Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Sabtu, 31 Desember 2011

Potensi-potensi apa saja yang dimiliki manusia dalam psikosufistik

I. PENDAHULUAN
Pada awalnya manusia itu diciptakan terdiri dari dua subtansi, yaitu tubuh dan ruh. Ketika keduanya bertemu terbebntuklah subtansi yang namanya jiwa dimana jwa ini memiliki potensi buruk ataupun baik. Ruh digambarkan sebagai subtannsi yang berasal dari Allah yang memiliki sifat-sifat Allah. Tubuh adalah subtansi yang sekalipun suci akan tetapi rentan terhadap pengaruh- pengaruh eksternal.
Jiwa itu terkadang berubah-rubah fungsi dan keadaanya, maka memerlukan beberapa istilah untuk menandai perubahan tersebut. Ketika jiwa mengorientasikan pandangan ketempat asalnya dunia ruhaniah maka disebut ruh. Ketika jiwa melakukan pemikiran yang rasional maka disebut aql. Ketika memperoleh pencerahan dari Allah pada saat terjadi disingkapnya hijab, maka disebut hati.
Manusia memiliki banyak sekali potensi yang ada didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut haruslah dikembangkan agar manusia mencapai derajat yang mulia disisi Allah. Dengan mengembangkan potensi-potensi tersebut manusia dapat mengelola bumi ini secara bijaksana untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Adapun potensi-potensi tersebut adalah potensi nur, potensi ruh, potensi qalb, potensi aql, potensi inderawi.

II. RUMUSAN MASALAH
Potensi-potensi apa saja yang dimiliki manusia dan bagaimana cara melatih potensi-potensi tersebut.

III. PEMBAHASAN
Potensi adalah kemampuan dan kekuatan yang harus dikembangkan. Manusia memiliki beberapa potensi yang ada pada dirinya. Diantaranya ada potensi nur, potensi ruh, potensi qalb, potensi aql, potensi inderawi.
Potensi nur adalah potensi Illahiyah (God spoot) yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan ikhtiar. Esensi nur bisa muncul dalam diri manusia manakala manusia dalam keadaan aktif maka kemungkinan akan menghantarkan dan menuntun manusia menuju jalan kebenaran yang hakiki. Manusia bisa mendapatkan nur Illahiyah dengan cara meningkatkan kecerdasan spiritual, yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual disi adalah memahami kehidupan dan segala kegiatan dalam pengertian kebermaknaan yang lebih baik.
Menurut al-Ghazali istilah ruh, qalb, aql dan nafs sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non fisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. darah ini pula yang membawa kehidupan. oleh karena itu nabi saw bersabda:
الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.
”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (qalb).”
Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukankan seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani. Oleh karena itu kata Al-Ghazali, ada makna hati yang kedua: Lathifah rabbaniyah ruhaniyyah. (sesuatu yang lembut yang berasal dari tuhan dan bersifat ruhaniyah), lathifah itulah yang membuat kita mengetahui atau merasakan sesuatu. kata al-Qur’an, hati itu mengetahui merasakan, juga memahami. Jadi hati adalah suatu bagian ruhaniyah yang kerjanya memahami sesuatu itulah qalb.
Ruh juga mempunyai dua arti. Ada ruh yang berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung ini, yang beredar bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti ruh itupun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmania yang terikat dengan jasad. Selain itu juga ada ruh dalam arti yang kedua yang ajaibnya definisinya sama dengan hati, yaitu lathifah Rubbaniyah Ruhaniyan Wal hasil secara abstrak atau maknawi ruh sama dengan hati. Ruh itulah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat mungkin menyebutnya mind, kita menyebutnya jiwa.
Potensi ruh adalah subtansi yang memiliki potensi yang berasal dari Allah yang memiliki sifat suci yang abadi. Dan ruh itu merupakan salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kapada manusia, maka kewajiban manusia adalah menjaganya serta mengembangkan potensi ruh tersebut adapun Pengambangan potensi ruh dapat dilakukan dengan cara membaca hadist Khudtsi dan melakukan amalan yang berada didalamnya.
Hati menurut Al-Ghazali yang menjadi perhatiannya bukanlah hati fisik, menurutnya rabbaniyah ruhaniyah adalah suatu yang sangat lembut. Tuhan juga disebut dengan Al -latif (yang maha lembut). lahtifah berarti juga lutf yang artinya anugrah. Jadi Al latif berarti dzat yang memberi anugrah.
Potensi qalb adalah potensi yang ada didalam manusia yang memiliki sitem kognisi yang berdaya emosi dan berpotensi kearah baik atau buruk. Hati yang terkunci itu tidak dapat menerima kebenaran yang hakiki. Dan hati memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan melalui cita rasa.
Allah berfirman:
                 
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” ( QS. Al-Taghabun, 64: 11)
Adapun hati yang sehat memiliki ciri-ciri, psikologisnya tenang. Ingat terhadap Allah. Dekat dengan Allah dengan cara selalu berbuat kebaikan yang diridhai oleh Allah. Hati selalu dekat dengan malaikat. Perbuatanya menuju kemashalatan dan benci terhadap keburukan.
Qalb dapat dikembangkan potensinya dengan cara selalu berbuat kearah yang positif. Dengan berdzikir maka manusia akan selalu ingat kepada Allah. Mengupayakan selalu dekat dengan Allah dengan cara shalat, puasa dan ibadah waji ataupun sunah yang lainya.
Berikutnya adalah aql. Ia juga memiliki dua nama. ada aql sebagai ilmu tentang sesuatu sehingga orang yang berakal adalah orang yang mengetahui ilmu tentang sesuatu, dalam makna ini, aql sama dengan ilmu. selain itu akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita menjadi yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. jadi aql bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, dan bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. hal itu berarti sama artinya dengan hati, latifah rubbaniyah ruhaniyah mudrikah alimah arifah. jadi bagian dari kita untuk mengetahui sesuatu disebut aql.
Potensi aql adalah potensi yang ada didalam diri manusia (otak) yang memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan secara nalar. Aql dapat menyimpan dan menginformasikan pengetahuan kepada pemiliknya (manusia). Melalui aql manusia dapat menyimpulkan yang belum diketahuinya dan yang belum dialami misalnya manusi tahu kalau dirinya nanti akan mati dan ada kehidupan setelah kematian meskipun belum merasakanya.
Penggunaan aql untuk berpikir akan mengantarkan individu dan masyarakat menjadi pribadi dan masyarakat yang unggul. Dengan berpikir maka manusia dianggap ada.
Potensi inderawi adalah potensi manusia yang berasal dari lima pancainderanya. Indera yang sangat berpengaruh adalah indera pendengaran dan penglihatan. Potensi indera manusia yang paling tinggi adalah dapat menembus hakikat apa saja yang dilihat.
Pengembangan potensi inderawi dapat dilakukan dengan cara bersyukur kepada Allah atas indera yang telah dititipkan kepadanya dengan melakukan hal-hal positif melalui indera tersebut. Indera penglihatan diguankan umtuk melihat hal-hal yang baik. Indera pendengaran digunakan untuk mendengarkan perkataan yang baik-baik. Indera pengecap atau perasa digunakan untuk berbicara yang baik dan berdzikir menyebut nama Allah, membaca Al Quran dan As Sunah. Indera peraba digunakan untuk memberi bantuan kapada sesama manusia dan makhluk Allah. Indera penciuman digunakan untuk menghirup yang baik-baik dan yang menyehatkan.
IV. KESIMPULAN
Manusia memiliki beberapa potensi yang ada pada dirinya yang itu harus dikembangkan seoptimal mungkin karena pengembangan potensi-potensi tersebut merupakan wujud atas rasa syukur manusia kepada Allah. Diantaranya ada potensi nur, potensi ruh, potensi qalb, potensi aql, potensi inderawi. Potensi nur adalah potensi Illahiyah (God spoot) yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan ikhtiar, Manusia bisa mendapatkan nur Illahiyah dengan cara meningkatkan kecerdasan spiritual. Potensi qalb adalah potensi yang ada didalam manusia yang memiliki sitem kognisi yang berdaya emosi dan berpotensi kea rah baik atau buruk, Qalb dapat dikembangkan potensinya dengan cara selalu berbuat ke rah yang positif. Potensi aql adalah potensi yang ada didalam diri manusia (otak) yang memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan secara nalar, Penggunaan aql untuk berpikir akan mengantarkan individu dan masyarakat menjadi pribadi dan masyarakat yang unggul, dengan berpikir maka manusia itu ada. Potensi inderawi adalah potensi manusia yang berasal dari lima pancainderanya, pengembangan potensi inderawi dapat dilakukan dengan cara bersyukur kepada Allah atas indera yang telah dititipkan kepadanya dengan melakukan hal-hal positif melalui indera tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Nashori, Fuad. 2005. Potensi-potensimanusia seri psikologi islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aman, Chairul dkk. 2008. Psikologi Qurani Bukan Sekedar Teori. Bandung: Cahaya Iman & Bedha.

Minggu, 25 September 2011

ISLAM DAN BAHAYA RADIKALISME DI DALAM BERAGAMA

Islam Dan Bahaya Radikalisme di Dalam Beragama

By : Arifin

I. PENDAHULUAN

Truth klaim, apakah itu diperlukan didalam beragama? Memang benar truth klaim itu dibutuhkan didalam beragama tetapi harus diimbangi dengan wawasan yang luas supaya tidak terjadi salah dalam penafsiran. Didalam beragama diperbolehkan mengklaim agamanya yang paling benar tanpa menyalahkan agama lain didepan para pemeluk agama yang menganutnya apa lagi memaksakkan secara halus ataupun kasar agar penganut agama lain memeluk agama yang dianutnya.
Tidak jarang orang melakukan tindakan konyol yang tidak berperikemanusiaan berupa pembantaian massal atas nama agama, seperti kasus genosida. Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-basaran secara sitematis terhadap suatu suku bangsa dan kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat musnah) bangsa tersebut. kata ini pertama kali digunakna oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkim pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Role in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani Genos (Ras bangsa/ rakyat) dan bahasa Latin Caedere (pembunuhan). Nama lain dari Genosid adalah Holocaus. Holocaust berasal dari bahasa Yunani kuno yang artinya pengorbanan kepada dewa yang seluruhnya dibakar di altar. Dan kata itu digunakan sebagai ungkapan penghalus untuk pembunuhan masal. Dan inilah ungkapan dari seorang Adolf Hitler yang paling fenomenal dalam kasus genosida, ”Kalau saya benar-benar berkuasa,orang-orang Yahudi akan digantung satu per satu, sampai tanah Jerman bersih dari Yahudi”.
Fanatik didalam beragama itu diperbolehkan bahkan itu diharuskan, karena Meyakini kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan sangat diperlukan dalam beragama. Yang kurang disetujui didalam perilaku beragama adalah tindakan yang radikal karena dapat mengancam kerukunan antar umat beragama. Didalam makalah ini akan membahas mengenai Islam dan bahaya radikalisme beragama di masa kini.



