MENGENAL
TOKOH SUFI HASAN AL BASHRI
I.
Pendahuluan
Ajaran tasawuf berkembang cukup pesat, dimulai dari
meniru perilaku nabi sebelum menjadi nabi seperti mengasingkan diri kedalam gua
Hira untuk menghindari kemewahan dunia dan keributan serta kerepotan hidup,
hingga diangkat oleh Allah menjadi nabi dan rosul-Nya. Pada zaman nabi ajaran tasawuf
masih tersirat dan masih bersifat umum karena nabi Muhammad saw dan para
sahabat mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.
Ada
beberapa tokoh sufi klasik yang sempat melihat dan menirukaan perilaku nabi dan
para sahabat nabi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hasan al Bashri adalah
salah satu tokoh itu. Hasan al Bashri adalah seorang dari golongan tabi’in yang
memiliki kecerdasan dan kepandaian di dalam ilmu agama, dia adalah Hasan al
Bashri. Hasan al Bashri adalah tokoh sufi yang mula-mula meletakkan ilmu dasar
tasawuf yang kemudian dijadikan referensi oleh para sufi sesudahnya. Terutama
di daerah masjid Bashrah.
Hasan al Bashri adalah tokoh sufi awal yang
pemikiranya sangat berpengaruh terhadap sufi-sufi berikutnya. Itu terbukti
dengan praktek Zuhudnya yang masih ditiru olh sufi-sufi sesudahnya. Hasan al
Basri memiliki ajaran-ajaran tasawuf yang layak di kaji pada masa ini, akan
tetapi apakah ajaran tasawuf Hasan al Bashri masih layak dan relavan jika di
praktikkkan di zaman yang serba materi.
II.
Biografi Hasan al Bashri
Hasan al-Bashri adalah seorang zahid[1] yang amat mansyur
dalam kalangan Tabi’in. beliau lahir pada tahun 21 H (641 M) di Madinah, dan
beliau meninggal pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M).
Hasan al Bashri dilahirkan tepat dua hari sebelum Khalifah Umar bin Khattab
meninggal. Beliau sempat bertemu dengan 70 sahabat yang turut menyaksikan
perang Badr dan 300 orang sahabat lainnya.[2]
Hasan al- Bashari memiliki nama lengkap Abu Sa’id al
Hasan bin Yasar. Beliau lahir dari ibu yang bernama Khairah, seorang hamba
Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad saw. Ayahnya bernama Yasar, keturunan
Persi beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang budak yg ditangkap di Maisan, yg
di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw
yg sekaligus juru tulis wahyu. Karena itulah, Yasar biasa dipanggil Yasar Maula
Zaid bin Tsabit.[3]
Kelahiran Hasan al- Bashari membawa keberuntungan bagi kedua orangtuanya karena
kedua orang tuanya terbebas dari status hamba sahaya menjadi merdeka.[4]
Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang
shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia
melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana. Sehingga dia
memiliki ilmu agama yang kepandaianya diakui oleh para sahabat.[5]
III.
Kondisi Sosiokultur Hasan al Bashri
Hasan al Bashri sempat berada di massa peristiwa pemberontakan terhadap Khalifah Usman ibn Affan serta beberapa
kejadian politis sesudahnya yang terjadi di Madinah yang memporak-porandakan
umat Islam. Alasan itulah yang menyebabkan Hasan al Bashri bersama ayahnya
pindah ke Bashrah, tempat inilah yang membuatnya masyur dengan nama Hasan al
Bashri. Puncak keilmuanya dia peroleh di Bashrah. [6]
Hasan Al Bashri adalah orang yang pertama kali
menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian
akhlaq dan usaha mensucikan jiwa di dalam masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang
kerohanian, senantiasa didasarkan pada sunah-sunah nabi. Sahabat-sahabat nabi
yang masi hidup pada zaman itu, mengakui kepandainya.[7]
Dalam sebuah riwayat dikatakan, ketika Ali ibn Thalib masuk ke dalam Masjid
Bashrah didapatinya di dalam masjid itu seorang pemuda yang sedang bercerita
dihadapan umum. Ali mendekatinya dan berkata “Hai budak! Aku hendak bertanya
kepadamu mengenai dua perkara, jika engkau dapat menjawabnya dengan benar, maka
engkau boleh meneruskan berbicara di depan manusia”. Anak muda itu mendatangi
Ali ibn Abi Thalib dengan tawadu’,
dan berkata: “Tanyalah, ya amir al
mu’minin, apa dua perkara itu?”. Ali ibn Abi Thalib bertanya: “Ceritakan
kepadaku, apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa yang dapat merusak
agama?”. Hasan al Bashri menjawab: “ yang dapat menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang dapat merusaknya adalah tama’ ”. Ali ibn Abi Thalib terlihat
gembira dengan jawaban Hasan al Bashri dan berkata: “ Benar engkau dan
teruskanlah bicaramu, orang semacam engkau layak berbicara dihadapan orang banyak”.[8]
IV.
