Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Rabu, 26 Februari 2014

MENGENAL TOKOH SUFI HASAN AL BASHRI



MENGENAL TOKOH SUFI HASAN AL BASHRI

I.                   Pendahuluan      
Ajaran tasawuf berkembang cukup pesat, dimulai dari meniru perilaku nabi sebelum menjadi nabi seperti mengasingkan diri kedalam gua Hira untuk menghindari kemewahan dunia dan keributan serta kerepotan hidup, hingga diangkat oleh Allah menjadi nabi dan rosul-Nya. Pada zaman nabi ajaran tasawuf masih tersirat dan masih bersifat umum karena nabi Muhammad saw dan para sahabat mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa tokoh sufi klasik yang sempat melihat dan menirukaan perilaku nabi dan para sahabat nabi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hasan al Bashri adalah salah satu tokoh itu. Hasan al Bashri adalah seorang dari golongan tabi’in yang memiliki kecerdasan dan kepandaian di dalam ilmu agama, dia adalah Hasan al Bashri. Hasan al Bashri adalah tokoh sufi yang mula-mula meletakkan ilmu dasar tasawuf yang kemudian dijadikan referensi oleh para sufi sesudahnya. Terutama di daerah masjid Bashrah.
Hasan al Bashri adalah tokoh sufi awal yang pemikiranya sangat berpengaruh terhadap sufi-sufi berikutnya. Itu terbukti dengan praktek Zuhudnya yang masih ditiru olh sufi-sufi sesudahnya. Hasan al Basri memiliki ajaran-ajaran tasawuf yang layak di kaji pada masa ini, akan tetapi apakah ajaran tasawuf Hasan al Bashri masih layak dan relavan jika di praktikkkan di zaman yang serba materi.