II. PEMBAHASAN

Konflik pada dasarnya merupakan situasi yang melibatkan paling tidak dua pihak. Sedangkan pertikaian, dapat diartikan sebagai situasi persaingan dimana kelompok bertikai sadar adanya ketidakcocokan kedudukan potensial dimasa depan dan dimana masing-masing kelompok bertikai berharap memperoleh kedudukan yang tidak cocok dengan harapan kelompok lain. Jadi pengertian konflik ini mengandung dua kata pokok, yaitu kesadaran dan harapan (Boulding, 1963: 6)
Pola hubungan konflik etnik lebih menekankan pada konflik yang berlangsung ketika kelompok-kelompok etnik malakukan kontak. Menurut Mason (1970), ada tiga model konflik, yaitu; pemusnahan (genocide), perpindahan penduduk (population transwer), dan penaklukan ( subjugation).
Model pemusnahan menyertakan usaha sistematik untuk membunuh atau menghancurkan seluruh penduduk atau ras tertentu. Model pemusnahan lazimnya didasarkan pada ideology rasis yang mengunggulkan salah satu ras yang dominan. Pemusnahan merupakan akibat yang tragis yang dilakukan oleh suatu golongan untuk memantapkan dominasinya atas golongan ras atau etnik lain.
Perpindahan penduduk merupakan cara lain dimana suatu kelompok bisa berupaya mencari dominasi terhadap kelompok yang lain. Dalam model konflik ini, suatu kelompok dipaksa untuk meninggalkan masyarakat setempat dengan meninggalkan lokasi tersebut. Penaklukan merupakan pola paling umum dalam konflik antar golongan. Model ini menunjukkan dimana kelompok mayoritas menikmati akses lebih besar dari kelompok yang minoritas.
Dalam pola pengusiran atau ekspulsi, golongan minoritas dikeluarkan dari masyarakat. Tidak jarang anggota kelompok minoritas dipaksa untuk meninggalkan segala yang mereka miliki, walaupun keputusan perpindahan kelompok minoritas mungkin dilakukan dengan sukarela, tetapi keputusan itu muncul diakibatkan tekanan oleh kelompok dominan.
Dalam kehidupan beragama juga dikenal beberapa istilah diantaranya: Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran mutlak yang hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan pilihan lain. Klaim tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia dilakukan secara nyata oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar. Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” dimana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai satu-satunya “ruang” yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soteriologis yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan, kebebasan, pencerahan dan suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut. Yudaisme, dengan doktrin “orang-orang terpilih”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “diluar Kristen tidak ada keselamatan”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan sementara Islam dengan firman Allah s.w.t. dalam al-Qur’an: “agama yang diridhoi Allah adalah agama islam” meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah s.w.t. sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.
Inklusivisme merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu pihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar secara absolut, tapi, di pihak lain, ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain, bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena “limpahan berkah dan rahmat” dari kebenaran absolut yang ia miliki. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.
Harus diakui, pada sebagian kecil umat beragama terdapat sebagian orang yang memahami agama secara banar –salah dengan sudut pandang yang sempit dan melakukan hal-hal diatas yang dianggap tindakan konyol yang tidak berperi kemanusiaan akan tatapi itu benar terjadi. Pemahaman dan penerapan yang seperti ini dapat berakibat fatal, yakni merusak hubungan umat beragama yang dibina sejak lama dengan cara-cara yang anarkis seperti melakukan terror, peledakan bom, perampokan, dengan berkeyakinan itu adalah bentuk dari pembelaan agama dan perintah agama.
Realitas-realitas didepan mata mereka yang tidak sesuai dengan harapan mereka menjadikan gerakan fundamentalis Islam bangkit menyeruak dengan api semangat yang berkobar-kobar berjuang dengan truth claim yang mereka yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Apa yang pertama, dan salah satunya yang mereka perjuangkan adalah berdirinya sebuah negara Islam dan pemberlakuan syariah Islam. Dan perjuangan untuk menegakkan aspirasi agama mereka menjadi lebih klop dan mendapatkan momen yang tepat, karena mereka tinggal di negara yang sedang mengalami berbagai masalah yang bersifat multidimensi.
Meyakini kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan sangat diperlukan dalam beragama. Akan tetapi masyarakat salah dalam mempersepsikan orang-orang yang berperilaku fanatik, orang yang melakukan kekerasan yang mengatas namakan jihad dijalan Allah justru itulah yang disebut sebagai orang yang fanatic didalam beragama.
Radikalisme dalam waktu yang lama hanya akan menjadi contoh yang buruk bagi agama yang dinilai suci oleh para penganutnya. Biasanya umat islam adalah yang paling rentan terhadap rayuan radikalisme karena posis umat islam yang masih berada diurutan belakang didalm peradapan. Pada posis ini dapat mendorong umat untuk menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan, tetapi didalm jangka panjang pasti akan berakhir dengan penderitaan, penyesalan dan kegagalan, serta frustasi dan kemalangan atas keadaan yang ditimpanya, sehingga dia merasa harus membalas atau melenyapkan orang-orang yang tidak seagama denganya.
Dalam sejarah umat manusia, radikalisme didalam beragama pada umumnya mengalami kegagalan, apalagi jika idiologi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme yang sempit. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak memiliki modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Dan mengatasnamakan agama mereka tega membunuh, atau melakukan genosida atau pembantaian secara missal terhadap pemeluk agama lain.
“ …maka perangilah orang-orang musyirikin itu dimana saja kamu jumpai mereka...” (Qs. At Taubah: 5).
“(Dan) perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberkati Alkitab kepada mereka, sampai mereka (mau) membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (dalam perang)” (Qs. At Taubah: 29).
“…dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” (Qs. At taubah: 36).
Dalil-dalil inilah yang digunakan oleh para kaum radikal untuk memusnahkan umat manusia yang dianggap kafir dan musyrik. Pemahaman yang sempit serta penafsiran yang sembarangan dan semangat yang berapi-api didalam keputusasaan dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik dimanapun mereka berada, entah tua-muda, anak kecil-dewasa, pria –wanita bisa menjadi korban orang-orang radikal. Dan orang-orang radikal juga akan memaksakan agama yang dianutnya kepada pemeluk agama lain. Padahal dalam Al Quran menjelaskan:
“ Tidak ada paksaan memasuki agama…”(Qs. Al Baqarah: 256).
“ dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya: maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya” (Qs. Yunus: 99).
Dan orang radikal akan terus menebarkan terror, dan melakukan serangan yang mengatas namakan perintah agama Islam. Padahal dengan jelas Allah telah melarang melakukan pembunuhan terhadap manusia tanpa sebab yang haq. Allah berfirman:
“sesungguhnya telah kami mulaikan anak-anak Adam…” (Qs. Al Isra: 70).
“ oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah mebunuh manusia seluruhnya, barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak diantara mereka setelah itu melampaui batas bumi” ( QS. Al Maidah: 32).
Hukum pada surat Al Maidah ayat dua itu tidak hanya berlaku pada Bani Israil saja, tetapi juga untuk semua manusia. Allah memandang membunuh seorang itu bagaikan membunuh semua manusia begitu juga sebaliknya.
Islam menyuruh umat muslim untuk mendakwahkan ajaran islam kepada non-muslim dengan cara perdamaian dan menjahui peperangan. Dan didalam mendakwahkan ajaran islam umat muslim hanya bertugas untuk menyampaikan pesan bukan memaksa untuk menerima dan memeluk islam bagi pemeluk agama lain. Dan hanya Allah yang mengetahui mengenai siapa yang sesat dan yang memberi hidayah kepada orang-orang yang ditunjuknya. Allah berfirman “sesungguhnya (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-NYA dan Dialah yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An Nisa: 125).
Akan tetapi orang-orang radikal tidak bisa menerima hal semacam itu. Mereka beranggapan bahwa orang-orang kafir itu layak untuk dibunuh atau mereka masuk agama islam dan muslim yang tidak sepaham dengan mereka maka para muslim yang berbeda paham dengan mereka dianggap musyrik.

III. ANALISIS

Didalam menyebarkan dan mendakwahkan ajaran agama islam nabi Muhammad menggunakan cara perdamaian dan sebisa mungkin menghindari konflik dengan orang-orang kafir. Dan tidak sepatutnya kita umat islam dalam mendakwahkan ajaran islam dengan pemaksaan apalagi dengan kekerasan ataupun terror. Allah berfirman:
“Dan kewajiban kami tidak lain hanylah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas” (QS. Yasin: 17).
“ Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kanu berlamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah, sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS. Ali Imran: 159).
“ Undanglah mereka kepada islam dan beritahu tugas-tugas mereka. Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk melalui kamu, maka lebih baik bagi kamu dari pada unta merah” (HR. Al Bukhari).
Dengan dalil diatas, menjelasakan bahwa umat muslim didalam mengajak orang-orang non-muslim untuk mendengarkan ajaran agama islam diutamakan dengan kelembutan dan perdamain lebih diutamakan dari pada dengan kekerasan.
Nabi Muhammad di utus ke bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Begitu juga dengan umat muslim adalah penerus nabi Muhammad, sehingga umat muslim menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:
“Dan kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al Anbiya: 107).
Dalam ayat ini umat islam dituntut untuk menjadi rahmat bagi alam bukan untuk merusak alam. Dalam menjaga alam, bisa dilakukan dengan tidak memusnahkan kehidupan makhluk hidup lainya secara berlebihan dan jangan membunuh manusia lain berdasarkan agama karena hanya akan merusak nilai agama yang suci tersebut bagi pemeluknya.

waallahu a’lam bi asshowabi.


