Rabu, 26 Februari 2014

MENGENAL TOKOH SUFI HASAN AL BASHRI



MENGENAL TOKOH SUFI HASAN AL BASHRI

I.                   Pendahuluan      
Ajaran tasawuf berkembang cukup pesat, dimulai dari meniru perilaku nabi sebelum menjadi nabi seperti mengasingkan diri kedalam gua Hira untuk menghindari kemewahan dunia dan keributan serta kerepotan hidup, hingga diangkat oleh Allah menjadi nabi dan rosul-Nya. Pada zaman nabi ajaran tasawuf masih tersirat dan masih bersifat umum karena nabi Muhammad saw dan para sahabat mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa tokoh sufi klasik yang sempat melihat dan menirukaan perilaku nabi dan para sahabat nabi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hasan al Bashri adalah salah satu tokoh itu. Hasan al Bashri adalah seorang dari golongan tabi’in yang memiliki kecerdasan dan kepandaian di dalam ilmu agama, dia adalah Hasan al Bashri. Hasan al Bashri adalah tokoh sufi yang mula-mula meletakkan ilmu dasar tasawuf yang kemudian dijadikan referensi oleh para sufi sesudahnya. Terutama di daerah masjid Bashrah.
Hasan al Bashri adalah tokoh sufi awal yang pemikiranya sangat berpengaruh terhadap sufi-sufi berikutnya. Itu terbukti dengan praktek Zuhudnya yang masih ditiru olh sufi-sufi sesudahnya. Hasan al Basri memiliki ajaran-ajaran tasawuf yang layak di kaji pada masa ini, akan tetapi apakah ajaran tasawuf Hasan al Bashri masih layak dan relavan jika di praktikkkan di zaman yang serba materi.







