Selasa, 15 Maret 2011

Pengimplementasian ahwal dalam tradisi tasawuf


 I.      PENDAHULUAN
Tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan suku, bangsa, dan rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan rohaniyah. Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri agar bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan berbagai macam usaha pensucian diri, maka bertambahlah ketajaman mata batin dalam melihat kemakhlukan diri. Pengalaman religius tertinggi seperti ma’rifat Allah tidak hanya dimiliki oleh kalangan laki-laki, kaum perempuan pun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam mewujudkan penghambaanya pada ilahi, dengan melalui maqam-maqam  yang harus dijalani, juga akan sampai pada tingkat ma’rifat[1]. Dan didalam makalah ini penulis ingin membahas mengenai implementasi ahwal dalam tradisi tasawuf.

II.  PEMBASAN
Ahwal adalah jamak hal yang berarti keadaan atau kondisi jiwa. Secara terminilogi ahwal adalah keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal iu masuk kedalam hai seseorang sebagai anugrah yang di berikan oleh Allah. Hal  datang dan pergi dari diri seseorang tan usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia  datang dan pergi secara tiba-tiba dan idak disengaja. Maka sebagai mana dikatakan Al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya atau usaha sedangkan hal adalah karunia sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam kurun waktu yang cukup lama dan kadang datang dalam kurun waktu yang singkat. Hanya saja hal tidak bisa datang tanpa adanya kesadaran tetapi hal harus menjadi kepribadian seseorang.[2]    
Para sufi membedakan antara maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Maqam ditandai dengan kemapanan, sedangkan  hal justru mudah hilang. Maqam dapat ditempuh oleh seorang calon sufi dengan kehendak dan upayanya, sedangkan hal daat diperoleh oleh calon sufi dengan tidak sengaja. Orang yang meraih maqam dapat tetap dalam tingkatanya, sedangkan orang yanng meraih hal justru mudah lepas keadaanya.[3]        
Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari hal, banyak kalangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya hal tidak lebih untuk mencapai perwujudan untuk mencapai maqam. Dan untuk mencapai maqam manusia dituntut untuk bersungguh-sungguh dengan menjalankan amalan-amalan yang baik dengan penuh kepasrahan diri kepada Allah. Jika dikaji lebih mendalam sebenarnya maqamat dan ahwal  itu untuk menunjukkan atau mempertegas tentang kesaksian manusia mengenai tidak ada Tuhan selain Allah.
            Dalam kalimat syahadat terdapat dua pernyataan yang terdiri dari penolakan atau pengingkaran dan penegasan atau pengutan. Kalimat lailaha dikhawatirkan jika tidak adanya penolakan atas seluruh realitas selain Allah maka segala sesuau yang ada di muka bumi berpotensi menjadi Tuhan. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Segala sesuatu yang dituju berpotensi untuk disenangi, segala yang disenangi berpotensi untuk diabdi, dan segala sesuatu yang di abdi adalah Tuhan”. Sedangkan penegasannya adalah tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah.[4] Seperti halnya dalam masalah jumlah tingkatan (maqam), Para ulama’ taswuf dalam menentukan jumlah dan bentuk-bentuk hal berbeda-beda. Diantara macam-macam hal yang populer adalah:
            a. Muraqabah
            Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatu antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.[5]
            Muraqababah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantisa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap berada pada kualitas kesempurnaan penciptanya.[6]
            Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seseorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analisis terhadap perilakunya di masa lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik
            Hal penting yang harus ditunjukan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensi dapat diupayakan dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang  muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa menjadi yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi.
            Kedisiplinan inilah yang akan mengantar seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan menuju kebahagiaan yang hakiki. Sementara ketidakdisiplinan ditunjukan dengan sikap sembrono serta mudah terlena dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang nisbi dan fana, yang semua itu akan dapat mendorongnya menuju kejatuhan pada jurang kerendahan dan kehinaan.
            b. Mahabbah
            Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi, yang meruakan puncak pencapaian para sufi. Di mana keseluruhan jenjang yang dilalui bertemu dalam maqam mahabbah.