DAFTAR PUSTAKA

Habib, Achmad. 2004. Konflik ANTARETNIK DI PEDESAAN Pasang Surut Hubungan Cina- Jawa. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.

Hasan, Muhammad Hanif. 2007. Teroris Membajak Islam; Meluruskan Jihad Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.

Nugroho,Arifin Suryad kk. 2008. 10 Kisah Genocide. Yogyakarta: Bio Pustaka.

Sumber dari internet:
http://www.gitj.org/peran-politis-agama-dalam-negara-plural-%E2%80%9Caspirasi-atau-inspirasi%E2%80%9D (22 Mei 2011).
http://www.alifmagz.com/fanatisme-beragama-perlukah (22 mei 2011)

http://caktips.wordpress.com/2009/05/05/wacana-kebenaran-agama-dalam-perspektif-islam/ (22 Mei 2011)

Rabu, 08 Juni 2011

QALB ORANG-ORANG YANG MUNAFIK

QALB ORANG-ORANG YANG MUNAFIK
Oleh:
Arifin


I.PENDAHULUAN
Qalb memiliki banyak sekali arti, tetapi secara garis besar Qalb hanya memiliki dua makna yaitu fisik dan non fisik. Makna fisik qalb adalah bagian tubuh yang memiliki peran penting didalam tubuh yang berfungsi mengalirkan darah keseluruh tubuh yaitu jantung. Makna non fisik qalb adalah bagian dari diri manusia yang dapat menyikab ilmu-ilmu gaib berarti qalb non fisik bisa diartikan ruh, akal, jiwa.
Hati adalah sarana seseorang untuk mengetahui untuk mengetahui kebenaran yang datangnya dari Allah. Hati juga sarana seseorang hamba untuk mendekatkan diri dengan Sang pencipta yaitu Allah SWT. Hati adalah pengendali seluruh anggota tubuh manusia, ibarat hati itu adalah raja sedangkan tubuh yang lainya adalah para pejabat, prajurut ataupun rakyatnya.
Manakala hati manusia itu bersih dari segala penyakithati (iri, dengki, sombong dan sifat tercela lainya) maka , kelak hati itu akan selamat, bahagia dan memperoleh kemenangan dikala menghadap Allah SWT. Manakala hati manusia itu kotor atau mengidap penyakit hati maka, kelak hati ini akan kecewa serta sengsara dikala menghadap Allah SWT.
Dalam mendekatkan diri dengan Allah SWT, manusia harus mengenal hati, hakekat dan sifat-sifatnya (hati). Dengan mengenal hati maka kita akan terhindarkan dari segala macam larangan dari Allah. Dengan mengenal hati pulalah manusia bisa mengetahui jati dirinya, dengan mengenal dirinya maka manusia mengenal Tuhanya.
Mengenai pembahasan tentang hati sangatlah luas dan membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi sehingga terkuak rahasia mengenai hati, Didalam makalah ini penulis hanya sedikit membuka wacana mengenai hati. Penulis akan membahas mengenai pengertian hati menurut para ulama, dan khususnya akan membahas mengenai qalb orang-orang munafik yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 8-10. Diayat ini akan dijelaskan mengenai keadaan qalb orang-orang munafik, penyakit hati yang diderita oleh orang-orang munafik, sebab ayat ini diturunkan, keterkaitan antar ayat yang akan dijelaskan secara tersirat maupun tersurat.



II. PEMBAHASAN
Qalb dalam bahasa Arab adalah merupakan bentuk masdar dari kata qalaba yang berarti membalikkan, merubah, mengganti. Kata kerja intransitive dari qalaba adalah taqallaba yang berarti bolak-balik, berganti-ganti atau berubah-ubah. Dinamai qalb Karena qalb itu cenderung berubah-ubah. Qalb inilah yang menentukan baik buruknya manusia seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.
”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah hati (qalb).”
Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukan seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani.
Dan Pembahasan Al Quran surat Al Baqarah ayat 8-10 adalah sebagai berikut:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ {8} يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ {9} فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذّابٌ أَلِيمُ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ {10}
“Di antara manusia ada yang mengatakan:’kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9). Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (10)”. (Q.s. al-baqarah 2: 8-10).

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ = Dan diantara manusia ada yang berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan hari akhir”.
Sebagian manusia itu ada yang menunjukkan kebaikan ada yang menunjukkan keburukan. Dengan mulut mereka manyatakan beriman akan tetapi hati mereka tidak mengakui apa yang diucapkan itu. Di masa Al- Qur’an sedang diturunkan, diantara penduduk Madinah ada golongan munafik, seperti Abdullah ibn Ubay ibn Salul dan teman –temannya, dan sebagian besar Yahudi, mereka mengaku beriman dengan mulutnya, tetapi tidak dengan hatinya. Orang-orang seperti itu selalu ada setiap waktu dan tempat.
Al-yaumual akhir = hari akhir yaitu sejak hari berhimpun (hasyr) semua mekhluk di padang mahsyar, sampai dengan waktu tidak berkesudahan lagi. Atau sampai penghuni surga dan penghuni neraka masuk ke dalam tempatnya masing-masing. Mereka menyebut beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyatakan bahwa keimanan mereka meliputi pangkal (Allah) dan ujung (hari akhir). Padahal mereka tidak bahkan menserikatkan Allah dengan masih mengakui Uzair adalah anak Allah. Mereka juga mengingkari adanya hari akhir. Andaikata mereka menyatakan keimanannnya kepada Allah dan hari akhir bukan untuk menipu, akan tetapi agar mereka tidak dihukum karena tidak beriman kepada Allah. Sebab mereka meyakini bahwa Tuhan itu beranak dan hanya mereka sajalah yang akan masuk surga. Mereka mengatakan bahwa mereka beriman agar mereka bisa mengelabui dan memperolok-olok orang mukmin.
وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ = Padahal mereka sama sekali bukan orang beriman.
Mereka tidak termasuk ke dalam golongan mukmin yang benar-benar merasakan kebesaran Allah dan meyakini bahwa Allah melihat segala yang mereka rahasiakan. Kaum munafik melaksanakan beberapa perbuatan ibadat yang nyata saja, karena mereka berfikir apa yang telah mereka kerjakan itu sudah membuat Allah senag. Mereka tetap bergelimang dalam dosa dan kejahatan, seperti berdusta, menipu, berkhianat, ingkar janji, dan sebagainya.