II.                Biografi Hasan al Bashri
Hasan al-Bashri adalah seorang zahid[1] yang amat mansyur dalam kalangan Tabi’in. beliau lahir pada tahun 21 H (641 M) di Madinah, dan beliau meninggal pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Hasan al Bashri dilahirkan tepat dua hari sebelum Khalifah Umar bin Khattab meninggal. Beliau sempat bertemu dengan 70 sahabat yang turut menyaksikan perang Badr dan 300 orang sahabat lainnya.[2]
Hasan al- Bashari memiliki nama lengkap Abu Sa’id al Hasan bin Yasar. Beliau lahir dari ibu yang bernama Khairah, seorang hamba Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad saw. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang budak yg ditangkap di Maisan, yg di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw yg sekaligus juru tulis wahyu. Karena itulah, Yasar biasa dipanggil Yasar Maula Zaid bin Tsabit.[3] Kelahiran Hasan al- Bashari membawa keberuntungan bagi kedua orangtuanya karena kedua orang tuanya terbebas dari status hamba sahaya menjadi merdeka.[4]
Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana. Sehingga dia memiliki ilmu agama yang kepandaianya diakui oleh para sahabat.[5]
III.             Kondisi Sosiokultur Hasan al Bashri
Hasan al Bashri sempat berada di massa peristiwa pemberontakan terhadap Khalifah Usman ibn Affan serta beberapa kejadian politis sesudahnya yang terjadi di Madinah yang memporak-porandakan umat Islam. Alasan itulah yang menyebabkan Hasan al Bashri bersama ayahnya pindah ke Bashrah, tempat inilah yang membuatnya masyur dengan nama Hasan al Bashri. Puncak keilmuanya dia peroleh di Bashrah. [6]
Hasan Al Bashri adalah orang yang pertama kali menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq dan usaha mensucikan jiwa di dalam masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang kerohanian, senantiasa didasarkan pada sunah-sunah nabi. Sahabat-sahabat nabi yang masi hidup pada zaman itu, mengakui kepandainya.[7] Dalam sebuah riwayat dikatakan, ketika Ali ibn Thalib masuk ke dalam Masjid Bashrah didapatinya di dalam masjid itu seorang pemuda yang sedang bercerita dihadapan umum. Ali mendekatinya dan berkata “Hai budak! Aku hendak bertanya kepadamu mengenai dua perkara, jika engkau dapat menjawabnya dengan benar, maka engkau boleh meneruskan berbicara di depan manusia”. Anak muda itu mendatangi Ali ibn Abi Thalib dengan tawadu’, dan berkata: “Tanyalah, ya amir al mu’minin, apa dua perkara itu?”. Ali ibn Abi Thalib bertanya: “Ceritakan kepadaku, apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa yang dapat merusak agama?”. Hasan al Bashri menjawab: “ yang dapat menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang dapat merusaknya adalah tama’ ”. Ali ibn Abi Thalib terlihat gembira dengan jawaban Hasan al Bashri dan berkata: “ Benar engkau dan teruskanlah bicaramu, orang semacam engkau layak berbicara dihadapan orang banyak”.[8]
IV.             Pemikiranya
Tasawuf menurut Hasan al Bashri adalah senatiasa bersedih hati, senatiasa takut, kalau dia tidak dapat melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan menghentikan larangan Allah dengan sepenuhnya pula. Sehingga Hasan Al Bashri menjadikan zuhud  terhadap dunia sebagai prinsip hidupnya. Hasan al Bashri menolak segala kemegahan dunia, dan semata-mata hanya menuju kepada Allah, tawakal, khauf [9]dan roja’ [10]. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan pengharapan. Takut akan murka Allah, akan tetapi mengharap akan Rahmat Allah. Sehingga Sya’rani pernah mengatakan: “ Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan Hasan al Bashri merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk dia”.[11]
Ajaran-ajaran tasawuf Hasan al Bashri yang lainya, sebagaimana dikutip oleh Hamka adalah sebagai berikut:
1.      “ Perasaan takutmu yang menjadiakn hatimu tentram lebih baik dari pada perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan takut”.
2.      “ Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia dengan perasaan benci dan zuhud, maka ia akan bahagia dan mendapatkan faedah darinya. Tetapi, barang siapa yang tenggelam delam kesenangan dunia, lalu hatinya rindu dan mencintainya dengan berlebihan. Dia akan sengsara dan menderita yang tidak dapat ditanggungnya”.
3.      “ Tafakur membawa manusia kepada kebaikan dan akan berusaha melaksanakanya. Menyesal atas perbuatan jahat yang telah dilakukan, akan membawa seseoarang untuk meninggalkan perbuatan jahat. Barang yang fana meskipun banyak tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, meskipun sedikit. Waspadalah terhadap dunia yang cepat datang dan cepat pergi, serta penuh tipuan”.
4.      “ Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk, yang telah beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya”.
5.      “ Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi hari dan sore hari, karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah dikerjakan, dan apakan yang akan ditimpakan Allah kepada dirinya atas dosa yang telah dia perbuat. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal (yang belum sampai kepadanya), dan tahu bahaya yang akan mengancamnya”.
6.      “ Sewajarnya orang sadar akan kematian yang setiap saat akan datang, dan kiamat menagih janjinya, serta Allah akan memperhitungkan segala amalnya”.
7.      “ Banyak duka cita dunia memperteguh semangat amal Shalih”.[12]
Dr. Muhammad Mustafa Helmi, guru besar Filsafat Islam dalam Fual I Univercity menyatakan, bahwasanya zuhud Hasan al Bashri kemungkinan didasarkan kepada rasa tekut akan siksa Allah dalam neraka. Tetapi Hamka berpendapat lain, bahwa rasa takut pada Hasan al Bashri bukan didasari rasa takut akan siksa neraka, melainkan dia takut akan kekurangan dan kelalaian diri sehingga zuhud hasan al Bashri adalah khauf dan roja’. [13]
Sebagai sabda nabi : “ orang yang beriman mengenang dosanya,seperti  orang yang duduk dibawah sebuah gunung yang basar, senantiasa merasa takut gunung itu akan menhmpa dirinya”.
Salah satu ajaran tasawuf Hasan al bashri dan senantiasa menjadi bahan renungan para sufi, ajaranya sebagai berikut:
“ Anak adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau dia selamat, selamatlah engkau
Kalau dia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikat yang bukan surge, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana, yang bukan neraka, mudah!”.
Surga yang dimaksud disini adalah perasaan yang mendapat ridha Allah. Dan neraka adalah puncak kegelisahan karena mendapat murka dari Allah.[14]