            Mahabbah (cinta) mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Orang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta.[7] Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seseorang yang dilanda cinta akan dipenuhi ingatan kepada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
            Ilustrasi tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu Al-Arabi, bahwa mahabbah adalah bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan, yakni kerinduanya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan kehendak manusia adalah kembali pada esensinya sebagai wujud mulak Kesmpurnaan manusia, menurut Ibnu Al-‘Arabi sangat ditentukan oleh kesadaran manusia akan eksistensi dirinya sebagai satu kesatuan dengan eksistensi Tuhan.[8] Lebih jauh lagi sebenarnya kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yana dituju dan diusahakan, dengan tanpa merasa berat dan sulit untuk mencapainya. Karena segala sesuatunya dilakukan dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Kesadaran cinta juga berimplikasi terhadap diri seorang pecinta dengan sikap penerimaanya terhadap segala apa yang ada dan terjadi dialam semesta. Sehingga segala sesuatu, baik yang bersifat positif yang berwujud kebaikan maupun negatif yang berbentuk kejahatan, kelebihan, dan kekurangan semua diterima dengan lapang dada. Seorang pecinta juga dapat melupakan segala sesuatu yang ada atau terjadi disekelilingnya karena kesadaran cintanya telah mendominasi dan memenuhi seluruh kesadaran psikologisnya.
            c. Khauf
            Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf (takut) terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat.[9] Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka takutlah kepadaku jika kamu orang-orang yang beriman”[10] Juga diungkapkan dalam ayat lain yang artinya: “Mereka menyeru kepada Tuhan dengan penuh rasa takut dan harap.[11]
            Banyak sekali ungkapan yang memberikan penjelasan tentang khauf (takut). Yakni antara lain ungkapan Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut adalah pelita hati, dan dengan takut baik buruknya hati seseorang akan tampak. Sementara Abu Umar Al-Dimasyqi menegaskan, bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih takut dari takutnya pada setan. Ibnu Jalla’ berpandagan, bahwa manusia yang takut (kepada Allah) adalah dirinya merasa aman dari hal-hal yang menbuanya takut.[12]
            Memang, perasaan takut ini sangat sulit untuk bisa dipahami oleh seseorang dengan kasat mata. Karena hal ini sangat terkait dengan pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi. Sehingga dikatakan oleh Ibnu ‘Iyadh bahwa hanya mereka yag termasuk golongan orang-orang yang takutlah yang dapat melihat orang yang takut. Ia mengibaratkan perasaan seorang ibu yang sedih karena kehilangan anaknya, yang hanya bisa dipahami kesedihanya oleh ibu yang kehilangan anaknya pula.
            Menurut Al-Wasithi, perasaan takut merupakan pengendali bagi diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu melakukan yang terbaik dengan tanpa adanya keraguan, ia merasa yakin bahwa usaha yang baik akan menghasilkan kebaikan pula. Ada pun puncak dari perasaan takut adalah sebuah kesadaran bahwa Allah menguasai wujud manusia yang paling dalam, yang pada akhirnya perasaan takut itu akan hilang dengan sendirinya, karena takut hanyalah akibat dari rasa inderawi yang bersifat manusiawi. Sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Husain Ibnu Manshur Al-Hallaj, bahwa seorang yang takut kepada selain Allah SWT atau berharap kepada selain Allah  maka perasaan takut itu akan mendominasinya dan menutupi dirinya sampai berlapis-lapis. Ada pun lapisan yang paling tipis adalah keraguan.[13]
            Dari banyak ungkapan yang dikemukakan oleh ahli tasawuf di atas, dapat dipahmi bahwa takut yang dimaksud disini adalah perasaan takut akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukkan. Sehingga perasaan ini secara otomatis akan memberikan dorongann untuk melakukan yang terbaik, sehingga pada masa mendatang ia akan menerima yang baik pula. Seseorang yang diikuti perasaan takut, hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan  untuk kebaikann dalam jangka panjang kedepan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau kepentingan sesaat. Dengan kata lain, seorang yang khauf (takut), adalah adalah mereka yang berpikirann luas dalam jangka panjang kedepan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
            d.Raja’
            Sebagaimana halnya dengan khauf  (takut), raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.[14]  Al-Qusyairi membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan (tamanni). Raja’  bersifat aktif ,sementara tamanni bersifat pasif. Seorang yang mengharapkan sesuatu tentu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya dengan berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkanya untuk mendapatkan apa yang diangan-angankanya.
            Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga, antara lain:
  1. Manusia yang melakukan amal kebaikan dengan harapan amal baiknya akan diterima disisi Allah
  2. Manusia yang melakukan amal buruk kemudian bertobat dengan mengharap akan mendapat ampunan dari Allah
  3. Orang yang menipu diri dengan terus menerus melakukan kesalahan dengan mengharap ampunan.
            Untuk itu dasarankan bagi orang yang menyadari atau kejahatan yang dilakukanya, untuk lebih didominasi perasaan takut (khauf) dan bukan harapan (raja). Rasa takut berfungsi sebagai peringatan atas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan dimasa yang akan datang. Dan jika perasan takut dilengkaipi dengan harapan, akan dapat menimbulkan keberanian yang dapat menghancurkan segala penyakit yang ada dalam diri seseorang.[15] Harapan (raja’) akan membawa seorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktivitasnya, serta menghilangkan semua keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian dia akan melakukan segala akivitas terbaiknya dengan  penuh keyakinan.
            e.Shauq
            Rindu (shauq) meerupakan luapan perasaan individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang di cintai.[16] Perasaan rindu yang meluap terhadap sesuatu biasanya membuat seseorang akan melupakan semuanya kecuali yang dirindukanya. Seperti halnya dengan para sufi yang merindukan akan kehadiran Allah di dalam hati mereka, dan segala sesuatu yang mereka pikirkan dan lakukan hanya karena Allah. Sebagai bukti adanya perasaan rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseoarang atau sufi dari hawa nafsu yang berlebihan dalam mencintai dunia.
            Perwujudan rindu (shauq) kepada Allah adalah dengan kita senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan mendatangkan Allah dalam hati kita melalui cara sholat, berdzikir salah satunya dengan cara membaca Asmaul husna karena dengan cara-cara itulah kita bisa menghadirkan Allah dalam hati seseorang. Sholat dapat mencegah orang melakukan perbuatan keji dan mungkar, jika kita sering mengerjakan kemungkaran maka rasa rindu (shauq) akan dicabut dari hati kita sebab Allah hanya akan hadir di dalam hati yang suci atau bersih dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan berdzikir secara terus menerus dalam keadaan apapun akan mengingatkan manusia kepada Allah sehingga manusia rindu akan kehadiran Allah di dalam hatinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan berhati-hati dalam tindakan dan tutur katanya agar tidak dibenci oleh Allah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah.
            f. Uns
Uns (perasaan cinta) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatannya dengan Tuhan. Atau dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan.[17]  Dalam keadaan ini seorang manusia diliputi perasaan yang diliputi oleh cinta, kelembutan, kasih sayang, senang, bahagia, gembira, suka cita yang menjadi satu di dalam hatinya sehingga sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
            Keadaan semacam ini dapat di alami seseorang dalam situasi tertentu, misalnya menikmati indahnya alam semesta, merdunya kicauan burung, atau saat kita bercermin betapa sangat indahnya diri kita yang di mana seseorang atau sufi benar-benar menikmati atau merasakan keindahan Allah melalui ciptaanya. Cara ini dapat kita peroleh dengan tadabur alam atau cammping spiritual.
            Uns menurut Dr. H. Asep Usmar Ismail. MA dalam bukunya yang berjudul TASAWUF berarti keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh pada satu titik setrum, Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap, kecuali Allah. Keadaan ini dapat diraih dengan cara berdiam diri di dalam masjid pada malam hari dan merenungi dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini.
            g. Tuma’minah
Tuma’minah dapat diartikan sebagai keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya.[18] Ibnu Qayyim membagi tuma’minah  kedalam tiga tingkatan yang pertama ketenangan hati dengan mengingat Allah. Tingkatan yang kedua adalah ketentraman kelak akan bertemu dengan Allah. Tingkatan yang ketiga adalah ketentraman bertemu dengan  Allah dalam setip dzikir dan sholatnya, ketentraman dalam menyaksikan Allah pada kelembutan kasihnya.