Pemikiranya
Tasawuf menurut Hasan al Bashri adalah senatiasa
bersedih hati, senatiasa takut, kalau dia tidak dapat melaksanakan perintah
Allah sepenuhnya dan menghentikan larangan Allah dengan sepenuhnya pula.
Sehingga Hasan Al Bashri menjadikan zuhud
terhadap dunia sebagai prinsip hidupnya.
Hasan al Bashri menolak segala kemegahan dunia, dan semata-mata hanya menuju
kepada Allah, tawakal, khauf [9]dan
roja’ [10].
Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan
takut dengan pengharapan. Takut akan murka Allah, akan tetapi mengharap akan
Rahmat Allah. Sehingga Sya’rani pernah mengatakan: “ Sedemikian takutnya,
sehingga seakan-akan Hasan al Bashri merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan
untuk dia”.[11]
Ajaran-ajaran tasawuf Hasan al Bashri yang lainya,
sebagaimana dikutip oleh Hamka adalah sebagai berikut:
1. “ Perasaan takutmu yang menjadiakn
hatimu tentram lebih baik dari pada perasaan tentrammu yang kemudian
menimbulkan takut”.
2. “ Dunia adalah negeri tempat beramal.
Barang siapa bertemu dengan dunia dengan perasaan benci dan zuhud, maka ia akan bahagia dan
mendapatkan faedah darinya. Tetapi, barang siapa yang tenggelam delam
kesenangan dunia, lalu hatinya rindu dan mencintainya dengan berlebihan. Dia
akan sengsara dan menderita yang tidak dapat ditanggungnya”.
3. “ Tafakur membawa manusia kepada
kebaikan dan akan berusaha melaksanakanya. Menyesal atas perbuatan jahat yang
telah dilakukan, akan membawa seseoarang untuk meninggalkan perbuatan jahat.
Barang yang fana meskipun banyak
tidaklah dapat menyamai barang yang baqa,
meskipun sedikit. Waspadalah terhadap dunia yang cepat datang dan cepat pergi,
serta penuh tipuan”.
4. “ Dunia ini adalah seorang janda tua
yang telah bungkuk, yang telah beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya”.
5. “ Orang yang beriman senantiasa berduka
cita pada pagi hari dan sore hari, karena dia hidup diantara dua ketakutan.
Takut mengenang dosa yang telah dikerjakan, dan apakan yang akan ditimpakan
Allah kepada dirinya atas dosa yang telah dia perbuat. Dan takut memikirkan
ajal yang masih tinggal (yang belum sampai kepadanya), dan tahu bahaya yang
akan mengancamnya”.
6. “ Sewajarnya orang sadar akan kematian
yang setiap saat akan datang, dan kiamat menagih janjinya, serta Allah akan memperhitungkan
segala amalnya”.
7. “ Banyak duka cita dunia memperteguh
semangat amal Shalih”.[12]
Dr. Muhammad Mustafa Helmi, guru besar Filsafat
Islam dalam Fual I Univercity
menyatakan, bahwasanya zuhud Hasan al
Bashri kemungkinan didasarkan kepada rasa tekut akan siksa Allah dalam neraka.
Tetapi Hamka berpendapat lain, bahwa rasa takut pada Hasan al Bashri bukan
didasari rasa takut akan siksa neraka, melainkan dia takut akan kekurangan dan
kelalaian diri sehingga zuhud hasan
al Bashri adalah khauf dan roja’. [13]
Sebagai
sabda nabi : “ orang yang beriman
mengenang dosanya,seperti orang yang
duduk dibawah sebuah gunung yang basar, senantiasa merasa takut gunung itu akan
menhmpa dirinya”.
Salah satu ajaran tasawuf Hasan al bashri dan
senantiasa menjadi bahan renungan para sufi, ajaranya sebagai berikut:
“
Anak adam !
Dirimu,
diriku !
Dirimu
hanya satu,
Kalau
dia selamat, selamatlah engkau
Kalau
dia binasa, binasalah engkau
Dan
orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap
nikat yang bukan surge, adalah hina
Dan
tiap-tiap bala bencana, yang bukan neraka, mudah!”.