V.                Analisis
Ajaran tasawuf Hasan al Bashri khauf dan roja’, dimana Hasan al Bashri memberikan pesan kepada umat muslim janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan pengharapan.  Sifat khauf dan roja’ yang dilakukan Hasan al Bashri sangatlah ekstrim dan kurang relevan jika diterapkan dalam kehidupan sekarang. Diriwayatkan oleh Abu Na’im al Ashbahani sifat kauf dan roja’ yang dilakukan oleh Hasan al Bashri hingga menyebabkan perasaannya selalu diliputi dengan ketakutan dan kedukaan, senantiasa bersedih hati, tidak pernah tidur karena mengingat Allah.[15]
Ajaran pokok berikutnya adalah zuhud, dengan zuhud yang dilakukan Hasan al Bashri pada zamanya itu sudah sesuai karena dengan begitu dia tidak terikat oleh kedudukan (pangkat) dan harta. Hasan al Bashri membagi zuhud menjadi dua, zuhud yang pertama adalah zuhud terhadap barang yang haram ini merupakan zuhud tingkat dasar. Yang kedua adalah adalah zuhud terhadap barang halal, inilah zuhud yang lebih tinggi.[16] Zuhud yang pertama sangatlah relevan jika diterapkan di zaman sekarang kerena dapat menghindarkan umat Islam dari sifat tamak terhadap dunia beserta kemegahanya, sedangkan zuhud yang kedua sangatlah kurang relevan diterapkan di zaman sekarang ini yang serba materi.
VI.             Penutup
Hasan Al Bashri memiliki nama lengkap Abu Sa’id al Hasan Ibn Yasar. Dia dilahirkan pada 21 H (632 M) di kota Nadinah. Dia dilahirkan dari ibu yang bernama Khairah, seorang hamba Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad saw. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang budak yg ditangkap di Maisan, yg di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit.
Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana..
Ajaran yang dia hasilkan adalah zuhud, khauf dan roja’. Dimana ajaran itu yang sampai sekarang ini dijadikan suri tauladan oleh para sufi modern.

Daftar Pustaka
Asmaran. 1994. pengantar studi Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hamka. 1981. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian. Jakarta: Yayasan Nurul      Islam.
Rosihun, Anwar dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1]Zahid diambil dari kata zuhud artinya “tidak ingin” kepada kemegahan dunia, harta dan pangkat. Dikutip dalam bukunya Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981) , h. 69.
[2] Hamka. Ibid, h. 72.
[3] Asmaran, pengantar studi Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 259.
[4] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 65.
[5] Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 98.
[6] Umar Farukh, Tarikh Al- Fikr Al-Arabi Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Beirut, 1983, h. 216. Yang dikutip dalam bukunya  Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 98.
[7] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurnian, h. 71.
[8] Abu bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1984), h. 245-246. Yang di kutip oleh Asmaran dalam bukunya yang berjudul pengantar studi tasawuf halaman 259.
[9] Khauf (takut) kepada Allah, Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Off set, 2002), h. 50.
[10] raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Hasyim Muhammad, Ibid, h. 52.
[11] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurnian, h. 72.
[12] Hamka, Ibid, h. 72-73.
[13] Hamka, Ibid, h. 73.
[14] Hamka, Ibid, h 74.
[15] Hamka, Ibid, h. 72
[16] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, h. 68.

Rabu, 12 Februari 2014

Tasawuf Kontemporer: Jalaluddin Rakhmat




Tasawuf Kontemporer: Jalaluddin Rakhmat
I. PENDAHULUAN

Tasawuf kontemporer memiliki beberapa pengertian. Taswuf kontemporer adalah memahami atau mengkaji pemikiran-pemikiran tasawuf pada abad ke-20 sampai sekarang dan penyasuainya pada zaman sekarang. Tasawuf kontemporer adalah pemahaman tasawuf dengan pola pikir baru yang berorientasi pada pemecahan permasalahan kemasyarakatan dan kehidupan modern (zaman sekarang).[1] Dari pengertian-pengertian itulah, tasawuf kontemporer mencoba melepaskan diri dari penggambaran atau pelabelan yang negatif.
Berbicara mengenai tasawuf kontemporer tidaklah lepas dari para tokoh-tokohnya seperti Fazlur Rahman, Imam Khomeini, Sayyid Husaein Nasr dan lain sebagainya yang berasal dari luar negeri. Ada pula tokoh-tokoh tasawuf kontemporer yang berasal dari Indonesia, diantaranya Profesor Hamka, Nur Cholis Majid, Jalaluddin Rakhmat dan para tokoh tasawuf lainya.
Didalam makalah ini akan dibahas mengenai Jalaluddin Rakhmat. Jalaluddin Rakhmat dulunya adalah orang yang sangat rasionalis dan memegang teguh fikih sehingga dia berpikir agama itu harus rasional dan segala bentuk ibadah harus sesuai dengan fikih. Didalam proses berfikirnya, dia merasakan kekeringan didalam rutinitas ibadah, seolah-olah ibadahnya hanya dilakukan sebatas formalitas saja tanpa menyentuh sisi spiritualitasnya.
Jalaluddin Rakhmat memiliki pemikiran yang kontroversi sekaligus cemerlang untuk pembaharuan di dalam Islam misalnya dia pernah menyajikan makalah tentang tabaruk dan tawasul[2] pada pertemuan Majelis Ulama Indonesia (MUI), kota Bandung. Mengesahkan adanya nikah mut’ah.[3] Mengkritisi fikih para imam terdahulu, karena menurutnya zaman itu selalu berubah jadi fikih harus berubah juga, padahal pada waktu orde baru pembaharuan pemikiran atau pengakuan demokrasi berfikir tidak ada. Pemikiran – pemikiran yang kontroversi tersebut, tidaklah lepas dari biografinya. Dan Jalaluddin Rakhmat memiliki pemikiran dan karya yang ditawarkan kepada umat Islam di Indonesia, terutama dibidang tasawuf, dimana hal tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini.

