Senin, 15 September 2014

GURU KETJIL



GURU KETJIL
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, kumandang untuk mengerjakan shalat Isya dilagukan dengan merdunya di langgar dan masjid di sekitar rumahku. Aku mencoba memulai langkah kecil untuk menuju Masjid yang tidak jauh dari rumahku. Dalam tenangnya suasana malam dan bertebaran cahaya lampu yang mencoba mangalahkan terangnya cahaya bulan, aku melangkahkan kaki setapak demi setapk untuk menuju rumah Tuhan YME. Ku coba dalam setiap langkah ku iringi dengan menyebut nama-Nya. Senyum ini mulai mengembang ketika melihat Masjid sudah diisi oleh beberapa anak kecil, muda mudi serta orang tua.
Kumandang adzan Isya’ telah dikumandangkan, akw juga sudah berwudlu kini giliran untuk mengerjakan shalat rawatib dua rakaat sebelum Isya’. Setelah shalat rawatib telinga ini mendengar puji-pujian yang ditujukan kepada Rasulullah Muhamad saw serta ajakan untuk shalat berjamaah. Setelah dirasa cukup, Muadzin mengumandangkan iqamah tanda shalat Isya akan segera dimulai.
Dari sekian orang jamaah laki-laki, ada seorang pemuda dengan langkah mantap  menuju kedepan untuk menjadi Imam shalat Isya’ jamaah. Niat sudah dilafalkan, takbiratul ikhram telah diucapkan, kemudian suasana menjadi tenang yang terdengar hanyalah sayup-sayup suara kipas angin yang mencoba sekuat tenaga memutar rotor didalamnya untuk memutarkan baling-balingnya agar manusia dibawahnya tidak merasa gerah.. Ketenangan itu tidak bertahan lama, suara sang Imam memecah ketenangan. Dalam shalat tersebut aku berpikir dari sekian jamaah apakah ada yang menjalankan shalatnya dnegan khusyuk, ataukah mereka sedang memikirkan hal-hal lain, akan tetapi pikiran yang melints tersebut ku alihkan dengan mengikuti gerakan sang imam. Rukun demi rukun telah dikerjakan tinggallah sekarang salam untuk mengakhiri shalat Isya’ pada hari itu.
Hari itu Shalat isya’ telah aku gugurkan karena aku yakin tadi shalatku tidak khusyu meskipun shalat-shalat ku yang lainya juga tidak khusyu’. Setelah selesai mengerjakan salam sang Imam mencoba menuntun para ma’mumnya untuk mengingat Allah Swt dan terkadang diselingi oleh shalawat nabi. Shalat telah selesai, dzikir dan doa’ telah dikerjakan, aku berdiri dan berjalan menuju pintu keluar akan tetapi Allah belum mengijinkan diriku untuk meninggalkan rumah-Nya, Dia menurunkan titik-titik air dari langit untuk membasahi bumi yang telah kering, aku berdiri diserambi masjid dengan harapan hjan akan berhenti sejenak. Tidak jauh dari tempatku berdiri aku melihat sesosok pemuda, ku coba untuk mendekat dan berbincang-bincang agar aku bisa berbagi rasa bosanku denganya. Aku mencoba mengingat siapa gerangan anak muda ini, oh ternyata dia adalah sang Imam, orang yang telah menuntun kami untuk menghadap Allah Swt dalam shalat Isya’ tadi, meskipun aku belum bisa mendatangkan Allah Swt dalam shalatku tapi aku yakin Allah sedang memperhatikan diriku dalam shalat tadi meskipun pikiranku melayang-layang bagai layangan putus.
