Sabtu, 30 Agustus 2014

Membumikan Dakwah Kultural yang Telah Dicanangkan Oleh Muhammadiyah Sebagai Gerakan Praksis IMM




I.                   Pendahuluan
Didalam menjaga kerukunan umat agama dan umat beragama di Indonesia, hendaklah setiap umat agama wajib menghormati apa yang menjadi kepercayaan orang lain. Apalagi di Indonesia, yang memiliki beragam agama, aliran dan kebudayaan, dimana ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan.
Didalam mensyiarkan agama Islam di Indonesia, umat islam haruslah mempertimbangkan hal-hal tersebut agar tidak terjadi perang saudara atau hilangnya jati diri bangsa Indonesia yang terkenal akan keramahan dan keberanekaragaman budaya. Seperti yang telah dicontohakan para pendahulu umat Islam di Indonesia seperti walisongo, kyai pandan Aran, Kyai Shaleh Darat . Beliau-beliau telah mencontohkan bagaimana dalam menyebarkan agama Islam dengan proses perdamaian tanpa menimbulkan peperangan yang besar. Hal tersebut yang coba diadopsi oleh KH Ahmad Dahlan, karena mensiarkan agama melalui jalur perdamaian dengan memahami unsur lokal lebih berpotensi dan memiliki jangka panjang yang lebih bagus dari pada melalui jalur peperangan. Dan dalam jangka panjang sumbangsih yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu jauh lebih fundamental di banding gerakan politik. Sewaktu Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, gerakanya sesuai dengan konteks masyarakat (pada masa penjajahan Belanda) yaitu dengan memulai jalur pendidikan bukan politik, dan gerakan KH Ahmad Dahlan ini disebut dengan gerakan kultural.[1] Pada masa penjajahan Belanda rakyat indonesia sangat di batasi didalam pendidikan, supaya Belanda bisa menguras sumber daya yang ada di Indonesia tanpa adanya perlawanan yang berarti. Melalui jalur pendidikan yang baik dan benar akan menghantarkan suatu bangsa dapat menciptakan atau menguasai teknologi dan memunculkan sifat yang bijak.
Sifat sederhana yang menyeluruh dibutuhkan supaya suatu bangsa dapat menyisihkan sebagian devisanya untuk menambahkan modal di segala aspek. Dan upaya itu dapat didukung dengan hasrat untuk mengeksplorasi alam beserta kekuatanya akan menambah kemungkinan pembaharuan di dalam pemikiran suatu bangsa, terutama dibidang teknologi yang merupakan bagian terpenting dari suatu peradapan.[2] Suatu bangsa dapat dikatakan maju dalam peradapan berdasarkan teknologi yang dimiliki atau dikuasainya,dan teknologi masuk kedalam unsur budaya.
Sebagai negara yang pernah di jajah, bangsa Indonesia memiliki beberapa karakter yang mana, jika karakter itu terus dipelihara, maka akan menghancurkan kebudayaan bangsa ini  Koentjaraningrat membagi karakter bangsa Indonesia setelah kemerdekaan menjadi lima sikap. Yang pertama, memandang tidak penting mengenai kualitas. Kedua, adanya sifat tergesa-gesa dalam mencapai tujuan tanpa ingin menikmati suatu proses. Ketiga, kurangnya sikap tanggung jawab. Keempat, kurangnya sikap percaya terhadap kemampuanya. Dan kelima, bangsa ini memiliki karakter apatis dan lesu.[3]
Sebagai kader Muhammadiyah yang menyukai pembaharuan haruslah sadar dan mawas diri terhadap karakter-karakter yang disebutkan oleh koentjoroningrat. Apakah sebagai kader sudah menghilangkan karakter-karakter tersebut dari dirinya? Dengan hilangnya karakter-karakter tersebut, maka kader-kader IMM yang sekaaligus kader Muhammadiyah bisa melakukan penyadaran dan membumikan dakwah kultural kepada masyarakat di lingkungan dimana dia berada. Didalam makalah ini hanyalah sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bahan pembelajaran bagi kader-kader IMM yang sekaligus kader Muhammadiyah, yang sebenarnya para elit Muhamadiyah sudah menyaadari arti penting dakwah kultural bagi kelangsungan Organisasi Muhammadiyah dan para elit Muhammadiyah juga sudah menjalankan dakwah kultural.
