berarti apapun.
Di lain pihak, Jung juga memiliki kesamaan dengan kalangan non-freudian dan humanisis. Dia yakin bahwa kita pasti ingin maju, bergerak kea rah yang positif dan bukan hanya ingin beradaptasi dengan perubahan, seperti yang diyakini kalangan Freudian dan behavioris. Idenya tentang realisasi-diri sangat mirip dengan aktualiisasi-diri.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Boeree, George C. 2010. PERSONALYTY THEORIS Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia. Jogjakartya: PRISMASOPHIE.

Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2008. Theoris of Personality. Jogjakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Hall, Calvin S & Garner Lindzey.1993. Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta:  Kanisius.

Naisaban, Ladislaus. 2003. Psikologi Jung: Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses Dalam Hidup (tipe kebijaksanaan Jung). Jakarta: PT Gramedia.

Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada.

//C:/Documents%20and%20Settings/net/My%20Documents/jung.htm.

Posted by: psikologiuhuy on: April 5, 2010.



[1] Jess Feist dan Gregory J. Feist, Theoris of Personality, (Jgjakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008), h. 88.
1
[2] George C. Boeree, PERSONALYTY THEORIS Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia, (Jogjakartya: PRISMASOPHIE, 2010), h. 102
2
[3] Jess Feist dan Gregory J. Feist, personality, h. 89.
3
[4] George C. Boeree, PERSONALiTY, h. 103-104.
4
[5] George C. Boeree, PERSONALiTY, h. 119.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More