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُواُ = Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman.
Penipuan yang mereka lakukan adalah sering memperlihatkan lain dari apa yang mereka sembunyikan. Mereka menipu mukmin dengan menyatakan keimaan dan menyembunyikan kekufuran, selain untuk melindungi diri dari gangguan juga agar bisa menyadap rahasia untuk disampaikan kepada musuh-musuh mukmin: Yahudi dan musyrik.
وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ = Padahal (sebenarnya) yang mereka tipu, tak lain hanyalah diri mereka sendiri.
Mereka tidak tahu sebenarnya mereka menipu diri mereka sendiri, mereka merasa berhasil karena telah mengelabui para mukmin. Akan tetapi Allah Maha Mengetahui apa-apa yang ada di hati mereka. Dan sebenarnya mereka menggali lubang untuk mereka sendiri karena telah merasa bisa menipu yang mengetahui segala sesuatu yang ghoib (Allah).
وَمَا يَشْعُرُونَ = Tetapi mereka tidak menyadari.
Mereka terbiasa berbuat demikian karena menipu telah menjadi kebiasaan mereka. Mereka tidak menyadari akibatnya. Jika datang seorang pemberi peringatan terhadap ulah mereka yang buruk, mereka pun mencari-cari alasan dan berkilah membela diri. Ada kala dengan mengharap akan diampuni dan ada kala dengan menyelewengkan perintah kitab.
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ = Di dalam kalbu-kalbu mereka ada penyakit.
Yang dimaksud dengan kalbu dalam ayat ini adalah akal. Orang Arab seringkali menyebut kalbu dalam arti akal. Akal-akal mereka telah ditimpa hal-hal yang melemahkan penalaran (idrak) dan pemahaman untuk memahami agama dan mengetahui rahasia dan hikmah-hikmahnya. Diantara sebab-sebab yang melemahkan penalaran (idrak) adalah kejahilan, kemunafikan, keraguan, kebencian, dan dendam. Kesemuanya itu merusak iktikad dan akhlak yang menyebabkan akal menjadi kacau. Penyakit-penyakit ini telah ada pada mereka sebelum Rasul datang. Di kala itu mereka hanya membaca-baca kitab saja tanpa pemahaman dan mengerjakan amalan tanpa memperdulikan ruh dan hakikat amalan itu. Oleh karena itulah, amalan-amalan yang mereka kerjakan itu tidak membekas pada jiwa dan budi pekerti mereka.
Al-Qulub diayat ini artinya akal. Akal manusia itu dapat dipengaruhi oleh perasaanya. Perasaan itu yang mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan.
فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا = Lalu Allah menambahkan lagi penyakit pada mereka.
Karena demikian sikap dan pekerti mereka, maka Allah pun semakin menambah kemunafikan mereka. Sesudah Nabi membawa kabar gembira (busyra) dan kabar menakutkan (indzar) yang disertai pengertian yang jelas, mereka masih saja enggan menurutinya. Bahkan bertambah kukuh berpegang kepada kebudayaan nenek moyangnya. Penyakit jiwa mereka semakin bertambah disebabkan kehilangan kedudukan serta kedengkian kepada keberhasilan yang diperoleh Rasul. Sebelum Rosul datang Qalb mereka mengidap penyakit jahil dan Setelah kedatangan Rosul, Qalb mereka dihinggapi pula penyakit munafik
Dendam, iri hati, dan ragu-ragu merupakan beberapa contoh dari penyakit jiwa. Penyakit ini bisa bertambah parah bilamana disertai dengan perubahan nyata. Misalnya rasa sedih pada seseorang akan bertambah dalam apabila disertai perbuatan seperti menangis, meronta-ronta. Penyakit yang demikian itu terdapat dalam jiwa orang-orang munafik. Oleh karena itu, mereka memusuhi Allah dan Rasul-Nya, menipu dengan sikap pura-pura, palsu dan berusaha mencelakakan Rasul dan umatnya. Kemudian, penyakit itu bertambah setelah melihat Rasul dalam setiap memperoleh kemenangan. Luasnya penyakit yang menjangkit adalah bimbang, ragu-ragu, menimbulkan ketegangan jiwa yang sangat pada orang-orang munafik itu. Akal pikiran mereka bertambah lemah untuk menanggapi kebenaran agama dan memahaminya, seperti difirmankan Allah.
Penyakit hati yang menimpa akal dapat dapat mengakibatkan lemah ingatan dan tidak mampu lagi memahami masalah-masalah agama, rahasia-rahasia yang terdapat didalam agama termasuk hikmah-hikmahnya.1 Jadi, kehilangan akal inilah yang dimaksud dalam ayat dibawah ini:
“…mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah…”(Q.s. Al-A’raf 7: 179)
وَلَهُمْ عَذّابٌ أَلِيمُ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ = Dan bagi mereka azab yang pedih disebabkan mereka berdusta
Di negeri akhirat, mereka akan diganjar dengan adzab yang pedih karena mereka berdusta dalam pengakuannya beriman kepada Allah dan hari akhirat. Tuhan menjadikan azab sebagai balasan kedustaan, bukan balasan bagi kejahatan-kejahatan yang lain. Hal ini untuk menyatakan keburukan dusta dan kekufuran diliputi oleh dusta. Inilah sebabnya, Al-Qur’an sangat keras memperingatkan kita yang berdusta. Apabila dalam suatu masyarakat banyak orang berdusta, akan timbul aneka macam kejahatan dan kerendahan budi. Hati mereka bertambah susah disebabkan kedustaan mereka, mengaku beriman kepada Allah. Sebenarnya mereka tidak beriman. Mereka hanya ingin menipu Rasul dan orang-orang muslim, tetapi sebenarnya mereka menipu diri sendiri.2
Munasabah ayat-ayat diatas adalah:
Ayat kesepuluh menjelaskan didalam hati mereka akan ditambah penyakit, dan mereka akan disiksa karena mereka berdusta. Siapa yang dimaksud dengan mereka yaitu orang-oarng munafik yang itu dijelaskan didalam ayat kedelapan. Dan di ayat kesembilan menjelaskan mengapa mereka ditambah penyakit didalam hatinya, serta akan disiksa dengan pedih karena mereka mencoba menipu Allah dan orang-orang Mukmin dengan kemusyikan mereka.
Asbab Nuzul ayat ini adalah:
Sifat-sifat munafik diturunkan dalam surat-surat Madaniyah karena di Makkah tidak ada munafik. Ketika Rasul berhijrah ke Madinah (sebelumnya bernama Yatsrib), daerah ini didiami oleh kaum Ansar yang terdiri dari kabilah ‘Aus dan Khazraj. Pada masa Jahiliyah mereka menyembah berhala seperti musyrikin Arab lainnya. Selain mereka itu, di Madinah juga didiami oleh Yahudi ahlul kitab yang terdiri dari tiga kabilah, yaitu kabilah Bani Qainuka yang bersumpah setia kepada Khazraj, bani Nazir dan Bani Quraizah yang bersumpah setia kepada ‘Aus. Orang-orang ‘Aus dan Khazraj memeluk Islam, sedangkan orang-orang Yahudi hanya sedikit saja yang memeluk Islam, satu diantaranya yaitu Abdullah ibn Salam. Sebelum ummat Islam mempunyai kedaulatan, di Madinah sudah ada orang yang munafik.
Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umat Islam, Rasul membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi dan kabilah-kabilah di sekitar Madinah yang disebut dengan nama Piagam Madinah. Setelah perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin, Abdullah ibn Ubay, dari kabilah Khazraj seorang pemimpin ‘Aus dan Khazraj, yang telah dicalonkan menjadi raja Madinah, memeluk Islam. Pernyataan Islam Abdullah ibn Ubay diikuti oleh pengikut-pengikutnya dan sebagian ahlul kitab. Sebenarnya mereka ini tidak sungguh-sungguh memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam karena melihat kemenangan Muslimin dalam perang Badar. Mulai saat itu lahirlah kaum munafik di kalangan penduduk Madinah dan orang-orang di sekitarnya. Mereka memperlihatkan lain dari yang mereka sembunyikan. Mereka melakukan hal itu untuk menipu orang-orang mukmin.
Pendapat imam Al Ghazali mengenai Qalb, roh (nyawa), nafs, akal:
Kata qalb memiliki dua pengertian. Pertama adalah daging yang berbentuk buah shanubaur ( karena itu dinamakan hati sanubari), terletak pada dada sebelah kiri. Kedua ialah yang halus (latifah), ketuhanan (rabbaniyah), dan kerohanian (ruhaniyah). Yang tergolong halus adalah hakekat manusia.
Roh (nyawa) memiliki dua pengertian. Pertama tubuh halus sumbernya adalah jantung lalu tersebar dengan perantara uart-urat yang memanjang kesegala bagian tubuh. Pengertian yang kedua yaitu yang halus dari manusia yang mengetahiu dan merasa.
Nafs memiliki dua pengertian. Yang pertama yaitu pokok yang menghimpun pada kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia yang akan diuraikan pada waktu yang lain. Pengertian yang kedua yaitu diri manusia dan zatnya, tetapi disifatkan dengan bermacam-macam sifat sesuai dengan keadaanya. Misalkan, apabila manusia tenang dari kegoncangan yang disebabkan oleh nafsu syahwat, maka nafsu ini dinamakan muthmainnah (jiwa atau diri yang tenang). Apabila manusia tidak sempurna ketenanganya, akan tetapi menjadi pendorong nafsu syahwat ini dinamakan nafsu lawwamah (jiwa yang mencela) karena jiwa itu mencela tuanya yang teledor dalam menjalankan perintah Allah. Dan apabila nafsu ini tidak dapat menentang dan tunduk pada nafsu syahwat dan menurut pada sesuatu yang jahat, maka nafsu ini dinamakan an nafsu ammarah bis-suu’.
Akal juga memiliki dua pengertian. Pengertian yang pertama yaitu pengetahuan tentang hakekat segala keadaan. Yang kedua yaitu yang memperoleh pengetahuan itu. Itu adalah “hati” yakni yang halus itu.3
Menurut para sufi hati juga merupakan bagian dari diri kita yang dapat menyikap ilmu-ilmu ghaib, ada riwayat yang menyebutkan kita mempunyai dua pasang mata yaitu mata lahir yang hanya bisa melihat sesuatu yang tampk secara dhohir, dan mata batin inilah yang disebut dengan hati yang lathifah yang digunakan untuk melihat hal-hal yang ghaib. Dengan hati juga kita bisa melihat Allah, kata imam Al-Ghazali, hati itu dapat menuntun kita pada ilmu yang menyikap hal-hal ghaib.
III. ANALISIS
Qalb memiliki dua makna, Qalb yang berbentuk fisik dan Qalb yang berbentuk ruh. Qalb dalam arti fisik memiliki arti jantung, karena sudah dikelaskan dalam sabda Rasullalah, “Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah qalb .” Dikalimat itu disebutkan segumpal daging didalam ilmu biologi tidak dijumpai adanya istilah daging melainkan otot, sedangkan jantung itu adalah otot yang memompa darah keseluruh tubuh. Dan jika jantung tersebut rusak maka rusaklah seluruh tubuh manusia karena darah tidak mengalir sebagaimana mestinya.
Ada Qalb yang berarti kemampuan ruhaniyah yang mampu melakukan penginderaan yang berfungsi untuk memahami, mempersepsi dan mencermati. Misalnya perasaan sedih, gembira, berfikir dan merenung itu adalah kekuatan batin yang disebut dengan qalb. Dan qalb yang dimaksud disini adalah hati atau jiwa. Dan peran hati juga sangat penting dalam kesehatan ruhaniyah, kalau hati rusak maka seluruh ruhani kita akan rusak akan tetapi kalau hati kita sehat maka sehatlah ruhani kita.
Allah menegaskan dalam surat Q.s. al-baqarah ayat 10, bahwa manusia itu harus menjaga hatinya dari perbuatan musyrik. Perbuatan musyik itu dapat merusak hati serta hanya akan merugikan manusia itu sendiri meskipun dia berhasil menipu orang lain akan tetapi dia tidak bisa menipu Allah Yang Maha Tahu. Didalam surat itu juga Allah akan menambah penyakit orang-orang munafik, penyakitanya berupa iri, dengki, dan menembahkan rasa kesedihan serta Allah akan melemahkan akal mereka kerena kejahilan, kemunafikan, keraguan, kebencian, dan dendam yang mereka lakukan. Dan jika mereka masih juga melakukan perbuatan musyirk maka mereka akan dimasukkan kedalam neraka.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1992. TAFSI AL-MARAGHI juz 1. Semarang: Toha Putra.

Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. 1999. Kemudahan Dari ALLAH: Ringkasan Tafsir ibnu Katsir / Muhammad Nasib Ar-rifa’i. Syihabudin (penerjemah). Jakarta: Gema Insani Press.

Ash Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi. 1995. TAFSIR AL-QURANUL MAJID AN NUR. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Blitary, Immun El(penyqdur). Tt. Pandangan AL GHAZALI Tentang Rahasia Keajaiban Hati. Surabaya: Al Ikhalas.