Surga
yang dimaksud disini adalah perasaan yang mendapat ridha Allah. Dan neraka
adalah puncak kegelisahan karena mendapat murka dari Allah.[14]
V.
Analisis
Ajaran tasawuf Hasan al Bashri khauf dan roja’, dimana
Hasan al Bashri memberikan pesan kepada umat muslim janganlah hanya semata-mata
takut kepada Allah, akan tetapi ikutilah perasaan takut dengan pengharapan. Sifat khauf
dan roja’ yang dilakukan Hasan al
Bashri sangatlah ekstrim dan kurang relevan jika diterapkan dalam kehidupan sekarang.
Diriwayatkan oleh Abu Na’im al Ashbahani sifat kauf dan roja’ yang
dilakukan oleh Hasan al Bashri hingga menyebabkan perasaannya selalu diliputi
dengan ketakutan dan kedukaan, senantiasa bersedih hati, tidak pernah tidur
karena mengingat Allah.[15]
Ajaran pokok berikutnya adalah zuhud, dengan zuhud yang dilakukan Hasan al Bashri pada zamanya itu
sudah sesuai karena dengan begitu dia tidak terikat oleh kedudukan (pangkat)
dan harta. Hasan al Bashri membagi zuhud menjadi dua, zuhud yang pertama adalah
zuhud terhadap barang yang haram ini merupakan zuhud tingkat dasar. Yang kedua
adalah adalah zuhud terhadap barang halal, inilah zuhud yang lebih tinggi.[16]
Zuhud yang pertama sangatlah relevan jika diterapkan di zaman sekarang kerena
dapat menghindarkan umat Islam dari sifat tamak terhadap dunia beserta
kemegahanya, sedangkan zuhud yang kedua sangatlah kurang relevan diterapkan di
zaman sekarang ini yang serba materi.
VI.
Penutup
Hasan Al Bashri memiliki nama lengkap Abu Sa’id al
Hasan Ibn Yasar. Dia dilahirkan pada 21 H (632 M) di kota Nadinah. Dia dilahirkan dari ibu yang
bernama Khairah, seorang hamba Sahaya Ummu Salamah istri Nabi Muhammad saw.
Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani, ayahnya adalah seorang
budak yg ditangkap di Maisan, yg di kemudian hari dimerdekakan oleh Zaid bin
Tsabit.
Hasan al Bashri tumbuh dikalangan orang-orang yang
shaleh yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam yaitu di keluarga nabi. Dia
melanjutkan pendidikanya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana..
Ajaran yang dia hasilkan adalah zuhud, khauf dan roja’.
Dimana ajaran itu yang sampai sekarang ini dijadikan suri tauladan oleh para
sufi modern.
Daftar
Pustaka
Asmaran.
1994. pengantar studi Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Hamka.
1981. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian.
Jakarta:
Yayasan Nurul Islam.
Rosihun,
Anwar dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu
Tasawuf. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Syukur,
Amin. 2004. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]Zahid diambil dari kata zuhud artinya “tidak ingin” kepada kemegahan
dunia, harta dan pangkat. Dikutip dalam bukunya Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1981) , h. 69.
[2] Hamka. Ibid, h. 72.
[3] Asmaran, pengantar studi
Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 259.
[4] Amin Syukur, Zuhud di Abad
Modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 65.
[5] Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000), h. 98.
[6] Umar Farukh, Tarikh Al- Fikr
Al-Arabi Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Beirut,
1983, h. 216. Yang dikutip dalam bukunya
Anwar Rosihun dan Mukhtar Solihin, Ilmu
Tasawuf, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000), h. 98.
[7] Hamka, Tasawuf Perkembangan
dan pemurnian, h. 71.
[8] Abu bakar Atjeh, Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1984), h. 245-246. Yang di
kutip oleh Asmaran dalam bukunya yang berjudul pengantar studi tasawuf halaman 259.
[9] Khauf (takut) kepada
Allah, Takut kepada Allah berarti
takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat . Hasyim
Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Off set, 2002), h.
50.
[10] raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu
yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Hasyim Muhammad, Ibid, h. 52.
[11] Hamka, Tasawuf Perkembangan
dan pemurnian, h. 72.
[12] Hamka, Ibid, h. 72-73.
[13] Hamka, Ibid, h. 73.
[14] Hamka, Ibid, h 74.
[15] Hamka, Ibid, h. 72
[16] Amin Syukur, Zuhud di Abad
Modern, h. 68.