            Dan menurut Ibnu Qayim keadaan ini dapat diperoleh dengan cara melakukan kebenaran dan menghindari kebohongan, sesuai dengan sebuah hadis yang beliau tulis yang menyatakan bahwa Kebenaran adalah identik dengan ketentraman sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan”. Karena tidak dapat di pungkiri dengan kita menyampaikan kebenaran, hati kita akan merasa tentram, nyaman dan teguh dalam pendirian mengenai iman seseorang kepada Allah, sedangkan kalau kita berbohong akan menyababkan hati yang gelisah, keraguan kekacauan dalam pikiran dan biasanya kebohongan jika sudah dilakukan akan menimbulkan kebohongan yang lainya selain kebohongan dapat menyebabkan perasaan gelisah juga akan menimbulkan noda dalam hati yang dapat menyebabakan hati menjadi keras sehingga hidayah Allah tidak bisa masuk kedalam hati seseorang dan dapat menimbulkan pengakit secara fisik juga.
            h. Musyahadah
pengertian dari Musyahadah adalah kehadiran Allah tanpa di bayangkan. Orang yang ada pada puncak musyahadah kalbunyta senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehingga malam pun laksana siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran orang yang diselimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.[19]
            Di dalam kehidupan sehari-hari secara psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah dapat dijumpai dalam situasi dan kondisi apapun yang ditemui dan dialami, akan senantiasa dianggap sama saja, karena sesuatu berasal dari Allah.
i. Yaqin
Pengertian yaqin menurut Al Junaidi adalah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling. Selain itu dijelaskan bahwa yaqin itu merupakan ilmu yang mapan, tidak terombang ambing, tidak berputar-putar, dan tidak berubah-ubah dihati. Yaqin bisa disamakan dengan iman tetapi iman belum tentu yaqin karena iman kadang-kadang dihinggapi kelalaian (terhadap hukum agama), sedangkan yaqin tidak dapat dimasukinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesuatu yang sangat aku takuti bagi umatku adalah lemahnya keyakinan, dan lemahnya keyakinan itu adaah orang yang lalai terhadap ajaran agamanya, orang yang bergaul dengan orang jahat, dan orang yang bersifat kasar dan berkepala batu.”[20] Permulaan yaqin adalah mukasyafah dan apabila Allah SWT telah menyingkapkan tabir dari hati seseorang, maka bertambahlah keyakinannya. Dari musasyafah selanjutnya meningkatkan menjadi mu’ayanah dan akhirnya musyahadah.
Di dalam kehidupan sehari-hari dilihat dari segi agama, kadang kita percaya dan yakin akan adanya Allah SWT tetapi terkadang kita melalaikan akan ajaran perintah-Nya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kalau kita cermati tentang masalah ini, terhadap orang yang melalaikan perintah-Nya bukan berarti orang tersebut tidak percaya akan adanya Allah. Kepercayaan dan keyakinan itulah yang disebut dengan Yaqin.
Ma’rifat. Menurut bahasa, kata ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal. Secara umum, ma’rifat dapat diartikan sebagai cara untuk mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah SWT.
            Beberapa implementasi dari Ahwal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
            - Dzikir merupakan cerminan keadaan hati. Yang dimaksud dengan dzikir adalah amalan-amalan yang nampak (dhohir). Amalan yang kita lakukan setiap hari dan datangnya dari diri kita, baik dari pemikiran dan pengelihatan batin kita terhadap amalan-amalan itu. Karena, apabila semua amalan yang kita lakukan berasal dari kesadaran diri dan diri kita sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Maka, amalan tersebut akan selalu mencerminkan keadaan hati pelakunya. Jadi, jika keadaan hatinya sedang baik maka amalan yang dikerjakan pun secara tidak langsung mempunyai niat dan tujuan yang balik pula. Sebaliknya, jika keadaan hatinya sedang jelek maka amalan yang dikerjakan pun secara tidak langsung juga akan mempunyai niat dan tujuan yang jelek pula.[21]
Jika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, apabila hati kita sedang tidak senang atau bad mood maka secara tidak langsung kita akan membuat orang-orang disekitar kita merasa tidak enak hati ketika berbicara maupun menyapa kita. Berbeda dengan kalau kita sedang senang maka secara tidak langsung kita akan membuat orang-orang disekitar kita minimal tersenyum dengan kita. Selain itu juga, mereka akan dengan senang hati mengajak kita berbicara dan menyapa kita.