II.                      BIOGRAFI

Jalal adalah panggilan Jalaluddin Rakhmat, beliau lahir pada tanggal 29 Agustus 1949 di Rancaekek, Bandung. Beliau di lahirkan dikalangan keluarga Nahdhatul Ulama (NU). Ibunya adalah orang yang aktif dalam mengajarkan ajaran Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang pemuka agama sekaligus tokoh masyarakat. Karena terjadi pergolakan politik pada waktu itu, Sang ayah meninggalkan Jalaluddin Rakhmat yang masih berusia dua tahun untuk menyebarkan dan menegakkan syariat Islam.[4]
Dia dirawat oleh ibunya. Ibunya menyekolahkan Jalaluddin Rakhmat ke sekolah umum pada pagi hari, mengantarkan ke Madrasah sore hari, membimbingnya membaca kitab kuning pada malam hari. Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar.
Jalaluddin Rakhmat memulai memulai pendidikan formalnya dari Sekolah Dasar (SD) di kampungnya. Lalu Dia melanjutkan sekolah di SMP Muslimin III Bandung. Setelah lulus SMP,dia melanjutkan pendidikanya ke SMA II Bandung dan ia sempat bergabung dengan Persatuan Islam (persis). Kemudian dengan menggunakan ijazah SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (UNPAD) yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi, pada masa kuliah dia juga sempat bergabung dengan Muhammadiyah dan di didik di Darul Akram Muhamaddiyah.[5]
Awal mula Jalaluddin Rakhmat mengenal syia’ah, itu dimulai dari perkanalanya dengan Haidar Bagir dari ITB, dan K. H. Endang Saefuddin Anshory (almarhum) pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi tersebut dia memperoleh buku-buku mengenai para pemikir syi’ah. Sejak itula dia mendalami gagasan para pemikir iran seperti Ali Syari’ati, Murthadha Muthahari, dan Imam Khomeini.[6] Mengenai Imam Khomeini, dia berpendapat bahwa Imam khomeini adalah seorang sufi yang tidak mengasingkan diri dari masyrakat, Imam Khomeini adalah sufi yang telah mengguncangkan dunia. Kekagumanya kepada Imam Khomeini membuat Jalaluddin Rakhmat memperdalam ilmu tasawufnya.[7] Selain alasan itu, Jalaluddin rakhmat memperdalam ilmu Tasawufnya dikarenakan salah satu jamaahnya (Marwan) meninggal tertabrak kereta api, yang mana sebelum meninggal Marwan sempat menyampaikan pesan terakhir kepada keluarganya untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Dengan kejadian itu, Jalaluddin Rakhmat merenung, orang yang hanya memiliki sedikit ilmu tentang agama (Marwan) ingin merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw akan tetapi kenapa dia (Jalaluddin Rakhmat) yang memiliki ilmu agama yang luas tidak memiliki keinginan untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammada saw, padahal Nabi sangat berjasa bagi umat Islam dan dirinya (Jalaluddin Rakhmat), sehingga sirnalah kepongahanya yang kemudian mengantarkan dirinya untuk mendalami tasawuf.[8]
Semenjak mempelajari ilmu tasawuf, dia beralih yang semula suka mempelajari fikih menjadi memilih tasawuf sebagai kajian dakwahnya. Alasan dan pertimbangan kenapa dia memilih pendekatan tasawuf di antaranya[9].
 Pertama, perhatian umat Islam di Indonesia terhadap fikih sudah terlalu lama dan terlalu dalam. Sehingga melahirkan organisasi-organisasi keagaaman yang berdasarkan fikih.
 Kedua, fikih tidak memberi makna yang mendalam dalam menjalankan agama. Karena keimanan dan ketaqwaan seseorang hanya diukur oleh sejauhmana dia menjalankan fikih, yang mana fikih itu masih berupa sesungguhnya masih ijtihad para ulama dam memehami al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Ketiga, fikih sering menjadi sebab perdebatan di antara umat Islam yang mengakibatkan rapuhnya sendi ukhuwah Islamiyah. Sehingga menyebabkan umat Islam terkotak-kotak, bahkan saling memusuhi dan saling menghancurkan.
Keempat, kecenderungan masyarakat era 80-an, banyak orang berbondong-bondong mendalami Islam. Pada umumnya mereka tidak mau mendalami persoalan fikih, tetapi mereka mencari dari Islam sesuatu yang bisa mendatangkan ketenangan batin, yakni tasawuf. Atau dengan kata lain kecenderungan “pasar” yang menginginkan tasawuf. Gejala ini terjadi khususnya bagi masyarakat perkotaan dengan segmen kelas sosial menengah ke atas. Gejalanya bisa dilihat dari semakin ramainya majelis ta’lim yang menyelenggarakan kajian tasawuf.
Kelima , Jalaluddin Rakhmat membaca buku-buku mengenai fikih klasik sampai yang modern, menyimpulkan fikih pambahasanya monoton, bahkan cenderung mengulang dari pembahasan fikih yang sebelumnya. Berbeda halnya dengan tasawuf, dari zaman-ke zaman selalu berubah. Alasan keenam , berkaitan denga aspek kejiwaan, masyarakat jenuh jika terus berdebat mengenai fikih. Fikih jika diperdebatkan, maka fikih tidak akan ada habisnya.