Kamis, 05 Mei 2011

manfaat puasa bagi Qalb

I. PENDAHULUAN
Di zaman modern saat ini kajian terhadap hal-hal yang bersifal rasionalistik empirik lebih mendominasi, dari pada hal-hal yang berdimensi sufistik. Sehingga nilai-nilai keilahian yang bersifat transendental mengalami kegersangan, karena dimensi yang bersifat rasional tidak dibarengi dengan dimensi sufistik atau spiritual. Maka dalam hal ini, Allah memberitahukan bahwasanya Dia mewajibkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berpuasa, sebagaimana Dia mewajibkan atas umat-umat agama sebelumnya. Alasan kewajiban puasa ini dilandasi oleh manfaat dan hikmahnya yang besar, yaitu supaya orang- orang berpuasa dapat meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Adapun puasa yang diwajibkan Allah SWT adalah puasa hari-hari tertentu seperti bulan Ramadhan. Allah SWT tidak mewajibkan kalian untuk berpuasa sepanjang masa. Hal ini merupakan rahmat dan keringanan bagi kalian. Bersamaan dengan rahmat dalam puasa ini, Allah juga mensyariatkan kepada orang yang sakit karena dapat membahayakan dirinya, dan orang yang dalam perjalanan (musafir) yang merasa berat jika berpuasa, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dan menggantinya pada hari-hari lainnya sejumlah hari yang ditinggalkannya. Semua itu merupakan rahmad Allah SWT.
Sayyid Quthb- penulis Tafsir Zhilal Al Qur’an berkata, “Sesungguhnya Allah itu mengetahui bahwa satu beban (taklif) itu sangat berat dan membutuhkan pertolongan agar jiwa manusia dapat bangkit dan melaksanakannya, sekalipun di dalamnya terdapat hikmah dan manfaat juga keridhoan Allah bagi umat manusia. Maka dari itu, taklif diawali dengan seruan yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman untuk meningkatkan hakekat mereka yang asli, lalu menetapkan setelah seruan ini bahwasanya puasa adalah kewajiban yang lama sekali dan berlaku atas orang-orang yang beriman di semua agama. Adapun tujuan puasa adalah untuk mempersiapkan hati agar manusia berpuasa penuh perasaan takut pada Allah ta’ala. Dan ketaqwaanlah yang berperan menjaga hati manusia dengan puasa.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pengertian Qalb, Ruh, Aql, dan Nafs, serta manfaat puasa bagi Qalb. Adapun pericianya akan di bahas dalam makalah ini.


II. PEMBAHASAN
Sebelum kita membahas mengenai manfaat puasa bagi qalb, sebaiknya kita mengetahui pengertian qalb dari para ahli serta pengertian ruh, aql, nafs. Menurut al-Ghazali istilah ruh, qalb, aql dan nafs sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non fisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. darah ini pula yang membawa kehidupan. oleh karena itu nabi saw bersabda:
الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.
”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (qalb).”
Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukank seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani. Oleh karena itu kata Al-Ghazali, ada makna hati yang kedua: Lathifah rabbaniyah ruhaniyyah. (sesuatu yang lembut yang berasal dari tuhan dan bersifat ruhaniyah), lathifah itulah yang membuat kita mengetahui atau merasakan sesuatu. kata al-Qur’an, hati itu mengetahui merasakan, juga memahami. Jadi hati adalah suatu bagian ruhaniyah yang kerjanya memahami sesuatu itulah qalb.
Ruh juga mempunyai dua arti. Ada ruh yang berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung ini, yang beredar bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti ruh itupun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmania yang terikat dengan jasad. Selain itu juga ada ruh dalam arti yang kedua yang ajaibnya definisinya sama dengan hati, yaitu lathifah Rubbaniyah Ruhaniyan Wal hasil secara abstrak atau maknawi ruh sama dengan hati. Ruh itulah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat mungkin menyebutnya mind, kita menyebutnya jiwa.
Hati menurut Al-Ghazali yang menjadi perhatiannya bukanlah hati fisik, menurutnya rabbaniyah ruhaniyah adalah suatu yang sangat lembut. Tuhan juga disebut dengan Al -latif (yang maha lembut). lahtifah berarti juga lutf yang artinya anugrah. Jadi Al latif berarti dzat yang memberi anugrah.
Berikutnya adalah Akal. Ia juga memiliki dua nama. ada akal sebagai ilmu tentang sesuatu sehingga orang yang berakal adalah orang yang mengetahui ilmu tentang sesuatu, dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. selain itu akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita menjadi yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. jadi akal bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, dan bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. hal itu berarti sama artinya dengan hati, latifah rubbaniyah ruhaniyah mudrikah alimah arifah. jadi bagian dari kita untuk mengetahui sesuatu disebut akal.
Alhasil ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati dan akal. ketiganya sama-sama merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaiatan dengan jasmani. Orang dapat merasakan pedih tampa mengalami gangguan fisik, sedikitpun. tubuhnya normal tetapi mengalami kepedihan yang luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasalan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan tubuh, akan tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang orang mengetahui bahwa kalau seseorang tidak mempunyai ruh, ia tidak akan merasakan sakit apapun, meski tubuhnya di kerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasakan sakit bukan tubuh kita, tetapi ruh kita atau qalb atau akal-dalam definisi lathif sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat pedih tanpa mengalami gangguan fisik sedikitpun. Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yng luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan adalah lathifah rabbaniyah ruhiyyah.
Setelah kita mengetahui pengertian Qalb, Ruh, Aql, dan Nafs menurut Al-Ghozali. Kita akan membahas manfaat puasa bagi qalb menurut para ahli tafsir dan para ahli ilmu agama. Kita akan membahas surah Al Baqarah ayat 183-185, di bawah ini akan dibahas mengenai hal tersebut.
`
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
"Wahai segala orang yang beriman, telah difardukan atasmu mengerjakan puasa, sebagaimana telah difardukan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bartaqwa (183)."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ = Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.
Allah telah mewajibkan berpuasa kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad di turunkan sebagai nabi yang terakhir. Ayat ini menjelaskan kepada kita untuk melaksanakan puasa walaupun berat, akan tetapi talah diperintahkan pula kepada umat-umat terdahulu sebelum kita.
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ = untuk menyiapakan kamu bertaqwa.
Tentang puasa menyiapkan kita untuk bertaqwa kepada Allah, dapat dilihat kenyataanya dari berbagai jalan, yang terpenting diantaranya adalah :
1. Puasa itu membiasakan manusia takut akan Allah baik dilihat manusia lainya maupun tidak dilihat oleh manusia lainya. Apabila ia meninnggalkan keinginan-keinginan nafsunya, yakni makan yang sedap, minuman yang segar, istri yang memikat hati, karena mengikuti perintah Allah dan melaksanakan petunjuk agamanya.
2. Puasa itu mematahkan gejolak hawa nafsu dan menjadikan jiwa dapat memalingkan syahwatnya menurut ketentuan syara'.
3.Puasa itu menanamkan syafa'at dan rahmat yang menggerakkan kita kepada suka memberi dan suka bersedekah.
4. Puasa itu mengandung persamaan antara orang kaya, orang papa, orang berpangkat maupun jelata, semuanya menjalankan puasa.
5. Puasa itu membiasakan umat teratur dalam kehidupanya karena mereka berbuka pada saat yang sama.
6. Puasa itu melenyapkan segala racun yang ada di dalam tubuh dan yang ada di dalam perut besar, serta menghancurkan lemak yang sangat berbahaya bagi jantung sehingga menyehatkan badan dan kita dapat melaksanakan ibadah dengan khusyuk.
Al-Auza'i berpendapat, bahwa umpat dan gunjing membatalkan puasa.
kata ibnu Hazam: " puasa itu, dibatalkan oleh segala maksiat yang sengaja dikerjakan lagi dalam keadaan teringat puasa."
kata Al-Ghozali: " Orang yang mendurhakai Allah sedang ia dalam puasa, samalah dengan orang yang sedang membangun gedung akan tetapi ia menghancurkan suatu kota."
Ayat puasa dimulai dengan ajakan kepada orang yang memiliki iman barang sedikit, ia di mulai dengan satu pengantar yanng mengundang setiap mukmin untuk sadar melaksanakan kewajiba berpuasa. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa tanpa menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan entah itu orang atau kelompok. Kemudian, menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit. Selanjutnya ayat ini menerangkan telah di wajibkan pula atas ummat-ummat terdahulu sebelum kamu, ini berarti puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak berdialog pada masa turunya ayat ini, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu, walaupun rincian cara pelaksanaanya berbeda-beda. Kewajiban puasa tersebut dimaksudkan agar kamu bertaqwa, yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi.
Puasa merupakan sarana penjaga individu dan masyarakat, baik penjaga tubuh, pembersih hati, pengarahan karakter jiwa, dan penuntun nurani.Orang yang berpuasa meninggalkan makanan didunia untuk mendapatkan gantinya di akhirat dengan makanan yang lebih mengundang selera, sedangkan pada saat itu seorang muslim sangat membutuhkan makanan di akhirat.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾َ
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (184)."
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ = dalam beberapa hari yang di hitung.
Allah mewajibkan puasa dalam beberapa hari yang dapat di tentukan bilangannya, yaitu pada bulan ramadhan. Allah tidak mewajibkan kita untuk berpuasa sepanjang masa karena ini merupakan bentuk dari keringanan yang diberikan oleh Allah kepada kita.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ = Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain dan atas orang-orang yang sukar benar mengerjakan puasa itu, membayar fidyah, makanan seorang miskin.
Orang yang berpuasa juga harus melihat kondisi kesehatan dan keadanya. Barang siapa di antara kamu sakit yang memberatkan kamu berpuasa atau sedang melakukan perjalanan yang jauh atau pekerja berat yang mesti dan harus di lakukanya sehingga bila ia tinggalkan menyulitkan diri atau keluarga yang ditanggungnya maka di gugurkan kewajibanya menjalankan puasa ramadhan akan tetapi membayar fidyah, sedangkan untuk yang melakukan perjalanan jauh tidak membayar fidyah melainkan harus menggantinya di lain hari sesuai jumlah hari yang di tinggalkanya tetapi jangan melaksanakanya pada hari-hari yang di haramkan untuk berpuasa.
Segolong ulama , di antaranya ibnu Sirin, Atha dan al-Bukhari berpendapat, bahwasanya segala bentuk sakit, baik berat atau tidak menjadi keringanan untuk kita berbuka. Disebut dalam Sahih Bukhari, bahwasanya para sahabat bersafar (safar yang membolehkan kita berbuka ialah safar yang di bolehkan kita mengqasharkan sholat, jarak sefarsakh = 3 mil) bersama nabi SAW. Maka diantara mereka ada yang berbuka dan ada yang diantaranya masih berpuasa. Masaing-masing mereka tidak menjelekkan yang lain.
Mereka yang sukar mengerjakan puasa, yaitu orang tua yang lemah, orang yang berpenyakit yang tidak memiliki harapan sembuh, para kuli yang mengerjakan pekerjaan berat, perempuan yang mengandung atau menyusui. Mereka di wajibkan membayar fidyah.
Kebanyakan imam, seperti: Abu Hanifah, Malik, Asy-syafi'i, berpendapat, bahwa: berpuasa itu lebih utama bagi orang yang kuat dan tidak menyukarkan. Al Auza dan Ahmad berpendapat bahwa: berbuka itu lebih utama, mengingat rukhshah (keringanan) yang di berikan oleh Allah.
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ = maka barang siapa berbuat tatawu, maka itu lebih baik baginya.
Barang siapa yang membayar fidyah itu sangat baik baginya, karena pahalanya kembali kepadanya sendiri. Membuat tatawu ini, melengkapi tiga macam:
  1. Memberi makanan kepada lebih dari seorang miskin.
  2. Memberi makan kepada seorang miskin lebih dari kadar yang wajib.
  3. Berpuasa sunat pula selain yang fardu.
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ = dan bahwa puasamu, lebih baik bagimu. Jika kamu mengetahui.
Puasa itu lebih baik bagimu, karena puasa itu melatih fisikmu maupun jiwamu untuk menjadi tangga taqwa dan muroqobah. Jika kamu mengetahui dasar-dasar kebajikan pada puasa dan jika kamu meyakini bahwa puasa itu difardukan untuk kemaslahatan para mukalaf sendiri.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّـهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ١٨٥﴾)
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ =(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).
Guna memperingati petunjuk Allah yang diturunkan di bulan Ramadhan, kita diperintahkan oleh Allah agar melaksanakan ibadah yang tidak diperintahkan pada bulan-bulan yang lain yaitu ibadah puasa.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ = Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
Barang siapa berada dikampungnya di waktu bulan ramadhan tiba, hendaknya dia mengerjakan fardu dengan semestinya. Hal ini mengenai negeri yang mengalami bulan ramadhan, maka hari-harinya dijadikan untuk berpuasa.
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر = dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah mengulangi soal kebolehan berbuka sekali lagi, bagi yang sakit dan yang dalam safar, adalah supaya jangan disangka bahwa puasa di bulan ramadhan diwajibkan dan sama sekali tidak boleh berbuka sama sekali bagi yang tidak mampu melaksanakanya.
يُرِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ = Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Allah berkehendak dengan memberi rukshah (keringanan) dalam hal puasa dan dalam segala hukum-hukum lainya yang di syari'atkan, adlah supaya agama itu menjadi mudah dan yidak menyulitkan umat manusia.
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ = Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
Allah memberikan kemudahan bagimu berbuka dalam keadaan sakit dan safar, karena Allah menghendaki kemudahan untuk kamu, dan Allah menghendaki kamu menyempurnakan bilangan puasa itu. Maka barang siapa tidak bisa menyempurnakan bilangan puasa secarai tunai karena uzur, sakit atau safar, hendaknya disempurnakan secara qodho, dengan demikian dapatlah kamu memperoleh kebajikan dan berkatnya.
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّـهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُم = dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.
membesarkan Allah ialah dengan cara menyebut kebesara-Nya dan kenikmatan-Nya dalam memperbaiki keadaan hamban-Nya.
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ = dan supaya kamu mensyukuri-Nya.
Supaya kamu mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah, maka hendaklah kamu memberikan kepada azimah dan rukhshah haknya masing-masing. (teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Quran Majid An Nur, h. 297-300)