II.                Pembahasan
Dakwah Kultural
AR Fakhruddin didalam mensiarkan ajaran Islam dengan menggunakan metode dakwah cultural Islam. Di dalam hal ini AR Fakhruddin memberikan penghargaan kepada kebudayaan local, namun tidak meninggalkan unsur Islam. Dan andai kata memungkinkan adat local atau daerah itu diberi muatan agama. Misalnya, membentuk tim khusus untuk menciptakan atau mengubah lirik dan syair lagu-lagu dangdut. AR Fakhruddin berpendapat, “ Jika umat lain mendirikan sekolah, panti sosial, rumah sakit, ayolah kita mendirikan hal yang serupa jangan hanya menggerutu.” Dari ungkapan itu dapat dipetik hikmahnya berupa, sebagai umat Islam yang ada di Indonesia janganlah berbicara saja untuk memajukan Islam, akan tetapi juga diperlukan tindakan yang nyata.[4] Jika ditarik benang merahnya, cara-cara penyebaran agama atau perekrutan agama lain (yang direkrut pemeluk agama Islam) selain melalui ranah ekonomi juga melalui ranah kebudayaan, misalnya melalui musik ataupun seni yang lainya, sebagai umat Islam atau kader Muhammadiyah harus waspada, jika mampu kader Muhammadiyah bisa menggunakan metode seperti itu, karena  pada masa sekarang generasi muda lebih cenderung mengapresiasi kebudayaan asing ataupun kebudayaan local yang pantas dijadika sebagai komoditi atau ajang berkreasi.
Menurut William A Haviland, 1985, menyatakan akulturasi budaya dapat menyebabkan hal-hal berikut, pertama subtitusi yaitu digantinya unsur yang lama oleh unsur yang baru dengan mengambil alih fungsinya. Kedua sinkritisme, yaitu perpaduan antara unsur yang lama dengan unsur yang baru untik menciptakan suatu hal yang baru. Ketiga, adisi adalah adanya tambahan unsur-unsur yang abru terhadap unsur yang lama. Keempat, originasi adalah munculnya unsur-unsur baru untuk mengikuti situasi yang selalu berubah. Kelima, rejeksi (penolakan) yaitu perubahan yang terjadi dengan cepat sehingga memunculkan penolakan secara keseluruhan, dan memunculkan gerakan kebangkitan.[5]
Wahyu dan kebudayaan memiliki persamaan, dimana persamaanya adalah keduanya merupakan bagian dari wujud pengetahuan. Yang mana pengetahuan itu dapat masuk ke dalam pola dan tata pikir yang memiliki fungsi panduan untuk memberikan respon dari setiap stimulus yang diterima dari lingkunganya. Umat islam memahami wahyu sebagai simbol dalam teks-teks atau bahasa Arab yang terdapat pada lembaran-lembaran Al Quran. Untuk kebudayan itu sendiri memiliki arti pemahaman terhadap simbol-simbol bahasa. Selain memiliki persamaan keduanya juga memiliki perbedaan yang mana itu sangan subtansial sekali, wahyu sebagai simbol merupakan rumusan dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril as kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan kebudayaan sebagai simbol merupakan rumusan manusia yang didapatnya dari warisan, pengalaman, pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungannya.[6] Dan hubungan antara wahyu sebagai symbol dengan kebudayaan sebagai symbol terletak pada penterjemahan wahyu untuk menjawab tantangan atau untuk mengatur kehidupan manusia dibidang sosial-ekonomi, politik dan budaya, serta untuk meluruskan kebudayaan yang dianggap menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Didalam langkah praksisnya untuk menerapkan dakwah cultural tidaklah mulus dan mudah, perlu memperhatiakan kondisi sosio-kultural di daerah yang menajdi target dakwah, memahami kondisi psikologis masyarakat setempat, menentukan langkah-langkah yang strategis, serta metode penyampaian yang tepat dan akurat sehingga dakwah cultural dapat menyentuh pada semua lapisan masyarakat di suatu wilayah sasaran dakwah. Dan untuk membersihkan suatu tradisi yang ada di masyarakat dari aspek-aspek yang menyeleweng dari ketentuan ajaran islam, para penyebar dakwah cultural haruslah menguasai dan memahami seluk beluk mengenai tradisi daerah target dakwahnya, dan penguasaan dan pemahaman tradisi merupakan modal yang paling utama supaya tidak terjadi sesuatu hal yang dapat merugikan diri sendiri , orang lain ataupun Instansi atau Organisasi yang dibawanya.[7]
Dalam dakwah kultural ada beberapa hal yang menjadi perhatian. Pertama, bentuk penyampaian harus sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan jangan sampai bertentangan atau mengurangi isinya. Kedua, dalam menyampaikan haruslah memahamkan warga atau komunitas Muhammadiyah. Ketiga, dalam penyampaian haruslah mencerminkan semangat Muhammadiyah untuk maju, terbuka, percaya diri dan berimbang.[8]
Menurut Cak Nur, ” ghayru mahdlah atau amal shalih adalah kegiatan berbudaya yang serasi dalam hubunganya dengan lingkungan hidup ini secara menyeluruh, juga dalam hubunganya antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, segi material dan spiritual. Pendekatan keduanya hanya dapat dilakukan dengan perpaduan antara iman dan ilmu. Dengan memadukan keduanya maka seseorang akan melakukan amal shalih, dan dengan begitu seseorang akan mencapai insan khamil atau manusia sempurna (akhlaqnya).”[9] Amal shalih merupakan refleksi iman, atau iman dapat diwujudkan dengan amal shalih, karena seseorang belum di sebut orang yang beriman jika belum melakukan amal shalih.