III.                   PEMIKIRANYA dan KARYANYA
           
            Pemikiranya
Jalaluddin Rakhmat memiliki buah pemikiran mengenai tasawuf yang cemerlang. Diantaranya wara’, zuhud, sabar. Wara’ menurut Jalaluddin Rahmat adalah nilai kesucian diri. Islam menyeru semua manusia untuk menyucikan dirinya.[10] Dan menyeru kepada semua orang untuk berlomba-lomba untuk menyucikan  dirinya. Manusia dipersilahkan untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, dan  jadikanlah kekayaan tersebut untuk menyucikan diri. Serta menuntut ilmu yang dapat meningkatkan  kualitas kesucian diri. Jika seseorang ingin menuju jalan Allah, maka seseorang harus menyerap sifat-sifat Tuhan, untuk menyerap sifat-sifat Tuhan manusia haruslah menyucikan diri dan membersihkan hati dengan tobat. Karena dosa dapat mengotori hati, dan dosa itulah yang menghijab manusia dengan Tuhan.[11]
Zuhud bukan berarti meninggalakn dunia, tetapi tidak meletakkan dunia di hati. Zuhud bukan menghindari kenikmatan dunia beserta isinya, akan tetapi memanfaatkan dunia tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah.[12] Ali ibn Abi Thalib menjelaskan bahwa zuhud terdapat dalam dua kalimat didalam Al Quran,
ŸxøŠs3Ïj9 (#öqyù's? 4n?tã $tB öNä3s?$sù Ÿwur (#qãmtøÿs? !$yJÎ/ öNà69s?#uä 3 ª!$#ur Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC Aqãsù ÇËÌÈ
” Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS al- Hadiid: 23).