Kami mencoba saling mengenal dengan menjabat tangan seraya mengucapakan nama kami masing-masing, dan alangkah kagetnya diriku, ternyata dia sudah mengenalku meskipun dia belum tahu namaku karena kami satu almamater akan tetapi beda fakultas. Dia menceritakan tentang dirinya, mulai dari kota kelahiran hingga pekerjaan, begitu pula dengan diriku akan tetap aku belum menyebutkan apa pekerjaanku. Aku mulai tertarik dengan pekerjaanya, selain menjadi guru ngaji di masjid tersebut dia juga menjadi guru agama di kota kelahiranya, aku kagum dengan perjuanganya untuk mencerdaskan anak bangsa karena  jarak antara masjid tempat dia tinggal sementara dan mengajar dengan sekolah dimana dia mengajar harus melintasi beberapa kecamatan di Semarang kurang lebih satu setengah jam perjalanan untuk sampai ditempatnya mengajar. Setelah sekian lama kami ngobrol, kemudian dari mulutnya terucap kata, “ mending jadi buruh pabrik dari pada jadi guru honorer.” Baru aku tahu ternyata dia itu seorang guru honorer.
Aku mulai bingung kenapa dia berbicara seperti itu, didalam otakku muncul pertanyaan-pertanyaan bukankah guru itu suatu pekerjaan mulia, dapat mencerdaskan anak bangsa, bahkan jika di juamlahkan pahalanya hampir sama dengan para syahid mungkin bisa melebihi jika Allah menghendaki karena ‘Ulama adalah penerus para nabi, dan ada pepatah jawa mengatakan “guru iku digugu lan ditiru” karena menggambarkan betapa mulia, terhormatnya kedudukan seorang guru dimata masyarakat sehingga murid-muridnya atau masyarakat yang memperoleh manfaat dari ilmunya ingin mencontoh dirinya, tetapi kenapa dia mengatakan enak menjadi buruh dari pada seorang guru honorer. Aku mencoba menguasai diriku dengan tidak mengatakan pikiran-pikiran yang berjejal dalam otakku. Aku mencoba diam dan ingin mendengarkan penjelasan mengapa dia berkata seperti itu. Dia diam untuk sesaat, sambil menghela nafas, kemudia dia melanjutkan pembicaraanya. Jadi seorang guru honorer itu meskipun di hormati tetapi gajinya sedikit apalagi disekolah swasta atau negeri yang tidak favorit, paling hanya tujuh ratus lima puluh ribu sampai satu juta, bandingkan dengan gaji buruh pabrik yang hanya lulusan SMA satu bulan setidaknya dia sudah mengantongi satu juta liam ratus ribu, tanpa harus kuliah dulu empat tahun bahkan bisa lebih, masih ditambah satu tahun sertifikasi itupun kalau lulus kalau tidak ya mengulangi tahun depan.
Akan tetapi pikiran ini belum bisa menerima alasan tersebut, bukankah jam kerja guru lebih pendek, kerja guru lebih ringan tidak ahrus angkat-angkat ataupun mengerjakan pekerjaan fisik berat lainya, dan ada kemungkinan dia akan diangkat jadi guru tetap bahkan menjadi Pegawai Negeri Sipil suatu pekerjaan  yang sangat diidam-idamkan para pemuda-pemudi Indonesia saat sekarang ini. Akan tetapi aku masih mencoba bersabar dengan tidak menyela perkataanya.
Menjadi seorang guru memiliki tanggung jawab yang berat, selain harus mencerdaskan anak didiknya dia harus  mengontrol, mengarahkan, mengawasi perilaku anak didiknya agar berperilaku tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat dengan kata lain dia juga harus berperilaku baik, mencontohkan akhlak mulia melalui sikap dan perilakunya, berbudi pekerti luhurpula, agar dia tidak disalahkan oleh pihak sekolah maupun orang tua, jika muridnya melakukan tindakan menyimpang dari norma-norma dimasyarakat. Guru juga memiliki jam kerja panjang, selesai megajar dia harus membawa pekerjaanya ke rumah seperti mengkoreksi jawaban-jawaban muridnya, menyiapkan pelajaran untuk besok, menyiapkan soal untuk ulangan, menyiapkan nilai rapor. Seorang guru harus menambah wawasanya, kemampuan dan selalu meng up grade informasi serta pengetahuan yang disesuaikan dengan materi atau kebutuhan agar tidak tertinggal oleh jaman serta tidak malu didepan murid-muridnya. Serta, Kelak sayapun akan berkeluarga, jika hanya mengandalkan dari gaji guru apakah saya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga saya ,yang mana kecenderungan setip tahun kebutuhan hidup akan semakin meningkat.