III. KESIMPULAN
Qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukan seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani.
Puasa merupakan rahasia antara Allah dengan hambanya, tiada seorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah dengan dirinya. Berbeda halnya dengan ibadah yang lainya seperti shodaqoh, sholat, haji orang lain bisa melihatnya atau menyaksikanya bahkan bisa merasakan manfaatnya meskipun orang lain yang melaksanakan ibadah tersebut.
Puasa juga bagus untuk kesehatan karena dengan berpuasa gula hati yang ada di dalam tubuh akan bergerak. Seiring dengan hal itu lemak yang berbahaya bagi jantung akan terurai, protein yang ada di otot juga akan di uraiakn, sel-sel hati akan bergerak dan seluruh tubuh akan mengorbankan matri-materi khususnnya demi keseimbangan hati (qalb).
Selain membersihkan hati yang berupa fisik, puasa juga membersihkan hati yang non fisik. Puasa merupakan sarana pembersih diri dan mengajak kepada kebaikan. Puasa merupakan sarana penjaga hati ( qalb) yang non fisik, pengerahan karakter jiwa dan penutun nurani.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghy, Ahmad Musthafa; penerjemam: Bahrun Abubakar. 1984. Tafsir Al- Maraghy. Semarang: Toha Putra.
Buhairi, Syaikh M. Abdul Athi; penerjemah: Abdurrahman Kesdi dan Umma Farida . 2005. Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayuhal-ladzina Aamanu. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. 1995. Tafsir Al Quran Majid An Nur. Semarang: P.T. Pustaka Rizki Putra.
Shihab, M. Quraish. 2000. TAFSIR AL- MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Ciputat: Lentera Hati.
http://tanzil.net/#2:183-188
http://id.wikipedia.org/wiki/Juz_2


.

IMPLEMENTASI AHWAL DALAM TRADISI TASAWUF

  1. PENDAHULUAN
Tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan suku, bangsa, dan rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan rohaniyah. Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri agar bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan berbagai macam usaha pensucian diri, maka bertambahlah ketajaman mata batin dalam melihat kemakhlukan diri. Pengalaman religius tertinggi seperti ma’rifat Allah tidak hanya dimiliki oleh kalangan laki-laki, kaum perempuan pun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam mewujudkan penghambaanya pada ilahi, dengan melalui maqam-maqam yang harus dijalani, juga akan sampai pada tingkat ma’rifat1. Dan didalam makalah ini penulis ingin membahas mengenai implementasi ahwal dalam tradisi tasawuf.