II.                Biografi Hasan al Bashri
Hasan al-Bashri adalah seorang zahid[1] yang amat mansyur dalam kalangan Tabi’in. beliau lahir pada tahun 21 H (641 M) di Madinah, dan beliau meninggal pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Hasan al Bashri dilahirkan tepat dua hari sebelum Khalifah Umar bin Khattab meninggal. Beliau sempat bertemu dengan 70 sahabat yang turut menyaksikan perang Badr dan 300 orang sahabat lainnya.[2]
Hasan al- Bashari memiliki nama lengkap Abu Sa’id al Hasan bin Yasar. Beliau lahir dari ibu yang bernama Khairah, seorang hamba Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad saw. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang budak yg ditangkap di Maisan, yg di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw yg sekaligus juru tulis wahyu. Karena itulah, Yasar biasa dipanggil Yasar Maula Zaid bin Tsabit.[3] Kelahiran Hasan al- Bashari membawa keberuntungan bagi kedua orangtuanya karena kedua orang tuanya terbebas dari status hamba sahaya menjadi merdeka.[4]
Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana. Sehingga dia memiliki ilmu agama yang kepandaianya diakui oleh para sahabat.[5]
III.             Kondisi Sosiokultur Hasan al Bashri
Hasan al Bashri sempat berada di massa peristiwa pemberontakan terhadap Khalifah Usman ibn Affan serta beberapa kejadian politis sesudahnya yang terjadi di Madinah yang memporak-porandakan umat Islam. Alasan itulah yang menyebabkan Hasan al Bashri bersama ayahnya pindah ke Bashrah, tempat inilah yang membuatnya masyur dengan nama Hasan al Bashri. Puncak keilmuanya dia peroleh di Bashrah. [6]
Hasan Al Bashri adalah orang yang pertama kali menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq dan usaha mensucikan jiwa di dalam masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang kerohanian, senantiasa didasarkan pada sunah-sunah nabi. Sahabat-sahabat nabi yang masi hidup pada zaman itu, mengakui kepandainya.[7] Dalam sebuah riwayat dikatakan, ketika Ali ibn Thalib masuk ke dalam Masjid Bashrah didapatinya di dalam masjid itu seorang pemuda yang sedang bercerita dihadapan umum. Ali mendekatinya dan berkata “Hai budak! Aku hendak bertanya kepadamu mengenai dua perkara, jika engkau dapat menjawabnya dengan benar, maka engkau boleh meneruskan berbicara di depan manusia”. Anak muda itu mendatangi Ali ibn Abi Thalib dengan tawadu’, dan berkata: “Tanyalah, ya amir al mu’minin, apa dua perkara itu?”. Ali ibn Abi Thalib bertanya: “Ceritakan kepadaku, apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa yang dapat merusak agama?”. Hasan al Bashri menjawab: “ yang dapat menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang dapat merusaknya adalah tama’ ”. Ali ibn Abi Thalib terlihat gembira dengan jawaban Hasan al Bashri dan berkata: “ Benar engkau dan teruskanlah bicaramu, orang semacam engkau layak berbicara dihadapan orang banyak”.[8]
IV.             Pemikiranya
Tasawuf menurut Hasan al Bashri adalah senatiasa bersedih hati, senatiasa takut, kalau dia tidak dapat melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan menghentikan larangan Allah dengan sepenuhnya pula. Sehingga Hasan Al Bashri menjadikan zuhud  terhadap dunia sebagai prinsip hidupnya. Hasan al Bashri menolak segala kemegahan dunia, dan semata-mata hanya menuju kepada Allah, tawakal, khauf [9]dan roja’ [10]. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan pengharapan. Takut akan murka Allah, akan tetapi mengharap akan Rahmat Allah. Sehingga Sya’rani pernah mengatakan: “ Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan Hasan al Bashri merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk dia”.[11]
Ajaran-ajaran tasawuf Hasan al Bashri yang lainya, sebagaimana dikutip oleh Hamka adalah sebagai berikut:
1.      “ Perasaan takutmu yang menjadiakn hatimu tentram lebih baik dari pada perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan takut”.
2.      “ Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia dengan perasaan benci dan zuhud, maka ia akan bahagia dan mendapatkan faedah darinya. Tetapi, barang siapa yang tenggelam delam kesenangan dunia, lalu hatinya rindu dan mencintainya dengan berlebihan. Dia akan sengsara dan menderita yang tidak dapat ditanggungnya”.
3.      “ Tafakur membawa manusia kepada kebaikan dan akan berusaha melaksanakanya. Menyesal atas perbuatan jahat yang telah dilakukan, akan membawa seseoarang untuk meninggalkan perbuatan jahat. Barang yang fana meskipun banyak tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, meskipun sedikit. Waspadalah terhadap dunia yang cepat datang dan cepat pergi, serta penuh tipuan”.
4.      “ Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk, yang telah beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya”.
5.      “ Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi hari dan sore hari, karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah dikerjakan, dan apakan yang akan ditimpakan Allah kepada dirinya atas dosa yang telah dia perbuat. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal (yang belum sampai kepadanya), dan tahu bahaya yang akan mengancamnya”.
6.      “ Sewajarnya orang sadar akan kematian yang setiap saat akan datang, dan kiamat menagih janjinya, serta Allah akan memperhitungkan segala amalnya”.
7.      “ Banyak duka cita dunia memperteguh semangat amal Shalih”.[12]
Dr. Muhammad Mustafa Helmi, guru besar Filsafat Islam dalam Fual I Univercity menyatakan, bahwasanya zuhud Hasan al Bashri kemungkinan didasarkan kepada rasa tekut akan siksa Allah dalam neraka. Tetapi Hamka berpendapat lain, bahwa rasa takut pada Hasan al Bashri bukan didasari rasa takut akan siksa neraka, melainkan dia takut akan kekurangan dan kelalaian diri sehingga zuhud hasan al Bashri adalah khauf dan roja’. [13]
Sebagai sabda nabi : “ orang yang beriman mengenang dosanya,seperti  orang yang duduk dibawah sebuah gunung yang basar, senantiasa merasa takut gunung itu akan menhmpa dirinya”.
Salah satu ajaran tasawuf Hasan al bashri dan senantiasa menjadi bahan renungan para sufi, ajaranya sebagai berikut:
“ Anak adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau dia selamat, selamatlah engkau
Kalau dia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikat yang bukan surge, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana, yang bukan neraka, mudah!”.
Surga yang dimaksud disini adalah perasaan yang mendapat ridha Allah. Dan neraka adalah puncak kegelisahan karena mendapat murka dari Allah.[14]