Aku mulai merenung, memikirkan perkataan sang imam isya’. Aku berpikir memang ada benarnya perkataan sang Imam Isya’. Seorang guru pada dasarnya memiliki tujuan mulia yaitu mendidik anak didiknya agar menjadi orang yang cerdas, memiliki akhlak mulia dan kelak menjadi orang berguna bagi bangsa dan negaranya. Akan tetapi profesionalitas, pengapdian, kerja keras, pengorbanan jika tidak ditunjang dengan gaji yang mensejahterakan, sedikit demi sedikit akan mengurangi profesionalitas, pengabdian dan pengorbanan seworang guru. Semisal, guru akan mencari uang tambahan guna mencukupi kebutuhanya dengan cara membuka les privat keliling atau dirumahanya, yang dikawatirkan guru tidak akan konsentrasi dalam mendidik karena sudah lelah dengan jam tambahan disekolah maupun jam les privat miliknya dan lebih mementingkan les privat yang digelutinya karena uangnya lebih besar.
Renunganku semakin jauh kedalam, aku memikirkan nasib guru-guruku terdahulu, bagaimana nasib mereka sekarang, apakah sekarang perekonomian mereka lebih baik dari dahulu, atau sama saja, ataukah justru mereka dihadapkan dengan masa tua yang suram tanpa adanya pensiunan dan tunjangan hari tua untuk mereka. Jika posisi mereka pada poin ketiga memang benar adanya kata pepatah “Guru itu pahlawan tanpa tanda Jasa” terutama guru honorer, karena sewaktu mereka mengajar ataupun saat pensiun jadi guru entah karena factor usia ataupun penyakit, mereka tidak mendapatkan tanda jasa mereka berupa medali, gaji yang mensejahterakan ataupun tunjangan dari dinas terkait. Berarti kebandelan dan kenakalanku yang aku banggakan selama sekolah justru menambah beban pekerjaan bagi mereka, dan sekarang aku merasakanya sendiri. Terimaksih untuk para guruku yang telah mendidikku disekolah dan guru yang telah mengajarkan diriku tentang ilmu kehidupan. Aku tidak bisa membalas jasa-jasa kalian, hanya Allah Swt-lah yang dapat membalas kebaikan anda sekalian. Aku hanya bisa berdoa semoga kalian mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan, kedamaian hidup di dunia dan di akhirat dan semoga Allah swt kelak menempatkan kita semua disisinya yang Mulia yaitu syurganya yang mengalir dibawahnya sungai-sungai yang tidak pernah kering, serta kelak kita bisa berjumpa dengan Allah Swt seraya menatapnya dengan penuh kebahagiaan. Amin.
Lamunanku kemudian buyar dan aku tersadar oleh suara sang Imam isya’, hujanya sudah reda mas. Kemudian aku pamit untuk pulang.
Cerita ini ku persembahkan untuk sang imam Isya’, guru-guruku terdahulu dan sekarang serta utnuk para guru honorer yang masih setia dan ikhlas untuk mencerdaskan segi kognitif maupun afektif generasi penerus bangsa Indonesia, semoga harkat dan martabat serta kesejahteraan kalian terangkat di dunia dan akhirat. Semoga pemerintahan baru lebih peduli lagi terhadap kesejahteraan para guru entah guru tetap, PNS ataupun honorer dengan memberikan pelatihan yang tidak kejar tayang dan kenaikan gaji serta tunjangan. Bagaiman pendidikan karakter, pendidikan nasionalis, pendidikan kejujuran dan pendidikan berbasis sains akan tercapai jika kesejahteraan dan kwalitas para guru terabaikan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More