            - Tidak kurang dari 17 kali kita membaca Surat Al-Fatihah, yang salah satunya mempunyai arti: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Dengan demikian amatlah tidak sesuai dan sama sekali dan tidak cocok dengan apa yang kita ucapkan, apabila dalam menghadapi suatu keperluan kita meminta pertolongan kepada selain Allah SWT. Allah Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, tidak akan pernah kekurangan dan marah kepada hamba-Nya yang suka dan sering kali meminta kepada-Nya, tapi justru Dia akan mencurahkan segala kasih dan sayang-Nya kepada hamba yang suka meminta tersebut.[22]
            Tanpa kita sadari setiap hari kita tergantung kepada Allah SWT dari pada kepada kedua orang tua kita ataupun orang-orang disekitar kita. Misalnya, saat kita makan maupun tidur pun kita tergantung kepada-Nya. Saat tidur, kita memohon kepada Allah semoga dilindungi selalu. Itu pun tanpa kita sadari kita melakukannya. Tetapi Allah tidak pernah bosan dan marah ketika mendengarkan permintaan hambanya tiap detik dan tiap waktu. Walaupun terkadang muluk-muluk dan berlebihan.
             - Kita melakukan sholat setiap hari 5 kali. Tapi terkadang kita sendiri tidak mengetahui arti sholat itu. Sholat adalah suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah yang pengejaannya dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam serta dengan tidak lupa memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara yang telah ditentukan.
            Disaat kita mengerjakan sholat, ada beberapa manfaat yang kita dapatkan, diantaranya:
  1. Dari hatinya akan terpancar cahaya ilahi yang menerangi jalannya.
Setiap tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan akan mencerminkan sikap amar ma’ruf dan nahi munkar.
  1. Sholat dapat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang sudah mengerjakan sholat tetapi masih banyak yang suka mengerjakan larangan Allah SWT. Hal ini terjadi disebabkan oleh sholat kita yang kurang khusuk dan kurang penjiwaan terhadap pengertian sholat itu sendiri.
  1. Sholat yang baik akan dapat memperbaiki semua amal perbuatan seseorang.
Contohnya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sering melaksanakan sholat pembawaannya akan lebih tenang dibandingkan orang yang tidak pernah melaksanakan sholat. Sholat dapat membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam jiwa.
  1. Sholat dapat membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam jiwa.
Seperti yang disabdakan Rasulullah: “Sesungguhnya perumpamaan sholat itu seperti air tawar yang mengalir dimuka pintu salah seorang dari kalian. Yang mandi di sungai itu sehari lima kali. Maka apakah yang akan kalian lihat setelah itu? Apakah masih tertinggal dari kotorannya?”.[23]
            - Dengan mengingat Allah orang bisa merasakan kelezatan hidupnya. Kelezatan dan kenikmatan adalah sesuatu yang sering dicari manusia. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Padahal demikian itu sangat mudah didapat karena hanya dengan mengingat Allah, orang bisa mendapatkan kenikmatan kehidupan di dunia dan di akhirnya.[24]
            Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Dailami yang bersumber dari Ibnu Abbas mengenai syarat-syarat untuk mendapatkan rahmat, seperti berikut ini:
  1. Menjaga tutur kata (Hafidlo Lisaanuhu)
Yaitu dapat mengendalikan diri dari perkataan-perkataan yang tidak perlu diungkapkan. Misalnya: yang mengandung rahasia yang dapat menyinggung perasaan orang lain, yang dapat menimbulkan atau menyebabkan fitnah, yang dapat menimbulakn keresahan masyarakat, dsb. Seperti istilah “Mulutmu, Harimaumu”.

  1. Memahami zaman (‘Arofa Zamanuhu)
Seseorang harus bisa memilah-milah kebiasaan-kebiasaan dengan teliti dan cermat dimanapun tempat dia tinggal agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang merugikan dirinya maupun orang lain. Jika bertentangan dengan nilai-nilai atau ajaran agama Islam maka harus ditolak dan dijuhi. Sedangkan jika sesuai dengan ajaran Agama Islam maka harus dianut dan dilakukan.