II. PEMBASAN
Ahwal adalah jamak hal yang berarti keadaan atau kondisi jiwa. Secara terminilogi ahwal adalah keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal iu masuk kedalam hai seseorang sebagai anugrah yang di berikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tan usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan idak disengaja. Maka sebagai mana dikatakan Al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya atau usaha sedangkan hal adalah karunia sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam kurun waktu yang cukup lama dan kadang datang dalam kurun waktu yang singkat. Hanya saja hal tidak bisa datang tanpa adanya kesadaran tetapi hal harus menjadi kepribadian seseorang.2
Para sufi membedakan antara maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Maqam ditandai dengan kemapanan, sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam dapat ditempuh oleh seorang calon sufi dengan kehendak dan upayanya, sedangkan hal daat diperoleh oleh calon sufi dengan tidak sengaja. Orang yang meraih maqam dapat tetap dalam tingkatanya, sedangkan orang yanng meraih hal justru mudah lepas keadaanya.3
Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari hal, banyak kalangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya hal tidak lebih untuk mencapai perwujudan untuk mencapai maqam. Dan untuk mencapai maqam manusia dituntut untuk bersungguh-sungguh dengan menjalankan amalan-amalan yang baik dengan penuh kepasrahan diri kepada Allah. Jika dikaji lebih mendalam sebenarnya maqamat dan ahwal itu untuk menunjukkan atau mempertegas tentang kesaksian manusia mengenai tidak ada Tuhan selain Allah.
Dalam kalimat syahadat terdapat dua pernyataan yang terdiri dari penolakan atau pengingkaran dan penegasan atau pengutan. Kalimat lailaha dikhawatirkan jika tidak adanya penolakan atas seluruh realitas selain Allah maka segala sesuau yang ada di muka bumi berpotensi menjadi Tuhan. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Segala sesuatu yang dituju berpotensi untuk disenangi, segala yang disenangi berpotensi untuk diabdi, dan segala sesuatu yang di abdi adalah Tuhan”. Sedangkan penegasannya adalah tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah.4 Seperti halnya dalam masalah jumlah tingkatan (maqam), Para ulama’ taswuf dalam menentukan jumlah dan bentuk-bentuk hal berbeda-beda. Diantara macam-macam hal yang populer adalah:
a. Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatu antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.5
Muraqababah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantisa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap berada pada kualitas kesempurnaan penciptanya.6
Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seseorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analisis terhadap perilakunya di masa lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik
Hal penting yang harus ditunjukan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensi dapat diupayakan dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa menjadi yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi.
Kedisiplinan inilah yang akan mengantar seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan menuju kebahagiaan yang hakiki. Sementara ketidakdisiplinan ditunjukan dengan sikap sembrono serta mudah terlena dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang nisbi dan fana, yang semua itu akan dapat mendorongnya menuju kejatuhan pada jurang kerendahan dan kehinaan.
b. Mahabbah
Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi, yang meruakan puncak pencapaian para sufi. Di mana keseluruhan jenjang yang dilalui bertemu dalam maqam mahabbah.
Mahabbah (cinta) mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Orang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta.7 Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seseorang yang dilanda cinta akan dipenuhi ingatan kepada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
Ilustrasi tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu Al-Arabi, bahwa mahabbah adalah bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan, yakni kerinduanya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan kehendak manusia adalah kembali pada esensinya sebagai wujud mulak Kesmpurnaan manusia, menurut Ibnu Al-‘Arabi sangat ditentukan oleh kesadaran manusia akan eksistensi dirinya sebagai satu kesatuan dengan eksistensi Tuhan.8 Lebih jauh lagi sebenarnya kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yana dituju dan diusahakan, dengan tanpa merasa berat dan sulit untuk mencapainya. Karena segala sesuatunya dilakukan dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Kesadaran cinta juga berimplikasi terhadap diri seorang pecinta dengan sikap penerimaanya terhadap segala apa yang ada dan terjadi dialam semesta. Sehingga segala sesuatu, baik yang bersifat positif yang berwujud kebaikan maupun negatif yang berbentuk kejahatan, kelebihan, dan kekurangan semua diterima dengan lapang dada. Seorang pecinta juga dapat melupakan segala sesuatu yang ada atau terjadi disekelilingnya karena kesadaran cintanya telah mendominasi dan memenuhi seluruh kesadaran psikologisnya.
c. Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf (takut) terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat.9 Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka takutlah kepadaku jika kamu orang-orang yang beriman”10 Juga diungkapkan dalam ayat lain yang artinya: “Mereka menyeru kepada Tuhan dengan penuh rasa takut dan harap.11
Banyak sekali ungkapan yang memberikan penjelasan tentang khauf (takut). Yakni antara lain ungkapan Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut adalah pelita hati, dan dengan takut baik buruknya hati seseorang akan tampak. Sementara Abu Umar Al-Dimasyqi menegaskan, bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih takut dari takutnya pada setan. Ibnu Jalla’ berpandagan, bahwa manusia yang takut (kepada Allah) adalah dirinya merasa aman dari hal-hal yang menbuanya takut.12
Memang, perasaan takut ini sangat sulit untuk bisa dipahami oleh seseorang dengan kasat mata. Karena hal ini sangat terkait dengan pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi. Sehingga dikatakan oleh Ibnu ‘Iyadh bahwa hanya mereka yag termasuk golongan orang-orang yang takutlah yang dapat melihat orang yang takut. Ia mengibaratkan perasaan seorang ibu yang sedih karena kehilangan anaknya, yang hanya bisa dipahami kesedihanya oleh ibu yang kehilangan anaknya pula.
Menurut Al-Wasithi, perasaan takut merupakan pengendali bagi diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu melakukan yang terbaik dengan tanpa adanya keraguan, ia merasa yakin bahwa usaha yang baik akan menghasilkan kebaikan pula. Ada pun puncak dari perasaan takut adalah sebuah kesadaran bahwa Allah menguasai wujud manusia yang paling dalam, yang pada akhirnya perasaan takut itu akan hilang dengan sendirinya, karena takut hanyalah akibat dari rasa inderawi yang bersifat manusiawi. Sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Husain Ibnu Manshur Al-Hallaj, bahwa seorang yang takut kepada selain Allah SWT atau berharap kepada selain Allah maka perasaan takut itu akan mendominasinya dan menutupi dirinya sampai berlapis-lapis. Ada pun lapisan yang paling tipis adalah keraguan.13
Dari banyak ungkapan yang dikemukakan oleh ahli tasawuf di atas, dapat dipahmi bahwa takut yang dimaksud disini adalah perasaan takut akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukkan. Sehingga perasaan ini secara otomatis akan memberikan dorongann untuk melakukan yang terbaik, sehingga pada masa mendatang ia akan menerima yang baik pula. Seseorang yang diikuti perasaan takut, hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikann dalam jangka panjang kedepan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau kepentingan sesaat. Dengan kata lain, seorang yang khauf (takut), adalah adalah mereka yang berpikirann luas dalam jangka panjang kedepan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
d.Raja’
Sebagaimana halnya dengan khauf (takut), raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.14 Al-Qusyairi membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat aktif ,sementara tamanni bersifat pasif. Seorang yang mengharapkan sesuatu tentu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya dengan berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkanya untuk mendapatkan apa yang diangan-angankanya.
Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga, antara lain:
  1. Manusia yang melakukan amal kebaikan dengan harapan amal baiknya akan diterima disisi Allah
  2. Manusia yang melakukan amal buruk kemudian bertobat dengan mengharap akan mendapat ampunan dari Allah
  3. Orang yang menipu diri dengan terus menerus melakukan kesalahan dengan mengharap ampunan.
Untuk itu dasarankan bagi orang yang menyadari atau kejahatan yang dilakukanya, untuk lebih didominasi perasaan takut (khauf) dan bukan harapan (raja). Rasa takut berfungsi sebagai peringatan atas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan dimasa yang akan datang. Dan jika perasan takut dilengkaipi dengan harapan, akan dapat menimbulkan keberanian yang dapat menghancurkan segala penyakit yang ada dalam diri seseorang.15 Harapan (raja’) akan membawa seorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktivitasnya, serta menghilangkan semua keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian dia akan melakukan segala akivitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.
e.Shauq
Rindu (shauq) meerupakan luapan perasaan individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang di cintai.16 Perasaan rindu yang meluap terhadap sesuatu biasanya membuat seseorang akan melupakan semuanya kecuali yang dirindukanya. Seperti halnya dengan para sufi yang merindukan akan kehadiran Allah di dalam hati mereka, dan segala sesuatu yang mereka pikirkan dan lakukan hanya karena Allah. Sebagai bukti adanya perasaan rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseoarang atau sufi dari hawa nafsu yang berlebihan dalam mencintai dunia.
Perwujudan rindu (shauq) kepada Allah adalah dengan kita senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan mendatangkan Allah dalam hati kita melalui cara sholat, berdzikir salah satunya dengan cara membaca Asmaul husna karena dengan cara-cara itulah kita bisa menghadirkan Allah dalam hati seseorang. Sholat dapat mencegah orang melakukan perbuatan keji dan mungkar, jika kita sering mengerjakan kemungkaran maka rasa rindu (shauq) akan dicabut dari hati kita sebab Allah hanya akan hadir di dalam hati yang suci atau bersih dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan berdzikir secara terus menerus dalam keadaan apapun akan mengingatkan manusia kepada Allah sehingga manusia rindu akan kehadiran Allah di dalam hatinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan berhati-hati dalam tindakan dan tutur katanya agar tidak dibenci oleh Allah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah.
f. Uns
Uns (perasaan cinta) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatannya dengan Tuhan. Atau dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan.17 Dalam keadaan ini seorang manusia diliputi perasaan yang diliputi oleh cinta, kelembutan, kasih sayang, senang, bahagia, gembira, suka cita yang menjadi satu di dalam hatinya sehingga sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Keadaan semacam ini dapat di alami seseorang dalam situasi tertentu, misalnya menikmati indahnya alam semesta, merdunya kicauan burung, atau saat kita bercermin betapa sangat indahnya diri kita yang di mana seseorang atau sufi benar-benar menikmati atau merasakan keindahan Allah melalui ciptaanya. Cara ini dapat kita peroleh dengan tadabur alam atau cammping spiritual.
Uns menurut Dr. H. Asep Usmar Ismail. MA dalam bukunya yang berjudul TASAWUF berarti keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh pada satu titik setrum, Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap, kecuali Allah. Keadaan ini dapat diraih dengan cara berdiam diri di dalam masjid pada malam hari dan merenungi dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini.
g. Tuma’minah
Tuma’minah dapat diartikan sebagai keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya.18 Ibnu Qayyim membagi tuma’minah kedalam tiga tingkatan yang pertama ketenangan hati dengan mengingat Allah. Tingkatan yang kedua adalah ketentraman kelak akan bertemu dengan Allah. Tingkatan yang ketiga adalah ketentraman bertemu dengan Allah dalam setip dzikir dan sholatnya, ketentraman dalam menyaksikan Allah pada kelembutan kasihnya.
Dan menurut Ibnu Qayim keadaan ini dapat diperoleh dengan cara melakukan kebenaran dan menghindari kebohongan, sesuai dengan sebuah hadis yang beliau tulis yang menyatakan bahwa Kebenaran adalah identik dengan ketentraman sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan”. Karena tidak dapat di pungkiri dengan kita menyampaikan kebenaran, hati kita akan merasa tentram, nyaman dan teguh dalam pendirian mengenai iman seseorang kepada Allah, sedangkan kalau kita berbohong akan menyababkan hati yang gelisah, keraguan kekacauan dalam pikiran dan biasanya kebohongan jika sudah dilakukan akan menimbulkan kebohongan yang lainya selain kebohongan dapat menyebabkan perasaan gelisah juga akan menimbulkan noda dalam hati yang dapat menyebabakan hati menjadi keras sehingga hidayah Allah tidak bisa masuk kedalam hati seseorang dan dapat menimbulkan pengakit secara fisik juga.
h. Musyahadah
pengertian dari Musyahadah adalah kehadiran Allah tanpa di bayangkan. Orang yang ada pada puncak musyahadah kalbunyta senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehingga malam pun laksana siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran orang yang diselimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.19
Di dalam kehidupan sehari-hari secara psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah dapat dijumpai dalam situasi dan kondisi apapun yang ditemui dan dialami, akan senantiasa dianggap sama saja, karena sesuatu berasal dari Allah.
i. Yaqin
Pengertian yaqin menurut Al Junaidi adalah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling. Selain itu dijelaskan bahwa yaqin itu merupakan ilmu yang mapan, tidak terombang ambing, tidak berputar-putar, dan tidak berubah-ubah dihati. Yaqin bisa disamakan dengan iman tetapi iman belum tentu yaqin karena iman kadang-kadang dihinggapi kelalaian (terhadap hukum agama), sedangkan yaqin tidak dapat dimasukinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesuatu yang sangat aku takuti bagi umatku adalah lemahnya keyakinan, dan lemahnya keyakinan itu adaah orang yang lalai terhadap ajaran agamanya, orang yang bergaul dengan orang jahat, dan orang yang bersifat kasar dan berkepala batu.”20 Permulaan yaqin adalah mukasyafah dan apabila Allah SWT telah menyingkapkan tabir dari hati seseorang, maka bertambahlah keyakinannya. Dari musasyafah selanjutnya meningkatkan menjadi mu’ayanah dan akhirnya musyahadah.
Di dalam kehidupan sehari-hari dilihat dari segi agama, kadang kita percaya dan yakin akan adanya Allah SWT tetapi terkadang kita melalaikan akan ajaran perintah-Nya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kalau kita cermati tentang masalah ini, terhadap orang yang melalaikan perintah-Nya bukan berarti orang tersebut tidak percaya akan adanya Allah. Kepercayaan dan keyakinan itulah yang disebut dengan Yaqin.
Ma’rifat. Menurut bahasa, kata ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal. Secara umum, ma’rifat dapat diartikan sebagai cara untuk mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah SWT.
Beberapa implementasi dari Ahwal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
- Dzikir merupakan cerminan keadaan hati. Yang dimaksud dengan dzikir adalah amalan-amalan yang nampak (dhohir). Amalan yang kita lakukan setiap hari dan datangnya dari diri kita, baik dari pemikiran dan pengelihatan batin kita terhadap amalan-amalan itu. Karena, apabila semua amalan yang kita lakukan berasal dari kesadaran diri dan diri kita sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Maka, amalan tersebut akan selalu mencerminkan keadaan hati pelakunya. Jadi, jika keadaan hatinya sedang baik maka amalan yang dikerjakan pun secara tidak langsung mempunyai niat dan tujuan yang balik pula. Sebaliknya, jika keadaan hatinya sedang jelek maka amalan yang dikerjakan pun secara tidak langsung juga akan mempunyai niat dan tujuan yang jelek pula.21
Jika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, apabila hati kita sedang tidak senang atau bad mood maka secara tidak langsung kita akan membuat orang-orang disekitar kita merasa tidak enak hati ketika berbicara maupun menyapa kita. Berbeda dengan kalau kita sedang senang maka secara tidak langsung kita akan membuat orang-orang disekitar kita minimal tersenyum dengan kita. Selain itu juga, mereka akan dengan senang hati mengajak kita berbicara dan menyapa kita.
- Tidak kurang dari 17 kali kita membaca Surat Al-Fatihah, yang salah satunya mempunyai arti: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Dengan demikian amatlah tidak sesuai dan sama sekali dan tidak cocok dengan apa yang kita ucapkan, apabila dalam menghadapi suatu keperluan kita meminta pertolongan kepada selain Allah SWT. Allah Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, tidak akan pernah kekurangan dan marah kepada hamba-Nya yang suka dan sering kali meminta kepada-Nya, tapi justru Dia akan mencurahkan segala kasih dan sayang-Nya kepada hamba yang suka meminta tersebut.22
Tanpa kita sadari setiap hari kita tergantung kepada Allah SWT dari pada kepada kedua orang tua kita ataupun orang-orang disekitar kita. Misalnya, saat kita makan maupun tidur pun kita tergantung kepada-Nya. Saat tidur, kita memohon kepada Allah semoga dilindungi selalu. Itu pun tanpa kita sadari kita melakukannya. Tetapi Allah tidak pernah bosan dan marah ketika mendengarkan permintaan hambanya tiap detik dan tiap waktu. Walaupun terkadang muluk-muluk dan berlebihan.
- Kita melakukan sholat setiap hari 5 kali. Tapi terkadang kita sendiri tidak mengetahui arti sholat itu. Sholat adalah suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah yang pengejaannya dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam serta dengan tidak lupa memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara yang telah ditentukan.
Disaat kita mengerjakan sholat, ada beberapa manfaat yang kita dapatkan, diantaranya:
  1. Dari hatinya akan terpancar cahaya ilahi yang menerangi jalannya.
Setiap tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan akan mencerminkan sikap amar ma’ruf dan nahi munkar.
  1. Sholat dapat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang sudah mengerjakan sholat tetapi masih banyak yang suka mengerjakan larangan Allah SWT. Hal ini terjadi disebabkan oleh sholat kita yang kurang khusuk dan kurang penjiwaan terhadap pengertian sholat itu sendiri.
  1. Sholat yang baik akan dapat memperbaiki semua amal perbuatan seseorang.
Contohnya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sering melaksanakan sholat pembawaannya akan lebih tenang dibandingkan orang yang tidak pernah melaksanakan sholat. Sholat dapat membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam jiwa.
  1. Sholat dapat membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam jiwa.
Seperti yang disabdakan Rasulullah: “Sesungguhnya perumpamaan sholat itu seperti air tawar yang mengalir dimuka pintu salah seorang dari kalian. Yang mandi di sungai itu sehari lima kali. Maka apakah yang akan kalian lihat setelah itu? Apakah masih tertinggal dari kotorannya?”.23
- Dengan mengingat Allah orang bisa merasakan kelezatan hidupnya. Kelezatan dan kenikmatan adalah sesuatu yang sering dicari manusia. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Padahal demikian itu sangat mudah didapat karena hanya dengan mengingat Allah, orang bisa mendapatkan kenikmatan kehidupan di dunia dan di akhirnya.24
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Dailami yang bersumber dari Ibnu Abbas mengenai syarat-syarat untuk mendapatkan rahmat, seperti berikut ini:
  1. Menjaga tutur kata (Hafidlo Lisaanuhu)
Yaitu dapat mengendalikan diri dari perkataan-perkataan yang tidak perlu diungkapkan. Misalnya: yang mengandung rahasia yang dapat menyinggung perasaan orang lain, yang dapat menimbulkan atau menyebabkan fitnah, yang dapat menimbulakn keresahan masyarakat, dsb. Seperti istilah “Mulutmu, Harimaumu”.