V.                Analisis
Ajaran tasawuf Hasan al Bashri khauf dan roja’, dimana Hasan al Bashri memberikan pesan kepada umat muslim janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan pengharapan.  Sifat khauf dan roja’ yang dilakukan Hasan al Bashri sangatlah ekstrim dan kurang relevan jika diterapkan dalam kehidupan sekarang. Diriwayatkan oleh Abu Na’im al Ashbahani sifat kauf dan roja’ yang dilakukan oleh Hasan al Bashri hingga menyebabkan perasaannya selalu diliputi dengan ketakutan dan kedukaan, senantiasa bersedih hati, tidak pernah tidur karena mengingat Allah.[15]
Ajaran pokok berikutnya adalah zuhud, dengan zuhud yang dilakukan Hasan al Bashri pada zamanya itu sudah sesuai karena dengan begitu dia tidak terikat oleh kedudukan (pangkat) dan harta. Hasan al Bashri membagi zuhud menjadi dua, zuhud yang pertama adalah zuhud terhadap barang yang haram ini merupakan zuhud tingkat dasar. Yang kedua adalah adalah zuhud terhadap barang halal, inilah zuhud yang lebih tinggi.[16] Zuhud yang pertama sangatlah relevan jika diterapkan di zaman sekarang kerena dapat menghindarkan umat Islam dari sifat tamak terhadap dunia beserta kemegahanya, sedangkan zuhud yang kedua sangatlah kurang relevan diterapkan di zaman sekarang ini yang serba materi.
VI.             Penutup
Hasan Al Bashri memiliki nama lengkap Abu Sa’id al Hasan Ibn Yasar. Dia dilahirkan pada 21 H (632 M) di kota Nadinah. Dia dilahirkan dari ibu yang bernama Khairah, seorang hamba Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad saw. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang budak yg ditangkap di Maisan, yg di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit.
Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana..
Ajaran yang dia hasilkan adalah zuhud, khauf dan roja’. Dimana ajaran itu yang sampai sekarang ini dijadikan suri tauladan oleh para sufi modern.

Daftar Pustaka
Asmaran. 1994. pengantar studi Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hamka. 1981. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian. Jakarta: Yayasan Nurul      Islam.
Rosihun, Anwar dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1]Zahid diambil dari kata zuhud artinya “tidak ingin” kepada kemegahan dunia, harta dan pangkat. Dikutip dalam bukunya Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981) , h. 69.
[2] Hamka. Ibid, h. 72.
[3] Asmaran, pengantar studi Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 259.
[4] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 65.
[5] Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 98.
[6] Umar Farukh, Tarikh Al- Fikr Al-Arabi Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Beirut, 1983, h. 216. Yang dikutip dalam bukunya  Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 98.
[7] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurnian, h. 71.
[8] Abu bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1984), h. 245-246. Yang di kutip oleh Asmaran dalam bukunya yang berjudul pengantar studi tasawuf halaman 259.
[9] Khauf (takut) kepada Allah, Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set, 2002), h. 50.
[10] raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Hasyim Muhammad, Ibid, h. 52.
[11] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurnian, h. 72.
[12] Hamka, Ibid, h. 72-73.
[13] Hamka, Ibid, h. 73.
[14] Hamka, Ibid, h 74.
[15] Hamka, Ibid, h. 72
[16] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, h. 68.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More