 Siapa yang tidak bersedih kerena kehilangan apa yang dimiliknya, dan tidak berbangga berlebihan terhadap yang dimilikinya, dia adalah orang yang zuhud. Dari kalimat yang diungkapkan oleh Ali ibn Abi Thalib dapat ditarik dua kesimpulan mengenai karakteristik seorang yang zuhud. Pertama , seorang zahid[13] tidak menggantungkan kebahagian hidupnya kepada harta yang dimilikinya. Alangkah rendahnya manusia apabila kehidupan bila kebahagian digantungkan kepada benda-benda mati atau benda yang bersifat sementara. Alangkah rentanya manusia dalam menghadapi persoalan , bila hatinya diletakkan pada benda-banda yang dimilikinya.
Kedua, kebahagian seorang zahid tidak terletak pada hal-hal yang bersifat material, tetapi pada hal-hal yang bersifat spiritual. Manusia semakin dewasa bila memperoleh kesenangan dari hal-hal yang bersifat spiritual seperti memperoleh ilmu, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.[14]
   Kesabaran itu muncul ketika ada konflik.[15] Manusia dikatakan sabar apabila dia menemui konflik dan dapat menyelesaikanya dengan hati yang ikhlas. Allah berferman:
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ̍Ïe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar ”. (QS. Al-Baqarah: 155).
Maksud ayat diatas ialah ujian itu untuk mengetahui orang-orang yang sabar. Sabar itu melaksanakan apa yang perintah agama dengan meninggalkan tuntutan nafsu yang tidak akan pernah puas.[16]
Jalaluddin Rahmat juga berpendapat , didalam melaksanakan ibadah janganlah unsur formalitas saja yang dipenuhi, akan tetapi unsur spiritualitas juga harus dipenuhi. Semisal ibadah puasa, menjalankan ibadah puasa sebatas formalitas (syari’at) itu  diibaratkan puasanya orang awam. Dan orang yang berpuasa selain menggunakan syariat yang benar dan mendapatkan sisi spiritualitasnya maka puasanya bagaikan puasa orang khawash (khusus) yaitu pengendalian alat indera lahir dan indera batin, dan puasanya orang khawash al khawash yaitu puasa orang yang sudah mengendalikan hatinya sehingga tidak mengingat selain Allah.[17] Sehingga ibadah puasa tersebut dapat menyehatkan badan serta membuat seseorang merasa tentram.
Selain itu Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan gagasanya mengenai konsep bertasawuf, bahagia atau menderita merupakan suatu pilihan, ibadah itu mencakup dua aspek yaitu ritual dan sosial, kematian yang wajar (sakit atau berjihad di jalan Allah bukan karena bunuh diri) merupakan bentuk kasih sayang Tuhan kepada hamba-hambanya karena dengan kematian yang wajar, Tuhan sedang membersihkan manusia dari dosa-dasanya.[18]  Untuk gagasan mengenai konsep tasawuf di dalamnya terdapat menyesuaikan diri dengan perintah Allah (muwafaqah), mencintai Rasulullah dan para Imam serta menyayangi sesama hamba Allah (munasabah), mengendalikan dorongan hawa nafsu (mukhalaf), memerangi setan (mukharabah).
Mengenai konsep ibadah itu mencakup ritual dan sosial, Jalaluddin Rakhmat memberikan contoh kepada umat Islam melalui shalat, jika ingin dekat dengan Allah Swt, maka umat Islam haruslah membantu orang-orang yang teraniyaya, orang-orang yang menderita serta orang-orang yang miskin. InsyaAllah, apabila sesudah mengerjakan shalat, kemudian menyantuni orang-orang miskin dan menolong orang-orang yang tertindas, maka orang tersebut akan memperoleh kenikmatan dari shalat yang dikerjakanya setiap hari. [19]
Karyanya
Karya-karya yang telah dibukukan oleh Jalaluddin Rakhmat dibidang fikih, diantaranya:
Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998). Buku ini berisi tentang Tanya jawab antara Jalaluddin Rakhmat dengan para jamaah masjid al-Munawarah. Yang menyangkut fikih maupun tasawuf, ataupun prmasalahan yang melanda masyarakat kota. Dalam buku ini dibagi menjadi empat bagian, yang pertama seputar ibadah mahdhah, keduaa seputar ibadah mu’amalah, ketiga seputar ahlul bait, keempat seputar tafsir, hadis, dan masalah kontemporer.[20]
Karya-karya yang telah dibukukan oleh Jalaluddin Rakhmat dibidang tasawuf, diantaranya:
Kuliah-kuliah tasawuf adalah buku yang ditulis oleh Sukardi yang mana didalam buku itu memuat ceramah-ceramah dan pemikiran Jalaluddun Rahmat dan pemikir lainya yang dibukukan oleh orang lain. Di dalam buku ini pada bab 1, mengantarkan pembaca untuk memahami tasawuf dari segi bahasa maupun dari segi makna. Pada bab 2, pembaca diajak memehami tasawuf dari tokoh-tokoh tasawuf. Dan pada bab 3, memberikan pengetahuan kepada para pembaca mengenai amalan-amalan taswuf yang dapat dilakukan didalam kehidupan sehari-hari. Dan terakhir pada bagian lampiran menjelaskan kekaguman Jalaluddin Rakhmat kapada tokoh sufi Imam Khomeini dan membahas mengenai refleksi perjalanan sufistik yang dilakukan oleh Rasulullah saw melalui isra mikraj.
Reformasi Sufistik ”Halaman Akhir” Fikri Yathir (1998). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Fikri Yathir, dimana Fikri Yathir merupakan kepribadian Jalaluddin Rakhmat yang muncul sewaktu menuliskan ide-idenya dalam rubrik ”Halaman Akhir” di majalah Ummat. Ide-ide yang ditulis bukanlah sekedar kata-kata belaka, akan tetapi pembaca dapat memetik hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam menjalani kehipan di Dunia ini.[21]
Renungan-Renungan Sufistik (2000). Buku ini menjelaskan kepada para pembaca, supaya pembaca dapat menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Allah (muwafaqah). Dan mencintai Rasulullah saw, para imam, serta menyayangi sesama hamba Allah (munashahah). Mengendalikan tuntutan hawa nafsu (mukhalafah), serta mengajarkan tentang memerangi setan (muharabah).[22]