Seni Merupakan Langkah  yang Berpotensi  Untuk Dakwah Kultural
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt yang dibekali oleh akal pikiran sehingga memiliki keunggulan dibanding makhluk ciptaan Allah Swt yang lainya. Melalui akal manusia mampu menciptakan karya dan sarana untuk mencukupi kebutuhan, kemudahan dan kepuasan dalam kehidupan keseharian. Pencapaian-pencapaian tersebut yang kemudian disebut dengan budaya (kultur). Sehingga muncullah kata-kata dari seorang bijak “untuk mengetahui pribadi suatu bangsa, lihatlah budayanya dan kebudayaan adalah cermin pribadi bangsa.”[10]
Di dalam ensikloopedi Indonesia, Shadely (1984) mengemukakan, seni merupakan perwujudan dari rasa keindahan yang terdapat pada diri seseorang, dilahirkan dengan perantara alat-alat komunikasi kedalam bentuk dapat ditangkap oleh indera penglihatan melalui seni rupa, indera pendengaran melalui seni musik atau di munculkan oleh perantara gerak melalui seni draaama dan seni tari.[11]
Seni merupakam keindahan yang diciptakan oleh Allah, sehingga seorang muslim yang mencintai keindahan dan perasaan cinta tersebut muncul dikarenakan kehendak Allah, karena Allah itu maha indah dan mencintai keindahan. Menurut Gazalba (1976), pada masyarakat Islam, seni merupakam segala sesuatu yang dapat memunculkan keindahan dan semua yang diciptakan untuk memunculkan perasaan hati yang kuat, cinta, kasih sayang dan birahi.[12]
G. P. Murdock (1940) dan C. Kluckhohn mengambangkan gagasan yang dikemukakan Malinowski, menyatakan seni pada hakikatnya adalan budaya universal, karena itu seni merupakan salah satu fenomena budaya universal yang memuat kebutuhan pokok manusia. Koentjaraningrat (1959) membagi unsur-unsur tersebut menjadi tujuh bagian. pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia seperti sandang, papan, alat-alat rumah tangga, senjata , alat-alat produksi, transportasi dan telekomunikasi. Kedua adalah mata pencaharian, dengan budaya menusia dapat menciptakan mata pencaharian yang mana dapat mempengaruhi taraf hidupnya, mata pencarian tersebut bisa meliputi peternakan, pertanian, sistem produksi dan sistem distribusi. Ketiga, menusia dengan budayanya dapat menciptakan kemasyarakatan seperti sistem kekerabatan, politik, hukum dan pernikahan. Keempat dengan budaya manusia dapat menciptakan bahasa misalnya yang terdapat di dalam bahasa ada lisan dan tulis. Kelima ada kesenian, di dalam seni terdapat seni rupa, seni suara dan seni gerak. Keenam sistem pengetahuan melalui pendidikan ataupun pengalaman yang dialami diri sendiri atau orang lain. Ketujuh adalah religi, dimana dengan religi manusia dapat membuat ketenangan didalam dirinya.[13]
Seni menurut Chamah di bagi menjadi dua bagian, yaitu seni untuk seni dan seni yang bertendensi atau bermuatan pesan moral. Seni untuk seni adalah upaya untuk memiliki kebebasan berekpresi tanpa memperhitungkan nilai-nilai yang berada diluar seni itu sendiri, termasuk moral, etika dan agama. Sedangkan seni yang bertendensi atau yang bermuatan pesan moral adalah merupakan aliran seni yang dianut, dipahami, diikuti oleh banyak orang. Dan seni yang bertendensi terdapat pada KUHP pasal 282 dan 283 serta UU no. 4 PNPS tahun 1993 yang bunyinya: seni tidak bolah mengangu perasan kesopanan, kesusilaan, kepribadian, harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.[14]
Taufik ismail didalam memandang seni (sastra) yang tertuang dalam tulisanya yang dimuat oleh majalah Horizon, edisi Juni VI/1984 yang berjudul ”Sastra Sebagai Amal Shalih”, dengan tulisan tersebut Taufik ingin memunculkan paradigma didalam seni (sastra), yaitu bentuk kesenian apaun yang hendak dihasilkan haruslah diawali dengan niaat karena Tuhan Yang Maha Esa semata dan memanfaatkanya utntuk tujuan kemanusiaan dan makhluk laianya. Di dalam  bersastra diperlukan adanya ilmu mengenai keindahan, bahasa, dan struktur. Dengan kesenian seseorang dapat mengingat Tuhan Yang Maha Esa, hidup ini adalah sepotong sajadah yang terbentang dari ayunan sampai liang lahat. Dalam bertindak seseorang haruslah mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw. Berhati-hatilah dengan sifat ria, dengki dan dendam. Bersastra adalah proses beramal, sebagaimana amal shalih lainya yang memerlukan keikhlasan, kekusyukan dan kesabaran. Tujuan bersastra adalah mencari ridha Tuhan Yang Maha Esa, meskipun jalanya sulit penuh rintangan tetaplah terus berjalan apapun yang terjadi dan jangan mudah putus harapan, karena putus harapan merupakan tindakan yang dibenci Tuhan Yang Maha Esa, selalu bersyukur dan teguh didalam pendirian.[15]
Rasa seni didalam diri manusia merupakan anugerah Ilahi dan merupakan salah satu fitrah manusia yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa Islam. (Pedoman Hidup Warga Muhammadiyah, 2003). Dengan seni seseorang bisa mengetahui keindahan yang di ciptakan oleh Allah. Jika seni dikelola dengan baik dan sesuai dengan tuntutan Allah, maka seni akan melambutkan hati bani Adam untuk berserah diri kepada Allah.