  1. Memahami zaman (‘Arofa Zamanuhu)
Seseorang harus bisa memilah-milah kebiasaan-kebiasaan dengan teliti dan cermat dimanapun tempat dia tinggal agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang merugikan dirinya maupun orang lain. Jika bertentangan dengan nilai-nilai atau ajaran agama Islam maka harus ditolak dan dijuhi. Sedangkan jika sesuai dengan ajaran Agama Islam maka harus dianut dan dilakukan.
  1. Istiqomah dalam hidup (Wastaqomat Tariqotuhu)
Pendirian yang tegas dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan serta tidak mudah dirayu. Sehingga dalam keadaan bagaimanapun akan selalu berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaannya. Misalnya: Seseorang yang dibujuk rayu untuk menyembah selain Allah tetapi dia tetap berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaannya hanya kepada Allah.25
Seseorang yang menuju jalan Allah hendaknya jangan tertipu keindahan dunia karena keindahan dunia hanya semu belaka. Tetapi anehnya, banyak orang yang terperdaya olehnya. Hal seperti itu jangan sampai dialami oleh orang yang menuju kejalan Allah. Mereka seharusnya lebih mempertebal iman mereka.26 Karena jika seseorang terperdaya oleh keindahan dunia, maka secara tidak disadari akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Seharusnya seseorang yang menuju ke jalan Allah itu harus senantiasa butuh kepada Allah. Selain itu seseorang juga harus menyandarkan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dzat yang menciptakannya.
- Mengoreksi kesalahan pada diri sendiri adalah salah satu cara agar bisa mendapatkan hal. Akan tetapi manusia lupa atau memang sengaja untuk tidak mengkoreksi dirinya, melainkan lebih asyik untuk mengoreksi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Perbuatan seperti itu sesungguhnya dilarang oleh Allah. Sebagai firman-Nya yang tersebut dalam Al-Qur’an di Surat Al-Hujurot ayat 12 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan jangan lah kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging Saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang”.27
Maka dari itu sebagai muslim harus menghindari menggunjing orang lain. Karena itu akan menyebabkan noda dalam hati kita. Sebagai seorang muslim seharusnya pandai-pandai dalam menggoreksi dan membersihkan aib atau kesalahan-kesalahan yang terjadi pada diri sendiri dan berusaha dengan segala upaya melawan hawa nafsu. Pada dasarnya kesalahan-kesalahan itu terjadi karena manusia selalu menuruti hawa nafsu.
Perlu diketahui juga bahwa bergolaknya nafsu itu bersumber dari tiga hal, yaitu:
  • Sering melanggar larangan Allah dan tidak menjalankan perintah Allah.
  • Sering beramal atau berbuat baik dan niatnya bukan karena Allah melainkan hanya ingin mendapatkan pujian atau sanjungan dari makhluk ciptaan Allah.
  • Suka membuang-buang waktu dengan percuma. Karena Allah membenci orang-orang yang menyia-nyiakan waktu.

IV. KESIMPULAN
Untuk mendapatkan atau memperoleh hal perlu dilakukan suatu usaha, tidak hanya berdiam diri saja. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memperoleh hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam upaya, diantaranya dzikir (amalan yang kita lakukan setiap hari dan datangnya dari diri kita, baik dari pemikiran dan pengelihatan batin kita terhadap amalan-amalan itu), meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT, sholat (suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah yang pengejaannya dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam serta dengan tidak lupa memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara yang telah ditentukan), dengan mengingat Allah orang bisa merasakan kelezatan atau ketenangan hidupnya, dan Mengoreksi kesalahan pada diri sendiri, dsb. Beberapa contoh di atas merupakan implementasi dari akhwal di dalam kebudayaan Tasawuf yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.


























Daftar Pustaka

Hikam, Matnul, dkk. Hakekat Ma’rifat. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Ismail, Asep Usmar. 2005. Tasawuf. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta.
Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set.
1 . Asep Usmar Ismail, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta), 2005, hlm. 111
2 . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set), 2002, hlm. 26-2
3 . Asep Usmar Ismail, Ibid., hlm. 124.
4 . Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 27-28.
5 .Ibid., hlm. 48.
6 .Ibid., hlm. 48.
7 Ibid., hlm. 49.
8 A. E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, (Cambridge: Cambridge University Press), 1939.
9 Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 50.
10 QS. Ali Imran:175.
11 QS. Al-Sajdah: 16
12 Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 51..
13 Ibid., hlm. 51.
14 Ibid., hlm.52.
15 Ibid., hlm. 52.
16 Ibid., hlm. 53.
17 . Ibid, hlm. 53.
18 . Ibid., hlm 54.
19 . Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 56.
20 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet. II, 1996), hlm. 146-147.
21 Matnul Hikam, dkk, Hakekat Ma’rifat, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya), hlm. 201.
22 Ibid., hlm. 274-275.
23 Ibid., hlm. 294-295.
24 Ibid., hlm. 409.
25 Ibid., hlm. 410.
26 Ibid., hlm. 154.
27 Ibid., hlm. 267.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More