IV.                   ANALISIS

Jalaluddin Rakhmat adalah seorang yang beraliran syi’ah yang mengagumi dunia tasawuf. Karya-karya beliau yang telah dibukukan lebih dari empat puluh buku, akan tetapi penulis hanya membaca empat buah buku yaitu satu dibidang fiqh dan tiga dibidang tasawuf. Dibidang tasawuf beliau memiliki tiga konsep yang ditawarkan kepada masyarakat modern diantaranya ada wara’, zuhud dan sabar, dimana pemikiran tersebut telah dibahas didalam makalah.
Wara, zuhud dan sabar yang ditawarkan beliua terbilang cukup mudah jika ditransformasikan di zaman modern ini, karena beliua adalah seorang sufi kontemporer. Wara’ yang ditawarkan kepada umat manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya untuk menyucikan diri dengan cara menuntut ilmu yang dapat meningkatkan kualitas kesucian diri itu sesuai dengan tuntutan dizaman modern ini, karena segala sesuatunya pasti ada ilmunya. Dengan menyucikan hati, seseorang akan terjaga kesehatan jiwanya, dan jiwa yang sehat akan menghindarkan dari gangguan psikologis yang mana gangguan psikologis dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik.
Seorang zahid tidak menggantungkan kebahagian hidupnya kepada harta yang dimilikinya serta tidak terletak pada hal-hal yang bersifat material, tetapi pada hal-hal yang bersifat spiritual. Dengan zuhud semacam itu bisa mengatasi permasalahan yang muncul di Indonesia, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang awal mulanya adalah sikap keserakahan.
Manusia dikatakan sabar apabila dia menemui konflik dan dapat menyelesaikanya dengan hati yang ikhlas. Para pakar psikologi menyatakan masyarakat Indonesia sekarang ini sedang mengalami stres massal, itu dibuktikan dengan semakin marak dan nekatnya aksi kriminalitas di Indonesia, dan penyebabnya adalah kurang sabarnya masyarakat dalam memenuhi kebutuhanya dan budaya serba instant. Maka dari itu konsep sabar yang ditawarkan oleh jalaluddin Rahmat solutif dan bisa diterapkan oleh masyarakat modern. Dan dengan sabar pula seseorang dapat terhindar dari pertengkaran, yang mana pertengkaran itu dapat memutuskan tali silahturrahmi dan menyebabkan cepatnya kecelakaan atau kemalangan kepada orang yang memutuskan talisilaturrahmi.
Selain itu, Jalaluddin Rakhmat menegaskan, umat Islam di dalam beribadah haruslah memenuhi dua aspek yaitu aspek ritual dan sosial. Dengan terpenuhinya kedua aspek tersebut ibadah seseorang dapat diterima oleh Allah Swt, jika seseorang melakukan ibadah sebatas ritual akan tetapi masih melakukan penindasan kepada orang lain, menelantarkan orang-orang miskin maka ibadahnya akan tertolak, begitu pula sebaliknya jika seseorang melakukan kegiatan sosial tanpa didasari niat karena Allah Swt semata, maka ibadah yang dilakukan hanya mendapat sesuai dengan apa yang diniatinya.