  1. Istiqomah dalam hidup (Wastaqomat Tariqotuhu)
Pendirian yang tegas dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan serta tidak mudah dirayu. Sehingga dalam keadaan bagaimanapun akan selalu berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaannya. Misalnya: Seseorang yang dibujuk rayu untuk menyembah selain Allah tetapi dia tetap berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaannya hanya kepada Allah.[25]
            Seseorang yang menuju jalan Allah hendaknya jangan tertipu keindahan dunia karena keindahan dunia hanya semu belaka. Tetapi anehnya, banyak orang yang terperdaya olehnya. Hal seperti itu jangan sampai dialami oleh orang yang menuju kejalan Allah. Mereka seharusnya lebih mempertebal iman mereka.[26] Karena jika seseorang terperdaya oleh keindahan dunia, maka secara tidak disadari akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Seharusnya seseorang yang menuju ke jalan Allah itu harus senantiasa butuh kepada Allah. Selain itu seseorang juga harus menyandarkan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dzat yang menciptakannya.
            - Mengoreksi kesalahan pada diri sendiri adalah salah satu cara agar bisa mendapatkan hal. Akan tetapi manusia lupa atau memang sengaja untuk tidak mengkoreksi dirinya, melainkan lebih asyik untuk mengoreksi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Perbuatan seperti itu sesungguhnya dilarang oleh Allah. Sebagai firman-Nya yang tersebut dalam Al-Qur’an di Surat Al-Hujurot ayat 12 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan jangan lah kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging Saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang”.[27]
            Maka dari itu sebagai muslim harus menghindari menggunjing orang lain. Karena itu akan menyebabkan noda dalam hati kita. Sebagai seorang muslim seharusnya pandai-pandai dalam menggoreksi dan membersihkan aib atau kesalahan-kesalahan yang terjadi pada diri sendiri dan berusaha dengan segala upaya melawan hawa nafsu. Pada dasarnya kesalahan-kesalahan itu terjadi karena manusia selalu menuruti hawa nafsu.
            Perlu diketahui juga bahwa bergolaknya nafsu itu bersumber dari tiga hal, yaitu:
-        Sering melanggar larangan Allah dan tidak menjalankan perintah Allah.
-        Sering beramal atau berbuat baik dan niatnya bukan karena Allah melainkan hanya ingin mendapatkan pujian atau sanjungan dari makhluk ciptaan Allah.
-        Suka membuang-buang waktu dengan percuma. Karena Allah membenci orang-orang yang menyia-nyiakan waktu.

IV. KESIMPULAN
            Untuk mendapatkan atau memperoleh hal perlu dilakukan suatu usaha, tidak hanya berdiam diri saja. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memperoleh hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam upaya, diantaranya dzikir (amalan yang kita lakukan setiap hari dan datangnya dari diri kita, baik dari pemikiran dan pengelihatan batin kita terhadap amalan-amalan itu), meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT, sholat (suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah yang pengejaannya dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam serta dengan tidak lupa memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara yang telah ditentukan), dengan mengingat Allah orang bisa merasakan kelezatan atau ketenangan hidupnya, dan Mengoreksi kesalahan pada diri sendiri, dsb. Beberapa contoh di atas merupakan implementasi dari akhwal di dalam kebudayaan Tasawuf yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Hikam, Matnul, dkk. Hakekat Ma’rifat. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Ismail, Asep Usmar. 2005. Tasawuf. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta.
Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set.


[1] . Asep Usmar Ismail, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta), 2005, hlm. 111
[2] . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set), 2002, hlm. 26-2
[3] . Asep Usmar Ismail, Ibid., hlm. 124.
[4] . Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 27-28.
[5] .Ibid., hlm. 48.
[6] .Ibid., hlm. 48.
[7]  Ibid., hlm. 49.
[8]  A. E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, (Cambridge: Cambridge University Press), 1939.
[9]  Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 50.
[10] QS. Ali Imran:175.
[11]  QS. Al-Sajdah: 16
[12] Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 51..
[13] Ibid., hlm. 51.
               
[14] Ibid., hlm.52.
[15] Ibid., hlm. 52.
[16] Ibid., hlm. 53.
[17] . Ibid, hlm. 53.
[18] . Ibid., hlm 54.
[19] . Hasyim Muhammad, Ibid., hlm. 56.
[20]  Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet. II, 1996), hlm. 146-147.
[21] Matnul Hikam, dkk, Hakekat Ma’rifat, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya), hlm. 201.
[22] Ibid., hlm. 274-275.
[23] Ibid., hlm. 294-295.
[24] Ibid., hlm. 409.
[25] Ibid., hlm. 410.
[26] Ibid., hlm. 154.
[27] Ibid., hlm. 267.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More