Di dalam melaksanakan pendidikan seni terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan pada umumnya faktor-faktor ini sangant mempengaruhi keberhasilan di dalam dakwah kultural. Pertama yaitu alasan mendasar tentang penetapan pendidikan seni yang meliputi motivasi dan rasionalisasi serta urgensi. Kedua adalah penataan materi pendidikan seni yang mencakup jenis-jenis seni yang perlu diprioritaskan, kurikulum, pengaturan serta aktivitasnya. Keempat adalah teknik pembelajaran seni yang meliputi metode dan strategi pengetahuan kegiatan. Kelima adalah faktor pendukung dalam pendidikan seni seperti penentu kebijaksanaan, penyusun ketentuan sekolah, guru tenaga pendidik, dan fasilitas pendukungnya. Keenam adalah faktor profesionalitas yang selama ini menjadi penghambat dalam pendidikan seni dan rendahnya pengetahuan tenaga pendidik sehingga menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap seni.[16]
Kesiapan pendidikan seni di Muhammadiyah sangat bergantung pada, pertama penguasaan  tentang materi dasar mengenai seni itu sendiri. Kedua menyusun kurikulum dan menghubungkan antara perencanaan dengan pelaksanaan kegiatan intrakulikuler dengan ekstrakulikuler. Ketiga harus adanya guru-guru yang memiliki kemampuan dan kompetensi tentang mata pelajaran seni.[17]






Daftar Pustaka
Chaniago, Diki E dkk. 2010. Membumukan Gerakan Ilmu dalam Muhammadiyah, editor Jabarohim dkk. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Soenarto, Siti Chamamah dkk. 2009. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: SuatuWarisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Sucipto, Hery. 2005. Senarai tokoh Muhammadiyahpemikiran dan Kiprahnya. Jakarta: Grafindo.
Tebba, Suderma. 2004. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Jakarta: Paramadina.




[1] Suderma Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2004), h.52.
[2] Koentjaningrat, 2002 yang dikuti oleh Hamim Ilyas dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: SuatuWarisan Intelektual yang Terlupakan, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2009), h. 26.
[3] Diki E. Chaniago dengan artikel Muhammadiyah, Jadilah Motor Penggerak Pemberantas Budaya Korupsi di dalam buku Membumukan Gerakan Ilmu dalam Muhammadiyah, editor Jabarohim dkk, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 87.
[4]Hery Sucipto, Senarai tokoh Muhammadiyahpemikiran dan Kiprahnya, (Jakarta: Grafindo, 2005), h 165.
[5] Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 12.
[6] M. Radhi al Hafidz di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 38.
[7]Oleh Mu’arif dengan judul mencermati Dakwah Muhammadiyahdi dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 61-62.
[8] Mustow  dengan artikel yang berjudul Menciptakan Nuansa Budaya dalam Muktamar ke 46 di Yogyakarta di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 199-200.
[9] Suderma Tebba, Ibid, h. 7.
[10] M. Afandi, karyanya berjudul Seni Musik dalam Dakwah Kultural dalm buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 98.
[11] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni dan Pendidikan di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 130.
[12] Ibid, h. 131.
[13] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni dan Pendidikan di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid, h. 134.
[14] Ibid, h. 133-134.
[15] Ibid, h. 139.
[16] Siti Chamamah dengan judul artikel Seni dan Pendidikan di Muhammadiyah.
[17] Jabarohim dengan artikel yang berjudul Tanda-Tanda membaiknya Pendidikan Seni di Muhammadiyah di dalam buku Siti Chamamah Soenarto dkk, Ibid,  h. 132.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More