V.                      PENUTUP
           
Jalaluddin Rakmat telah menawarkan tiga konsep untuk bertasawuf dizaman modern yang serba materiaslistik yaitu dengan  wara’, zuhud, sabar. Dengan ketiga konsep tersebut, penulis mengajak kepada diri sendiri dan kepada para pembaca untuk melaksanakan ketiga konsep tersebut, agar didalam menjalani kehidupan modern yang serba materialistik, tidak mudah terserang stress ataupun gangguan kejiwaan lainnya yang disebabkan oleh kecintaan kepada dunia secara berlebihan. Serta dapat menyelesaikan permasalahan hidup yang muncul dengan menyerahkannya kepada Allah, karena semuanya akan kembali kepada Allah.

                                               







Daftar Pustaka

Hamka. 1981. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian. Jakarta: Yayasan Nurul         Islam.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Majid, dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia.
Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer. Bandung: Mizan.
---------.1998. Reformasi Sufistik “Halaman Akhir” Fikri Yathir. Bandung: Pustaka Hidayah.
---------. 2000. Renungan Renungan Sufistik. Bandung: Mizan.
Sukardi. 2000. Kuliah-Kuliat Tasawuf Jalaluddin Rakhmat- Nurcholish Majid- Husein Sahab - Agus Efendi- Ahmad Efendi - Ahmad Tafsir - Hasan Rakhmat - Afif Muhammad - Muhammad al Bagir- Haidar Bagir. Bandung: Pustaka Hidayah.




[1] Penjelasan Hj. Arikhah, M.Ag (dosen fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang) pada perkuliahan Tasawuf Kontemporer pada hari selasa tanggal 6 dan 13 maret 2012.
[2] Tabaruk adalah meminta barokah atau kebaikan dari sesuatu . sedangkan tawasul adalah menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menuju Tuhan.
[3]Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Majid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 148.
[4] http://ahmadsahidin.wordpress.com/2008/10/28/jalaluddin-rakhmat-sebuah-biografi-singkat/
[5] Ibid
[6] Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Majid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 150.
[7]Sukardi,  Kuliah-Kuliat Tasawuf Jalaluddin Rakhmat- Nurcholish Majid- Husein Sahab- Agus Efendi- Ahmad Efendi- Ahmad Tafsir- Hasan Rakhmat- Afif Muhammad- Muhammad al Bagir- Haidar Bagir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h.169.
[8] Penjelasan Hj. Arikhah, M.Ag (dosen fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang)pada perkuliahan Tasawuf Kontemporer pada hari selasa, 22 mei 2012 dengan tema Jalaluddin Rakhmat.
[9] http://ahmadsahidin.wordpress.com/2008/10/28/jalaluddin-rakhmat-sebuah-biografi-singkat/
[10] Jalaluddin Rakhmat. Renungan Renungan Sufistik, (Bandung: Mizan, 2000), h. 109.
[11] Sukardi,  Kuliah-Kuliat Tasawuf Jalaluddin Rakhmat- Nurcholish Majid- Husein Sahab- Agus Efendi- Ahmad Efendi- Ahmad Tafsir- Hasan Rakhmat- Afif Muhammad- Muhammad al Bagir- Haidar Bagir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 35.
[12] Jalaluddin Rakhmat, Renungan Renungan Sufistik, h. 118.
[13] Zahid diambil dari kata zuhud artinya “tidak ingin” kepada kemegahan dunia, harta dan pangkat. Dikutip dalam bukunya Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981) , h. 69.
[14] Jalaluddin Rakhmat, Renungan Renungan Sufistik , h. 116.
[15] Jalaluddin Rakhmat, Ibid, h. 123.
[16] Jalaluddin Rakhmat, Ibid, h. 124.
[17] Sukardi,  Kuliah-Kuliat Tasawuf Jalaluddin Rakhmat, h. 251-152.
[18] Penjelasan Hj. Arikhah, M.Ag (dosen fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang)pada perkuliahan Tasawuf Kontemporer pada hari selasa tanggal 22 mei 2012 dengan tema Jalaluddin Rakhmat.
[19] Jalaluddin Rakhmat, Renungan Renungan Sufistik, h. 25-28.
[20] Jalaluddin Rakhmat, Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1998). Kata pengantar.
[21] Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik “Halaman Akhir” Fikri Yathir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), pengantar editor.
[22] Jalaluddin Rakhmat, Ibid, h. 7.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More